Perspektif Ekologi Manusia dan Rekonstruksi Hubungan Manusia-Alam - Telusur

Perspektif Ekologi Manusia dan Rekonstruksi Hubungan Manusia-Alam


Telusur.co.id - Oleh: Mulyadin Permana

Antropolog Pemerhati Ekologi Manusia dan Ketua DNIKS
(Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial)

Pendahuluan

Serangkaian bencana hidrometeorologi parah berupa banjir bandang, luapan sungai, dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—mencakup 52 kabupaten/kota—pada akhir November 2025 telah menimbulkan krisis kemanusiaan dan ekologis berskala besar. Hingga 19 Desember 2025, data resmi dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menunjukkan bahwa bencana ini telah merenggut 1.068 jiwa, melukai lebih dari 7.000 orang, meninggalkan sekitar 190 orang dalam status hilang, serta memaksa sedikitnya 606.040 warga mengungsi. Kerusakan fisik terjadi secara masif, dengan lebih dari 147.000 rumah rusak, sekitar 1.600 fasilitas umum terdampak, 145 jembatan runtuh, 967 fasilitas pendidikan dan 219 fasilitas kesehatan tidak dapat berfungsi, serta sekitar 3.850 kilometerjaringan jalan mengalami kerusakan berat. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 68,67 triliun, menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu bencana hidrometeorologi paling destruktif dalam sejarah modern Indonesia.

Sebagai antropolog yang mengkaji ekologi manusia sekaligusaktivis sosial, saya memandang tragedi ini bukan semata sebagai bencana alam, melainkan sebagai manifestasi dari krisis relasi manusia–alam yang telah berlangsung secara sistematis. Dimensi kemanusiaan bencana ini semakin terasa ketika sebagian besar korban meninggal saat tertidur di tengah malam, tanpa peringatan dini yang memadai, ketika banjir bandang datang dengan kecepatan luar biasa dan menyapu permukiman dalam hitungan menit. Banyak keluarga kehilangan seluruh anggota keluarganya, sejumlah desa hilang dari peta, dan ribuan anak mendadak menjadi yatim piatu—menunjukkan bahwa dampak bencana ini melampaui kehancuran fisik dan menyentuh inti keberlanjutan kehidupan sosial.

Dalam perspektif ekologi manusia, bencana semacam ini dapat dipahami sebagai hasil dari disrupsi mendalam terhadap sistem sosio-ekologis yang selama berabad-abad menopang kehidupan masyarakat Sumatera. Tradisi ekologi manusia—yang berakar pada pemikiran Julian Steward dan kemudian dikembangkan secara sistemik oleh Roy Rappaport—menekankan bahwa masyarakat manusia selalu hidup dalam hubungan timbal balik dengan lingkungannya, dan bahwa gangguan pada satu komponen sistem akan memicu efek berantai pada komponen lainnya (Steward, 1955; Rappaport, 1968). Secara historis, masyarakat Sumatera telah mengembangkan beragam bentuk adaptasi terhadap lingkungan tropis melalui praktik-praktik kearifan lokal yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan daya dukung ekosistem.

Kerangka Antroposen memperdalam pemahaman ini dengan menempatkan bencana Sumatera dalam konteks perubahan planet yang lebih luas. Istilah Antroposen, yang dipopulerkan oleh Paul Crutzen dan Eugene Stoermer, merujuk pada kondisi historis di mana aktivitas manusia telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk sistem Bumi (Crutzen & Stoermer, 2000). Dalam kerangka ini, banjir besar di Sumatera tidak dapat dipahami semata sebagai "bencana alam", melainkan sebagai bencana antropogenik—peristiwa yang dihasilkan atau diperparah oleh akumulasi keputusan manusia terkait penggunaan lahan, pengelolaan sumber daya, dan model pembangunan. Kajian Johan Rockström dan tim Stockholm Resilience Centre tentang planetary boundaries menunjukkan bahwa tekanan terhadap sistem Bumi—termasuk perubahan penggunaan lahan, hilangnya integritas biosfer, gangguan siklus biogeokimia, dan perubahan iklim—dapat mendorong sistem sosio-ekologis menuju ketidakstabilan (Rockström et al., 2009), suatu kondisi yang tercermin secara nyata di lanskap Sumatera.

Lebih lanjut, kajian Will Steffen dan koleganya mengenai "Great Acceleration" memperlihatkan percepatan eksponensial berbagai indikator aktivitas manusia sejak sekitar tahun 1950, yang secara historis bertepatan dengan intensifikasi pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya di banyak wilayah dunia, termasuk Indonesia (Steffen et al., 2015). Dalam konteks ini, degradasi lingkungan di Sumatera mencerminkan dinamika global Antroposen, di mana laju kerusakan ekosistem telah melampaui kapasitas regeneratif lokal dan berkontribusi secara kumulatif terhadap tekanan pada sistem Bumi. Oleh karena itu, pemulihan pascabencana tidak dapat direduksi menjadi respons teknis jangka pendek, melainkan perlu dipahami sebagai bagian dari tantangan global untuk menjaga sistem sosio-ekologis tetap berada dalam batas aman operasionalnya.

Dalam empat dekade terakhir, model pembangunan ekstraktif yang mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan telah mempercepat kerentanan ini. Deforestasi masif, perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali, serta marginalisasi pengetahuan ekologis lokal telah mengubah Sumatera dari lanskap yang relatif tangguh menjadi wilayah yang sangat rentan terhadap guncangan iklim. Curah hujan ekstrem yang berlangsung selama 72 jam dengan intensitas 450–680 milimeter memang luar biasa, tetapi dalam kondisi ekosistem hutan yang masih utuh, tanah dan bentang alam seharusnya mampu menyerap dan menahan sebagian besar air tersebut.

