Pertarungan Isu Lingkungan Versus Keberlanjutan Dalam Skema Benih Lobster - Telusur

Pertarungan Isu Lingkungan Versus Keberlanjutan Dalam Skema Benih Lobster



Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)


Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam skema kebijakan: penangkapan, perdagangan, pengeluaran (ekspor), pembesaran dan restocking benih lobster masih mendapat perhatian serius dari masyarakat. Terutama pada isu perdagangan benih lobster yang sangat ramai dibicarakan masyarakat.

Terutama kalangan menengah dan pelaku usaha benih lobster. Isu ini menjadi sentral dan trend setter media yang diasumsikan publik masih belum mengerti dan sadar terhadap polemik dan dinamika perdagangan benih lobster.

Yang paling ngehits, ketika Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) yang memiliki follower twitterlandnya banyak, maka secara otomatis membentuk ruang komunikasi publik yang dinamis dalam merespon rencana kebijakan.

Apalagi secara propaganda dan agitasi memiliki argumentasi yang cukup kuat walaupun kurang rasional. Menghubungkan secara paksa antara doktrin nasionalisme - Lingkungan dengan membuang aspek Keberlanjutan Ekonomi. Sebenarnya keduanya tak bisa dipertentangkan. Karena berbicara Keberlanjutan ekonomi sudah pasti memperhatikan aspek lingkungaan.

Nah, upaya menjaga lingkungan harus dibarengi dengan pertimbangan kelangsungan hidup orang-orang yang mengandalkan mata pencaharian utama dari sektor tersebut. Ada masyarakat kita yang hidupnya tergantung nyari benih lobster ini: nelayan tangkap, jual dan dapat uang, bisa hidup. Kalau tiba-tiba kita larang perdagangan benih lobster ini, jadi pekerjaannya apa?."

Namun, perdebatan paksa antara kelompok lingkungan dan kelompok keberlanjutan ekonomi sumberdaya, seolah dipertentangkan sedemikian rupa sehingga terciptanya dua kelompok yang menolak ekspor benih lobster atas nama lingkungan dan mendorong penangkapan, perdagangan, pengeluaran (ekspor), pembesaran dan restocking benih lobster atas nama keberlanjutan ekonomi.

Kalau bertanya pada kelompok lingkungan tentang hubungan alat tangkap benih lobster yang dinamakan pocong itu merusak lingkungan atau tidak?. Kebanyakan dari mereka tak bisa menjawab. Karena rata-rata kelompok atas nama lingkungan ini ributnya dimedia sosial tanpa lakukan riset, kajian, dan analisis. Lagi pula, dari sisi mana benih lobster merusak lingkungan? walaupun dalam penangkapannya semua harus memperhatikan keberlangsungan ekosistem lingkungan laut.

Setelah diamati, kelompok atas nama lingkungan ini lebih menggunakan sentimen nasionalisme. Mereka suka membaca media tanpa kajian, suka berseloroh dimedia sosial tanpa lakukan studi riset dan paling penting diketahui bahwa: "mainstream pembawa isu lingkungan cenderung membawa bisnis pribadi dalam lakukan propaganda dan agitasi."

Kemudian, kalau bertanya pada kelompok Keberlanjutan Ekonomi, kita mendapat jawaban lebih meyakinkan, rasional dan objektif. Walaupun sangat mainstream argumentasinya. Tetapi, tidak mudah menyadarkan para masyarakat untuk memahaminya.

Karena sebelum mengambil kebijakan, kata kuncinya: "Keberlanjutan ekonomi." Tentu untuk memberikan jugment pada publik sudah jelas melalui pembahasan aturan perdagangan benih lobster yang melihat sisi keberlanjutannya. Karena selama 5 tahun ini, nelayan penangkap benih lobster tidak mendapat kenyamanan dan selalu ditangkap aparat, dituduh ilegal dan dipenjara. Artinya dari aspek peraturan menteri memberi pesan bahwa selama ini aturan tersebut bermasalah.

Maka, sudah jelas kebijakan tersebut, harus ada konsultasi publiknya dengan kepala dingin guna menemukan solusi terbaik. Selain itu, harus pertimbangkan faktor penyelundupan benih lobster ke luar negeri marak terjadi sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu keberlanjutan ekosistem ekonomi lobster.

Maka, tentu kebijakan yang akan menjadi keputusan bersama itu merupakan komitmen kuat, bahwa selama ini kita harus mengembalikan kehendak nelayan lobster sebagai stakeholders. Jangan lagi seperti kebijakan koboy tanpa kajian dan riset, seperti periode lalu.

Oleh karena itu, kegiatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang tengah mengkaji dan merumuskan ulang peraturan terkait bersama para stakeholder dan ahli-ahli merupakan kewajiban untuk memfasilitasi peraturan yang nyaman, penciptaan lapangan kerja, menumbuhkan investasi benih lobster dan memberi dampak kesejahteraan. Karena regulasi itu penentu nasib masa depan nelayan lobster.

Selama ini perdebatan tentang lobster tanpa kajian, tanpa riset dan tanpa analisis ekonomi sebagai dasar-dasar pemanfaatan ekonomi sebagai harapan keberlanjutan hidup masyarakat pesisir. Apalagi kebijakan berdasarkan kajian dan komunikasi para ahli, sudah pasti argumentasinya kuat.

Namun, banyak pengkritik selama ini, tidak memahami bahwa tingkat kelangsungan hidup (survival rate - SR) benih lobster dialam hingga dewasa hanya mencapai 1%. Pengkritik dimedia sosial atas nama kelompok lingkungan itu kebanyakan ruang kosong dan argumentasinya hampa.