Bertolak dari kondisi tersebut, pertanyaan mendasar yang diajukan artikel ini adalah bagaimana memastikan bahwa pemulihan pascabencana tidak berhenti pada respons reaktif dan temporer, melainkan mampu merekonstruksi relasi manusia–alam yang lebih harmonis sekaligus memulihkan kesejahteraan sosial dalam pengertian yang holistik. Dalam perspektif antropologis, kesejahteraan sosial tidak terbatas pada pemulihan ekonomi dan infrastruktur, tetapi mencakup keberfungsian sistem sosial, kesehatan psikologis kolektif, keberlanjutan praktik budaya, dan kualitas relasi manusia dengan lingkungan hidupnya. Dengan menggunakan kerangka ekologi manusia dan Antroposen, artikel ini menganalisis respons pemerintah terhadap bencana banjir Sumatera serta merumuskan arah pemulihan yang bersifat transformatif dan berkelanjutan.

Respons Pemerintah: Analisis dari Perspektif Ekologi Manusia

Alokasi Anggaran: Antara Solusi Teknis dan Ekologis

Menteri Keuangan Purbaya dalam konferensi pers tanggal 16 Desember 2025 mengumumkan komitmen pemerintah untuk mengalokasikan anggaran sebesar 60 triliun rupiah untuk penanganan komprehensif bencana ini. Dari perspektif ekologi manusia, pertanyaan kritis bukan hanya tentang besaran anggaran, tetapi bagaimana alokasi ini mencerminkan pemahaman tentang sistem sosio-ekologis dan apakah ia mampu mengatasi akar permasalahan atau hanya menangani gejala. Struktur alokasi yang diumumkan terdiri dari Rp 2,72 triliun untuk tanggap darurat dan Rp 49,10 triliun untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun, hingga tahap awal implementasi, rincian alokasi sektoral belum sepenuhnya dipublikasikan secara transparan sehingga pola penganggaran yang terlihat sejauh ini menunjukkan dominasi pendekatan teknokratis yang berfokus pada rekonstruksi fisik dibandingkan pemulihan ekosistem dan sistem sosio-ekologis yang lebih luas.

Dominasi pendekatan teknokratis ini adalah manifestasi dari paradigma Cartesian yang memisahkan pikiran dan materi, kebudayaan dan alam—sebuah warisan modernisme yang telah dikritik keras oleh para antropolog ekologis sejak era Philippe Descola dan Eduardo Viveiros de Castro. Pemerintah menempatkan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur—termasuk pembangunan waduk, penguatan tanggul, dan normalisasi sungai—sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pemulihan pascabencana. Ini adalah pendekatan yang saya sebut sebagai "perbaikan teknologis untuk krisis ekologis", mencoba menggantikan fungsi ekosistem yang telah dihancurkan dengan infrastruktur buatan manusia. Dalam perspektif ekologi manusia, pendekatan ini problematik karena mengabaikan kompleksitas sistem sosio-ekologis dan ketahanan yang inheren dalam ekosistem alami.

Dalam beberapa laporan internasional, pendekatan berbasisrestorasi ekosistem dan solusi berbasis alam sering kali memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dalam jangka panjang, terutama ketika manfaat lintas sektor dan pengurangan risiko bencana diperhitungkan secarakomprehensif. Pendekatan semacam ini konsisten denganprioritas internasional dalam pengurangan risiko bencana, seperti yang ditegaskan oleh Sendai Framework for Disaster Risk Reduction yang menekankan pentingnya investasi dalamstrategi pengurangan risiko untuk meningkatkan ketahananjangka panjang. Akan tetapi, para pembuat kebijakan masih lebih percaya pada solusi teknis yang terlihat konkret dan dapat diselesaikan dalam kerangka waktu politik yang pendek. Sebagai Ketua DNIKS, saya berpendapat bahwa alokasi yang lebih seimbang antara infrastruktur teknis dan restorasi ekologis adalah esensial untuk pemulihan yang berkelanjutan dan transformatif.

Mengingat belum tersedianya rincian alokasi sektoral yang transparan, saya merekomendasikan struktur pengalokasian yang lebih komprehensif dari total anggaran 60 triliun rupiah sebagai berikut: pertama, sekitar 18-20 triliun rupiah (30-33%) untuk bantuan langsung kepada korban, mencakup santunan kematian, biaya pengobatan, bantuan hunian sementara, dan pemulihan aset rumah tangga; kedua, sekitar 15-18 triliun rupiah (25-30%) untuk rehabilitasi infrastruktur kritis seperti jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan sekolah; ketiga, sekitar 12-15 triliun rupiah (20-25%) untuk restorasi ekosistem dan solusi berbasis alam, mencakup reforestasi daerah aliran sungai, rehabilitasi lahan basah, pemulihan zona riparian, dan revitalisasi sistem pertanian tradisional yang adaptif; keempat, sekitar 8-10 triliun rupiah (13-17%) untuk pemulihan ekonomi dan penghidupan, termasuk bantuan modal UMKM, program padat karya, dan diversifikasi mata pencaharian; dan kelima, sekitar 3-5 triliun rupiah (5-8%) untuk layanan psikososial, penguatan kapasitas komunitas, dan sistem peringatan dini. Proporsi ini mencerminkan pemahaman bahwa pemulihan yang berkelanjutan memerlukan keseimbangan antara kebutuhan mendesak jangka pendek dan investasi jangka panjang dalam ketahanan sosio-ekologis.

Bantuan Langsung: Martabat dan Keagenan Korban

Program bantuan 60 juta rupiah per rumah yang rusak berat perlu dikaji tidak hanya dari perspektif ekonomi tetapi juga dari perspektif antropologis tentang martabat dan keagenan. Dalam kajian lapangan yang saya lakukan di beberapa komunitas pascabencana, saya menemukan bahwa mekanisme penyaluran bantuan sangat mempengaruhi bagaimana korban melihat diri mereka sendiri—apakah sebagai subjek yang memiliki keagenan atau objek yang pasif dari derma. Pendekatan hibrida yang dipilih pemerintah—kombinasi transfer tunai dan bantuan barang—secara prinsip adalah langkah yang tepat. Namun, yang lebih krusial adalah sejauh mana korban dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana bantuan itu digunakan.

Dalam kerangka ekologi manusia, pemulihan yang sukses bukan hanya tentang membangun kembali struktur fisik, tetapi tentang restorasi keagenan dan kapasitas adaptif komunitas. Penelitian antropologis tentang pemulihan bencana menunjukkan bahwa komunitas yang diberi ruang untuk pengorganisasian mandiri dan pengambilan keputusan kolektif pulih lebih cepat dan lebih berkelanjutan (Oliver-Smith, 1996). Oleh karena itu, mekanisme penyaluran bantuan harus melampaui model dari-atas-ke-bawah yang paternalistik menuju pendekatan partisipatif yang mengakui pengetahuan lokal dan kapasitas adaptif yang telah dikembangkan komunitas dari generasi ke generasi.

Untuk santunan kematian dan luka-luka, aspek yang seringkali terabaikan adalah dimensi ritual dan penyembuhan simbolik. Dalam banyak masyarakat Sumatera, proses berkabung dan penyembuhan tidak hanya bersifat individual-psikologis tetapi juga komunal-ritual. Uang santunan perlu disertai dengan penghormatan terhadap praktik ritual lokal dan dukungan untuk penyelenggaraan upacara yang secara kultural signifikan untuk proses berkabung—sebuah dimensi yang sejalan dengan pemahaman ekologi manusia tentang pentingnya ritual dalam memulihkan keseimbangan sosial-spiritual pascakrisis.

Koordinasi: Kompleksitas Sistem dan Fragmentasi Institusional

Satuan Tugas Nasional yang melibatkan 18 kementerian dan lembaga mencerminkan kompleksitas masalah, tetapi juga mengekspos fragmentasi institusional yang menjadi ciri birokrasi modern. Dalam perspektif ekologi manusia, ini adalah manifestasi dari apa yang disebut oleh James Scott sebagai "melihat seperti negara"—kecenderungan negara modern untuk memecah-mecah realitas kompleks menjadi sektor-sektor yang dapat dikelola secara terpisah, yang justru menghancurkan keterkaitan holistik yang menjadi karakteristik sistem sosio-ekologis (Scott, 1998).

Koordinasi yang efektif dalam konteks pemulihan bencana memerlukan lebih dari sekadar rapat rutin dan pembagian tugas administratif. Ia memerlukan apa yang dalam antropologi organisasi disebut sebagai "kerangka kognitif bersama"—pemahaman bersama tentang sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, dan teori perubahan yang mendasari intervensi. Sayangnya, dalam praktik pemerintahan Indonesia, masing-masing kementerian seringkali beroperasi dengan kerangka kerja yang berbeda dan bahkan kontradiktif. Sebagai aktivis sosial yang sering berinteraksi dengan berbagai pemangku kepentingan, saya melihat bahwa yang diperlukan adalah transformasi dari koordinasi menjadi kolaborasi, dari intervensi terfragmentasi menjadi pemikiran sistem terintegrasi yang selaras dengan prinsip-prinsip ekologi manusia tentang keterkaitan sistemik.

Dilema Status Bencana: Politik Pengakuan dan Solidaritas

Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menetapkan bencana banjir Sumatera sebagai bencana nasional, meskipun korban jiwa mencapai 1.068 orang dan 52 kabupaten/kota terdampak, telah memicu perdebatan publik yang intens. Dari perspektif antropologis, ini adalah manifestasi dari apa yang Nancy Fraser sebut sebagai "politik pengakuan" (Fraser, 2000), dalam kerangka penetapan status bencana nasional bukan sekadar keputusan administratif-teknis, melainkan tindakan simbolik pengakuan negara bahwa penderitaan komunitas ini cukup signifikan untuk mendapat perhatian penuh bangsa.

Pemerintah memiliki beberapa pertimbangan yang dapat dipahami dalam keputusan ini. Pertama, dari aspek historis-yuridis, sepanjang sejarah Republik Indonesia hanya dua peristiwa yang pernah ditetapkan sebagai bencana nasional: Tsunami Aceh 2004 dan Pandemi Covid-19. Kedua, dari aspek kapasitas penanganan, pemerintah menilai bahwa situasi di lapangan masih terkendali dengan pengerahan lebih dari 50.000 personel TNI-Polri, puluhan helikopter, dan penggunaan Dana Siap Pakai (DSP) secara penuh. Ketiga, merujuk UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan PP Nomor 21 Tahun 2008, status bencana nasional ditetapkan apabila pemerintah daerah tidak lagi mampu mengelola penanganan—dan secara formal, gubernur-gubernur terkait belum menyatakan ketidakmampuan meskipun beberapa bupati telah melakukannya.

Namun demikian, dari perspektif antropologi dan ekologi manusia, terdapat dimensi-dimensi penting yang tidak tertangkap oleh pertimbangan teknis-administratif tersebut. Dalam kerangka ekologi manusia, bencana bukan hanya peristiwa fisik tetapi juga konstruksi sosial—apa yang membuat suatu kejadian menjadi "bencana" bukanlah semata besaran fisiknya, tetapi juga bagaimana kejadian itu diinterpretasi, direspon, dan diberi makna oleh masyarakat dan institusi. Ketika pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional, ia secara implisit mengomunikasikan pesan simbolik bahwa penderitaan ini "belum cukup besar" untuk mendapat status tertinggi.