Menurut hasil riset Carribean Sustainable Fisheries dan Australian Center for International Agriculture Research: "untuk mengoptimalkan pemanfaatannya diperlukan upaya-upaya pendukung. Salah satunya adalah melalui kegiatan pembesaran (budidaya) atau penangkaran. Selain itu, ada juga strategi restocking dan ekspor benih secara kuota.

Yang paling penting dipahami bahwa benih lobster kalau tidak dibesarkan dan tidak dimanfaatkan, lalu dibiarkan hidup secara alamiah, maka dalam berbagai riset manapun di dunia ini bahwa: "benih lobster yang hidup itu hanya 1%, bahkan di beberapa penelitian tidak sampai 1%."

Problemnya yang muncul, perdebatan kelompok ini seperti kanibal. Saling menerkam satu sama lain. Karena kelompok atas nama lingkungan tidak memberi ruang argumentasi mekanisme regulasi untuk kesejahteraan pada nelayan penangkap benih lobster. Kelompok ini ingin menyelundupkan saja, menangkap nelayan dan memejarakannya. Padahal ribuan orang yang menggantungkan hidupnya ini, sedang mencari jalan keluarnya. Ini sudah terjadi beberapa tahun dan jalan keluarnya memang simulasinya banyak.

Dari banyaknya jalan keluar yang didiskusikan pada kegiatan konsultasi publik KP2 kemaren, beberapa yang muncul adalah legalisasi pembesaran benih lobster hingga ekspor benih lobster. Berbagai opsi tersebut belum diputuskan, masih dalam tahap pembahasan. Rencananya pada tanggal 13 - 14 Februari 2020 regulasi itu dibahas di Bogor.

Ada opsi untuk ekspor, apakah solusi itu benar?. Apakah tepat ekspor 100%?. Ada juga opsi dibesarkan 100% karena itulah potensi mendapatkan nilai tambah yang besar. Untuk itulah opsi pembesaran benih lobster dimunculkan. Kalau tidak dibesarkan benih lobster akan mati sia-sia, kemungkinan hidupnya tinggal 1 %. Tapi kalau dibesarkan, maka memiliki peluang Survival Ratenya 70%. Namun, masalah lain lagi, di Indonesia Lobster hanya maksimal hidup hanya 40%. Karena dipengaruhi faktor alam.

Apalagi telur lobster di Indonesia mencapai 26,9 miliar ekor per tahun, sedangkan larva lobster 24,7 miliar ekor per tahun. Adapun jika berlanjut menjadi benih lobster, diperkirakan sebanyak 12,3 miliar per tahun. Kalaupun benih lobster diekspor dengan skema 100 perusahaan eksportir dengan kuota pertahun mereka ekspor sejumlah 100juta benih. Maka cuma ekspor pertahun 1 miliar benih. Sementara sisanya masih 11,3 miliar pertahun. Jadi tidak akan punah, itu yang dimaksud Effendy Gazali yang tidak dipahami oleh Susi Pudjiastuti dalam perdebatannya.

Meskipun demikian, prinsip yang paling penting dalam pemanfaatan benih lobster ini adalah menyeimbangkan agar nelayan pengambil benih lobster dan nelayan penangkap lobster dewasa dapat hidup berdampingan, tidak kehilangan mata pencahariannya.

Dilansir sindonews (5 Februari 2020) dalam keterangan Wakil Ketua Bidang Riset dan Pengembangan KP2 KKP Bayu Priambodo menerangkan, potensi hidup benih lobster di alam memang sangat kecil, yakni 1:10.000. Artinya, dari 10.000 benih yang punya potensi hidup hingga besar adalah satu ekor saja.

Bayu Priambodo juga katakan bahwa: begitu induk-induk lobster menetaskan telur di laut, dia dititipkan pada mekanisme alam, mekanisme arus dan mekanisme alam regional. Sehingga bila benih-benih tersebut tidak dimanfaatkan menjadi nilai ekonomis, akan mati sia-sia. Cara memanfaatkan paling efektif adalah dengan budidaya (pembesaran) lobster. Pelarangan sebaiknya hanya untuk lobster bertelur. Prinsip utamanya jangan ganggu indukan yang ada telurnya. Kalau ambil induk, itu mempercepat kepunahan.

Guna mempertahankan kelangsungan lobster di alam, ada beberapa aturan yang dapat diterapkan dalam pembesaran dan pelarangan penangkapan induk lobster bertelur. Salah satunya yaitu dengan mewajibkan nelayan (stakeholders) lakukan pembesaran benih lobster mengembalikan sebanyak 5% hasil pembesarannya ke alam. Dengan ini kan otomatis yang tadinya kesempatan hidup benih lobster hanya 1%, bisa kembali restocking 5% setelah pembesaran.

Sementara itu, Koordinator Penasihat Menteri, Rokhmin Dahuri mengaku ada empat langkah KKP dalam menangani persoalan benih lobster. Pertama akan membudidayakan (pembesaran) lobster, pengembangbiakan benih (hatchery), restocking, dan ekspor dalam jumlah sangat terbatas dan terkendali (kuota). Karena kalau ekspor langsung dimatikan, justru yang akan terjadi adalah black market dan yang kaya oknum-oknum saja.

Hal yang tak kalah penting yaitu memastikan tidak terjadi pengrusakan habitat lobster akibat penggunaan sianida dan bahan kimia berbahaya lainnya, blast fishing (penangkapan ikan dengan peledakan), serta cara-cara lainnya yang juga dapat merusak koral, termasuk pencemaran laut oleh limbah minyak.

Jangan pertumbuhan terhambat hanya karena selalu bersembunyi di kedok lingkungan. Dan jangan juga dengan alasan lingkungan, tidak ada kehidupan. Tentu sisi lain, juga ingin pertumbuhan ekonomi juga tidak merusak lingkungan. Keduanya harus berjalan seimbang.[]


Tinggalkan Komentar