Bagi korban dan keluarga yang kehilangan segalanya, pesan ini dapat diinterpretasi sebagai devaluasi atas nyawa dan penderitaan mereka—sebuah luka psikologis yang dapat menghambat proses penyembuhan kolektif. Penelitian Victor Turner (1969) tentang ritual dan liminalitas menunjukkan bahwa pengakuan formal atas penderitaan adalah bagian krusial dari proses transisi dari krisis menuju pemulihan. Lebih jauh, dari perspektif kajian solidaritas dalam antropologi, penetapan status bencana nasional adalah mekanisme untuk mobilisasi solidaritas nasional dan internasional. Penelitian tentang respons bencana menunjukkan bahwa besaran solidaritas yang dimobilisasi sangat bergantung pada pembingkaian dan pengakuan simbolik yang diberikan terhadap bencana (Revet, 2010).

Sebagai Ketua DNIKS, saya memahami bahwa Presiden memiliki kewenangan dan pertimbangan tersendiri dalam keputusan ini, dan saya mengapresiasi bahwa penanganan di lapangan memang telah dilakukan secara intensif dengan skala nasional. Namun, saya tetap berpendapat bahwa keputusan ini adalah kesempatan yang terlewatkan untuk mobilisasi solidaritas nasional yang lebih kuat dan, yang terpenting, untuk memberikan pengakuan simbolik atas penderitaan yang luar biasa. Argumen bahwa situasi "sudah terkendali" mengabaikan dimensi simbolik dan psikologis yang sangat penting dalam proses penyembuhan kolektif—dimensi yang dalam perspektif ekologi manusia merupakan bagian integral dari pemulihan sistem sosio-ekologis yang holistik.

Wacana Ekspansi Sawit di Papua: Antara Swasembada Energi dan Risiko Ekologis

Di tengah upaya pemulihan pascabencana, Presiden Prabowo Subianto pada 16 Desember 2025 menyampaikan rencana pengembangan kelapa sawit di Papua untuk mendukung swasembada energi nasional. Visi ini patut diapresiasi karena menunjukkan komitmen untuk mengurangi ketergantungan impor BBM yang mencapai Rp 520 triliun per tahun, dan secara prinsip mendorong kemandirian energi daerah. Namun, dari perspektif ekologi manusia dan mengingat pelajaran pahit dari bencana banjir Sumatera yang baru saja terjadi, rencana ini memerlukan kajian mendalam tentang konsekuensi ekologisnya.

Papua memiliki 7,81 juta hektar hutan lindung—menyumbang 27% dari total hutan lindung nasional—dengan total tutupan hutan seluas 33 juta hektar dan merupakan rumah bagi sekitar 25.000 spesies tumbuhan serta ratusan spesies fauna endemik. Data Sawit Watch menunjukkan bahwa di Sumatera, tutupan sawit telah melampaui batas ekologis dengan sekitar 320.807 hektar konsesi sawit berada di bentang alam yang mengalami banjir parah. Konversi hutan menjadi monokultur sawit telah menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap air, memicu limpasan ekstrem, dan memperparah dampak bencana—sebuah pola yang dalam kerangka ekologi manusia mencerminkan disrupsi fundamental terhadap sistem sosio-ekologis yang telah berevolusi selama ribuan tahun.

Sebagai rekomendasi yang berakar pada prinsip ekologi manusia, pemerintah sebaiknya memprioritaskan intensifikasi dan peremajaan kebun sawit rakyat yang sudah ada sebelum melakukan ekspansi ke kawasan hutan primer. Jika pengembangan bioenergi di Papua tetap menjadi prioritas, saya merekomendasikan pendekatan wanatani (agroforestry) yang mengintegrasikan tanaman energi dengan sistem hutan alami, bukan monokultur sawit skala besar. Papua dapat dikembangkan sebagai pusat energi terbarukan berbasis tenaga surya dan mini-hidro sesuai arahan Presiden, yang lebih selaras dengan karakteristik ekologis dan sosial-budaya masyarakat adatnya, sambil menjaga fungsinya sebagai benteng ekologis terakhir Indonesia dalam konteks Antroposen yang semakin rentan.

Kesejahteraan Sosial: Rekonstruksi Holistik dari Perspektif Antropologis

Melampaui Ekonomisme: Kesejahteraan sebagai Sistem

Sebagai antropolog dan aktivis sosial, saya melihat bahwa wacana arus utama tentang kesejahteraan sosial pascabencana masih didominasi oleh pendekatan yang sempit dan ekonomistik, dengan penekanan berlebihan pada pemulihan pendapatan dan rekonstruksi fisik, sementara dimensi-dimensi kesejahteraan lainnya cenderung terpinggirkan. Dalam perspektif antropologis yang sejalan dengan kerangka ekologi manusia, kesejahteraan tidak dapat direduksi menjadi indikator ekonomi semata, melainkan harus dipahami sebagai konstruk multidimensi yang mencakup kesejahteraan material, kesejahteraan relasional, dan kesejahteraan subjektif (White, 2010).

Ketiga dimensi kesejahteraan tersebut saling berkelindan dan membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sebagaimana dalam sistem sosio-ekologis semua komponen saling terkait. Kesejahteraan material mencakup bukan hanya tingkat pendapatan, tetapi juga akses terhadap sumber daya, keamanan penghidupan, dan kualitas lingkungan hidup. Kesejahteraan relasional merujuk pada kekuatan jaringan sosial, modal sosial, rasa memiliki, serta kapasitas individu dan kelompok untuk berpartisipasi dalam kehidupan komunitas. Sementara itu, kesejahteraan subjektif mencakup kebahagiaan, kepuasan hidup, rasa makna dan tujuan, serta kesehatan psikologis.

Program-program pemulihan pascabencana yang dijalankan pemerintah umumnya masih berfokus pada bantuan ekonomi dan rekonstruksi fisik, yang terutama menyasar dimensi kesejahteraan material, dengan perhatian terbatas pada kesejahteraan subjektif melalui layanan psikososial. Dimensi kesejahteraan relasional justru kerap terabaikan, meskipun kajian antropologis dan studi kebencanaan menunjukkan bahwa jaringan sosial dan efikasi kolektif merupakan determinan kunci bagi ketahanan komunitas dan keberhasilan proses pemulihan jangka panjang (Aldrich, 2012)—sebuah temuan yang sangat resonan dengan prinsip ekologi manusia tentang pentingnya keterkaitan sosial dalam sistem sosio-ekologis yang resilien.

Pentingnya Pendekatan Kultural dalam Penyembuhan Trauma

Program layanan psikososial yang dicanangkan pemerintah adalah langkah positif, tetapi perlu dikontekstualisasikan dalam kerangka kultural yang selaras dengan perspektif ekologi manusia tentang pentingnya konteks lokal. Dalam kajian antropologi medis, kita memahami bahwa konsep kesehatan mental dan proses penyembuhan sangat spesifik secara budaya. Model-model psikologis Barat yang menekankan terapi individual dan intervensi klinis tidak selalu tepat atau efektif dalam konteks non-Barat yang lebih kolektivistik dan berorientasi spiritual.

Dalam banyak masyarakat Sumatera, pemahaman tentang penderitaan dan penyembuhan sangat terkait dengan keyakinan kosmologis dan praktik ritual—dimensi yang dalam kerangka ekologi manusia merepresentasikan mekanisme regulasi sosio-ekologis yang telah berevolusi selama berabad-abad. Bencana seringkali diinterpretasi bukan hanya sebagai peristiwa alam tetapi sebagai gangguan tatanan kosmis yang memerlukan restorasi ritual. Proses penyembuhan tidak hanya individual-psikologis tetapi juga komunal-ritual, melibatkan seluruh komunitas dalam berkabung kolektif dan rekonstruksi simbolik tatanan.

Oleh karena itu, intervensi psikososial perlu diintegrasikan dengan praktik penyembuhan kultural bukan menggantikannya. Ini memerlukan apa yang Paul Farmer sebut sebagai "solidaritas pragmatis"—kemampuan untuk bekerja melintasi perbedaan budaya dan epistemologis untuk tujuan bersama (Farmer, 2003). Praktiknya, ini berarti melibatkan pemimpin agama, penyembuh tradisional, dan pakar budaya dalam perancangan dan penyampaian layanan psikososial. Ritual menyediakan ruang kolektif untuk mengekspresikan duka, memberikan makna pada penderitaan, dan secara simbolis menandai transisi dari fase berkabung ke fase membangun kembali—dimensi yang tidak dapat digantikan oleh konseling individual betapapun profesionalnya.

Restorasi Penghidupan: Dari Bantuan ke Transformasi

Program bantuan modal untuk petani dan UMKM perlu dikaji tidak hanya dari perspektif efisiensi ekonomi tetapi juga dari perspektif transformasi sistem penghidupan—sebuah pendekatan yang sejalan dengan prinsip ekologi manusia tentang adaptasi dan transformasi sistem. Dalam kerangka penghidupan berkelanjutan yang dikembangkan oleh DFID(Department for International Development), penghidupanbukan hanya tentang kegiatan penghasil pendapatan tetapi tentang kapabilitas, aset, dan kegiatan yang memungkinkan orang untuk hidup dengan martabat dan ketahanan (Scoones, 1998).

Pascabencana adalah titik kritis—momen krisis yang juga adalah momen kesempatan untuk transformasi. Bantuan yang sekadar mengembalikan penghidupan prabencana adalah kesempatan yang terlewatkan karena penghidupan prabencana seringkali adalah bagian dari masalah—sistem pertanian yang tidak berkelanjutan, ketergantungan pada ekstraksi sumber daya alam, kurangnya diversifikasi yang membuat komunitas sangat rentan. Menurut saya, diperlukan pendekatan yang lebih transformatif yang menggunakan krisis sebagai katalis untuk diversifikasi penghidupan, adopsi praktik yang lebih berkelanjutan, dan penguatan ekonomi lokal.

Khusus untuk sektor pertanian yang menjadi tulang punggung penghidupan pedesaan di Sumatera, transformasi menuju pendekatan agroekologis adalah keharusan. Pertanian industrial dengan monokultur, penggunaan bahan kimia yang berat, dan ketergantungan pada masukan eksternal telah terbukti tidak berkelanjutan dan sangat rentan terhadap guncangan iklim—sebuah sistem yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ekologi manusia tentang keseimbangan dan keberlanjutan. Agroekologi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologis dengan pengetahuan tradisional dapat meningkatkan produktivitas sambil membangun ketahanan dan mengurangi dampak lingkungan (Altieri, 1995).

Program pemulihan penghidupan perlu ditempatkan dalam strategi manajemen risiko yang berorientasi pada pengurangan kerentanan struktural. Pendekatan ini mencakup diversifikasi sumber penghidupan, penguatan kelembagaan ekonomi lokal seperti kelompok simpan pinjam dan koperasi, serta penyediaan jaring pengaman sosial adaptif. Ketangguhan petani tidak dibangun melalui mekanisme transfer risiko semata, melainkan melalui peningkatan kapabilitas, akses terhadap aset produktif, dan penguatan relasi sosial yang memungkinkan komunitas untuk mengantisipasi, menyerap, dan pulih dari guncangan secara kolektif—sebuah pendekatan yang sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip ekologi manusia tentang resiliensi sistem sosio-ekologis.

Akar Masalah: Krisis Relasi Manusia-Alam dalam Perspektif Ekologi Manusia

Deforestasi sebagai Disrupsi Sistem Sosio-Ekologis

Kehilangan sekitar 8,4 juta hektar hutan—setara dengan sekitar 5,36 miliar pohon—di Sumatera antara 2001–2024 (Global Forest Watch, 2025) tidak dapat dipahami semata sebagai statistik degradasi lingkungan. Dalam perspektif ekologi manusia, angka ini merupakan indikator transformasi mendasar atas sistem sosio-ekologis yang telah berevolusi dan menopang kehidupan masyarakat Sumatera selama ribuan tahun. Deforestasi dalam skala demikian menandai terputusnya relasi timbal balik antara manusia, hutan, dan sistem hidrologi yang sebelumnya menjaga stabilitas ekologis dan sosial secara bersamaan.

Kerangka ekologi manusia yang dikembangkan oleh Roy Rappaport menekankan bahwa keberlanjutan masyarakat tradisional bergantung pada mekanisme regulasi kultural—termasuk ritual, tabu, dan institusi lokal—yang secara tidak langsung mengatur hubungan antara populasi manusia dan daya dukung lingkungan (Rappaport, 1968). Dalam konteks ini, deforestasi masif di Sumatera merepresentasikan runtuhnya mekanisme regulasi sosio-ekologis tersebut. Hilangnya hutan bukan hanya kehilangan tutupan vegetasi, tetapi juga hilangnya sistem umpan balik yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan antara produksi, konsumsi, dan regenerasi alam.

Secara historis, masyarakat Sumatera mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya yang kompleks dan kontekstual, tertanam dalam kosmologi, adat, dan praktik ritual. Keberadaan hutan keramat, larangan adat terhadap pemanenan berlebihan, serta ritual yang mengatur waktu dan intensitas pemanfaatan sumber daya merupakan contoh dari apa yang dalam literatur ekologi manusia disebut sebagai praktik kultural adaptif—praktik yang berfungsi menjaga keberlanjutan ekologis meskipun tidak selalu dirumuskan dalam bahasa ilmiah modern. Kajian antropologis menunjukkan bahwa banyak sistem pengetahuan lokal tersebut bersifat sangat canggih dan efektif dalam menjaga keseimbangan ekosistem jangka panjang (Berkes, 1999).

Namun, sejak menguatnya developmentalisme negara—terutama pada periode Orde Baru—kerangka sosio-ekologis ini mengalami penghancuran sistematis. Pengambilalihan hutan oleh negara, komersialisasi sumber daya alam, penetrasi ekonomi pasar, serta masuknya migrasi dan rezim produksi baru dengan logika yang berbeda telah melemahkan institusi lokal yang selama berabad-abad berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekologis. Deforestasi yang meluas dengan demikian bukanlah kegagalan masyarakat lokal, melainkan konsekuensi dari apa yang oleh James Scott disebut sebagai paradigma pembangunan "modernis tinggi"—sebuah cara pandang yang mereduksi kompleksitas lokal, mendiskreditkan praktik tradisional sebagai irasional atau terbelakang, dan menggantikannya dengan skema kehutanan "ilmiah" serta pertanian industrial berskala besar (Scott, 1998).

Dalam perspektif ekologi politik, deforestasi di Sumatera harus dipahami sebagai manifestasi dari relasi kuasa yang timpang dan proses akumulasi melalui perampasan. Konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit dan konsesi ekstraktif lainnya secara sistematis mengalihkan manfaat ekonomi kepada korporasi dan elit politik, sementara komunitas lokal menanggung biaya ekologis dan sosial yang sangat besar. Kerangka Antroposen memperluas analisis ini dengan menempatkan deforestasi Sumatera dalam konteks krisis planet yang lebih luas—di mana aktivitas manusia telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk sistem Bumi, dan hilangnya hutan tropis berkontribusi pada perubahan iklim global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan meningkatnya frekuensi bencana ekstrem.

Efek Kupu-Kupu dan Keterkaitan Sistemik

Teori efek kupu-kupu yang diperkenalkan oleh Edward Lorenz (1963) menyediakan heuristik yang kuat untuk memahami bagaimana perubahan kecil dalam sistem kompleks dapat menghasilkan dampak besar melalui dinamika nonlinier dan putaran umpan balik. Dalam konteks sosio-ekologis Sumatera, penebangan satu pohon mungkin tampak sebagai tindakan yang nyaris tak berarti, namun secara biofisik tindakan ini segera memicu serangkaian perubahan mikro: berkurangnya produksi oksigen, hilangnya kanopi yang mengatur suhu permukaan, berkurangnya evapotranspirasi yang mengalirkan uap air ke atmosfer, menurunnya kemampuan tanah menyerap air hujan, serta terganggunya aliran udara lokal yang memengaruhi tekanan udara dan arah angin menuju kawasan pesisir dan laut. Pada skala yang sangat kecil, perubahan-perubahan ini nyaris tak terdeteksi; tetapi ketika jutaan hingga miliaran pohon ditebang dan proses tersebut terakumulasi selama puluhan tahun, lanskap Sumatera mengalami transformasi iklim dan hidrologi regional yang mendalam—mengubah pola hujan, meningkatkan limpasan permukaan, memperkuat kejadian presipitasi ekstrem, dan memperbesar risiko banjir bandang.

Selain itu, dari perspektif antropologis, penting untuk menambahkan dimensi yang sering luput dari analisis ekologis murni, yakni keagenan dan intensionalitas manusia. Pohon-pohon tidak menebang diri mereka sendiri. Deforestasi adalah hasil dari keputusan politik, insentif ekonomi, pengaturan tenurial, serta struktur kekuasaan yang memungkinkan dan mendorong perusakan hutan. Dalam konteks ini, efek kupu-kupu bukanlah fenomena alamiah semata, melainkan bencana yang diproduksi secara sosial. Penelitian Ellison et al. (2017) menunjukkan bahwa deforestasi secara sistematis mengurangi evapotranspirasi dan mengganggu pembentukan hujan regional, sementara Bradshaw et al. (2007) mendokumentasikan korelasi kuat antara kehilangan hutan dan meningkatnya frekuensi serta intensitas banjir. Bukti-bukti ini memperlihatkan bahwa perubahan biofisik yang tampak kecil—seperti hilangnya satu pohon—dapat bereskalasi menjadi krisis lingkungan ketika diproduksi secara massal melalui logika pembangunan ekstraktif.

Curah hujan ekstrem sebesar 450–680 milimeter dalam 72 jam yang memicu banjir bandang di Sumatera harus dipahami dalam konteks ganda: perubahan iklim global dan degradasi lingkungan lokal. Model iklim menunjukkan bahwa pemanasan global meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian presipitasi ekstrem. Namun, dampak dari kejadian tersebut sangat ditentukan oleh kondisi lanskap setempat. Pada bentang alam dengan hutan yang utuh, sistem tanah dan vegetasi memiliki kapasitas tinggi untuk menyerap, menahan, dan melepaskan air secara bertahap; sebaliknya, pada lanskap yang terdeforestasi, bahkan hujan dengan intensitas moderat dapat menghasilkan limpasan ekstrem dan kehancuran. Inilah manifestasi dari apa yang dalam teori resiliensi disebut sebagai kehilangan ketahanan—yakni berkurangnya kemampuan sistem untuk menyerap gangguan dan mempertahankan fungsi dasarnya (Folke, 2006).

Menariknya, prinsip keterkaitan sistemik ini memiliki resonansi kuat dengan ajaran Islam tentang pentingnya menanam pohon. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, lalu ada burung atau manusia atau binatang yang makan darinya, melainkan hal itu menjadi sedekah baginya" (HR. Bukhari–Muslim). Dalam hadis lain disebutkan: "Jika kiamat telah tegak, sedangkan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, hendaklah ia menanamnya" (HR. Ahmad). Hadis-hadis ini mengandung hikmah ekologis yang mendalam: menanam pohon adalah amal berantai, yang manfaatnya meluas dan berlipat ganda—memberikan oksigen, menyimpan karbon, mengatur air, menopang kehidupan satwa, dan menjaga keseimbangan iklim—bahkan melampaui usia penanamnya sendiri. Dalam konteks Antroposen, restorasi hutan dengan demikian bukan hanya kewajiban ekologis dan sosial, tetapi juga investasi spiritual dan moral yang menciptakan warisan keberlanjutan lintas generasi.

Menuju Rekonsiliasi Manusia-Alam

Dari perspektif ekologi manusia, solusi jangka panjang memerlukan tidak hanya restorasi ekologis tetapi juga transformasi kultural dan kelembagaan—apa yang saya sebut sebagai "rekonsiliasi dengan alam". Istilah rekonsiliasi saya pinjam dari wacana tentang pembangunan perdamaian pascakonflik, karena saya melihat krisis lingkungan pada dasarnya adalah hasil dari "perang terhadap alam" yang telah berlangsung selama puluhan tahun dalam konteks Antroposen.

Rekonsiliasi memerlukan beberapa elemen yang saling terkait. Pertama, pengakuan atas kerugian yang telah ditimbulkan—mengakui bahwa model pembangunan yang kita kejar telah menghancurkan ekosistem dan penghidupan, sebuah pengakuan yang resonan dengan prinsip ekologi manusia tentang pentingnya memahami dampak kumulatif dari tindakan manusia terhadap sistem sosio-ekologis. Kedua, restitusi—upaya untuk memulihkan apa yang telah dirusak sejauh masih mungkin melalui program restorasi ekologis masif minimal 8-10 juta hektar untuk benar-benar memulihkan fungsi ekologis yang hilang. Ketiga, transformasi hubungan—mengubah secara fundamental bagaimana kita berhubungan dengan alam, dari eksploitatif menjadi mutualistik, sebuah pergeseran paradigma yang sejalan dengan pemahaman ekologi manusia tentang ko-evolusi manusia dan lingkungan.

Secara konkret, rekonsiliasi ini memerlukan reformasi kelembagaan: jaminan tenurial yang aman untuk komunitas, pengakuan hak-hak adat, devolusi otoritas pengelolaan, dan penciptaan struktur insentif yang menyelaraskan konservasi dengan penghidupan. Penelitian menunjukkan bahwa hutan yang dikelola komunitas memiliki tingkat deforestasi yang jauh lebih rendah dan hasil konservasi yang lebih baik (Porter-Bolland et al., 2012)—sebuah temuan yang sangat sejalan dengan prinsip ekologi manusia tentang pentingnya pengetahuan lokal dan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya berkelanjutan.

Program pembayaran jasa lingkungan yang dicanangkan pemerintah adalah langkah ke arah yang benar, tetapi tingkat kompensasi perlu jauh lebih tinggi untuk benar-benar kompetitif dengan hasil dari konversi hutan. Yang lebih fundamental, kita perlu pergeseran paradigma dari melihat hutan sebagai "sumber daya untuk dieksploitasi" menuju melihat hutan sebagai "sistem penunjang kehidupan untuk dirawat"—sebuah transformasi kultural yang memerlukan pendidikan, peningkatan kesadaran, dan dalam banyak kasus, kebangkitan pengetahuan dan nilai-nilai ekologis tradisional yang telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan sosio-ekologis selama berabad-abad sebelum era modernisasi dan Antroposen.

Kesimpulan: Menuju Kesejahteraan Sosial yang Berkelanjutan dalam Era Antroposen

Sebagai antropolog yang menggeluti ekologi manusia dan aktivis sosial sebagai Ketua DNIKS, saya melihat bencanabanjir Sumatera November 2025 yang merenggut 1.068 jiwa sebagai manifestasi tragis dari krisis fundamental dalam relasi manusia-alam yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Ini bukan sekadar "bencana alam" tetapi bencana antropogenik—bencana yang diproduksi secara sosial dalam konteks Antroposen di mana aktivitas manusia telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk sistem Bumi. Tragedi ini adalah hasil dari pilihan kebijakan, insentif ekonomi, dan struktur kekuasaan yang memungkinkan perusakan lingkungan masif, yang dalam kerangka ekologi manusia merepresentasikan disrupsi fundamental terhadap sistem sosio-ekologis yang telah berevolusi selama ribuan tahun.

Respons pemerintah dengan alokasi 60 triliun rupiah menunjukkan komitmen yang belum pernah terjadi sebelumnya dan patut diapresiasi. Program-program yang dicanangkan—bantuan langsung, rehabilitasi infrastruktur, pemulihan ekonomi, layanan psikososial—pada prinsipnya tepat dan jika diimplementasikan dengan baik akan memberikan bantuan yang signifikan. Namun, dari perspektif ekologi manusia dan Antroposen, saya mengidentifikasi beberapa kritik fundamental dan rekomendasi transformatif yang diperlukan untuk memastikan bahwa pemulihan ini benar-benar berkelanjutan dan tidak sekadar mengulangi kerentanan yang sama.

Pertama, diperlukan pergeseran paradigma dari dominasi pendekatan teknokratis menuju integrasi genuine antara solusi teknis dan solusi berbasis alam. Alokasi untuk restorasi ekosistem perlu ditingkatkan secara drastis—dari estimasi saat ini menjadi minimal 12-15 triliun rupiah atau 20-25% dari total anggaran. Ini bukan hanya soal efektivitas teknis tetapi tentang merekonstruksi hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, memahami bahwa dalam sistem sosio-ekologis yang kompleks, infrastruktur teknis tidak dapat menggantikan fungsi ekosistem alami yang telah berevolusi selama jutaan tahun.

Kedua, kesejahteraan sosial harus dipahami secara holistik—mencakup kesejahteraan material, relasional, dan subjektif sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Program pemulihan perlu melampaui ekonomisme dan memberikan perhatian serius pada rekonstruksi sosial, penyembuhan kultural, dan pemulihan psikologis dengan pendekatan yang sesuai secara budaya dan mengakui pentingnya ritual, praktik lokal, dan pengetahuan tradisional. Proses partisipatif yang mengakui dan menghormati local ecological knowledge dan kapasitas adaptif komunitas adalah esensial untuk pemulihan yang berkelanjutan.

Ketiga, restorasi penghidupan harus transformatif, bukan sekadar restoratif. Krisis adalah kesempatan untuk diversifikasi ekonomi, adopsi praktik berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip agroekologi, dan penguatan institusi lokal yang dapat berfungsi sebagai mekanisme regulasi sosio-ekologis. Pendekatan agroekologis yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologis dengan pengetahuan tradisional, pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas yang mengakui hak-hak adat, dan model usaha sosial yang mengutamakan kesejahteraan kolektif perlu dipromosikan secara aktif sebagai alternatif terhadap model pembangunan ekstraktif yang telah terbukti gagal.

Keempat, keputusan untuk tidak menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional meskipun korban jiwa mencapai 1.068 orang dan dampaknya meliputi 52 kabupaten/kota perlu direkonsiderasi dari perspektif yang lebih holistik. Meskipun saya memahami dan menghormati pertimbangan teknis-administratif pemerintah, dari perspektif politik pengakuan dan mobilisasi solidaritas—yang merupakan dimensi penting dalam pemulihan sistem sosio-ekologis—status bencana nasional adalah tindakan simbolik yang sangat penting.

Kelima, wacana ekspansi sawit di Papua perlu dikaji ulang dengan sangat hati-hati mengingat pelajaran pahit dari Sumatera. Dalam konteks Antroposen di mana kita telah melampaui beberapa planetary boundaries, Papua sebagai salah satu benteng ekologis terakhir Indonesia dan dunia perlu dilindungi. Prioritas seharusnya diberikan pada intensifikasi kebun sawit yang sudah ada, sementara Papua dikembangkan sebagai pusat energi terbarukan yang lebih selaras dengan karakteristik ekologis dan sosial-budayanya.

Paling fundamental, kita memerlukan transformasi paradigma pembangunan dari ekstraktif dan eksploitatif menuju regeneratif dan berkelanjutan. Teori efek kupu-kupu mengajarkan kita bahwa tindakan kecil dapat memiliki konsekuensi besar dalam sistem kompleks: penebangan pohon memicu cascade effects yang mengubah iklim dan hidrologi regional. Sebaliknya, jika kita berkomitmen untuk restorasi sistematis, tindakan kecil menanam, melindungi, dan merawat dapat terakumulasi menjadi perubahan positif yang mendalam. Setiap pohon yang kita tanam, setiap hektar yang kita pulihkan, setiap komunitas yang kita berdayakan adalah kontribusi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwa kesejahteraan sosial yang sejati dan berkelanjutan hanya dapat dicapai ketika kita mengakui bahwa kesejahteraan manusia dan kesehatan ekosistem tidak dapat dipisahkan—sebuah prinsip fundamental dalam ekologi manusia. Kita adalah bagian dari alam, bukan terpisah darinya. Dalam era Antroposen, kita memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk memastikan bahwa tindakan kita tidak melampaui planetary boundaries dan tidak menghancurkan sistem sosio-ekologis yang menopang kehidupan.

Tragedi ini harus menjadi katalis untuk pemikiran ulang fundamental tentang bagaimana kita hidup di planet ini. Mari kita jadikan 1.068 nyawa yang hilang bukan hanya statistik, tetapi memori sakral yang mendorong kita menuju transformasi fundamental dalam cara kita berhubungan dengan alam dan dengan sesama. Mari kita bergerak menuju masa depan di mana pembangunan dan konservasi, kemakmuran dan keberlanjutan, bukan lagi dilihat sebagai trade-off, tetapi sebagai sinergi yang saling memperkuat—sebuah visi yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekologi manusia tentang ko-evolusi harmonis antara manusia dan lingkungan, dan yang sangat diperlukan untuk navigasi yang aman dalam era Antroposen.


Tinggalkan Komentar