telusur.co.id - Oleh : LSI Denny JA
Pidato itu bergema di ruang megah Majelis Umum PBB.
Suara Prabowo Subianto, tegas sekaligus hangat, berbicara tentang perdamaian, kedaulatan, dan martabat Palestina dan bangsa- bangsa Selatan.
Di layar televisi dan ponsel rakyat Indonesia, banyak mata menatap penuh bangga: itu presiden kita.
Di tengah bendera-bendera dunia, merah putih berkibar dengan percaya diri. Untuk sesaat, rakyat Indonesia merasa: negeri ini didengar lagi di panggung dunia.
Namun, di sisi lain, masih ada luka yang belum kering.
Agustus 2025, ketika kerusuhan sosial meledak di beberapa kota karena harga beras dan bahan bakar melonjak.
Di jalanan, asap membumbung dari ban yang dibakar. Di media sosial, amarah bercampur dengan kelelahan ekonomi.
Inilah dua wajah tahun pertama Prabowo-Gibran: kebanggaan yang menggetarkan, dan kegelisahan yang mendalam.
Satu tahun telah berlalu, antara mimpi besar dan ada kenyataan yang getir.
Tahun pertama pemerintahan selalu menjadi periode ujian.
Ekspektasi publik masih tinggi, tetapi realitas kebijakan mulai menampakkan wujudnya.
Survei LSI Denny JA pada Oktober 2025 mencoba memotret denyut hati rakyat, mengukur suhu nasional melalui enam aspek kehidupan bernegara: politik, hukum, keamanan, sosial-budaya, hubungan internasional, dan ekonomi.
Hasilnya menyerupai termometer kepercayaan: lima rapor biru, satu rapor merah.
Lima aspek mendapat penilaian positif. Sementara ekonomi menjadi satu-satunya bidang yang tertinggal, menanggung beban kegelisahan rakyat.
Di antara enam bidang, hubungan internasional mencatat nilai tertinggi (63,5).
Publik menyaksikan Prabowo tampil percaya diri di forum global.
Skor ini dihitung dari prosentase publik yang menilai baik/sangat baik dikurangi prosentase publik yang menilai buruk/sangat buruk. Jika hasilnya positif, ia rapor biru. Jika hasilnya negatif, ia rapor merah.
Prabowo menyuarakan kemanusiaan dalam konflik Israel-Palestina, membawa semangat Global South, dan memperluas jejaring diplomasi dengan tokoh dunia seperti Donald Trump.
Masuknya Indonesia ke dalam BRICS menjadi simbol bahwa negeri ini tak lagi sekadar penonton, melainkan pemain dalam peta kekuatan global.
Dalam persepsi publik, Prabowo bukan hanya presiden nasional, tetapi figur global, seorang pemimpin yang membuat Indonesia kembali disegani.
Kebanggaan ini nyata, emosional, dan sulit dipisahkan dari identitas kolektif bangsa yang lama merindukan pengakuan dunia.
Namun di bawah gemerlap diplomasi, ekonomi menjadi bayangan panjang.
Dengan skor -13,8, aspek ekonomi menjadi satu-satunya yang merah.
Lebih banyak rakyat yang menilai hidup mereka “buruk” daripada “baik”. Lapangan kerja makin sulit (skor -46,9), daya beli menurun (skor -50).
Di warung, ibu-ibu menawar dengan suara pelan; di pabrik, buruh cemas akan pemutusan kerja.
Di sinilah tampak jurang antara narasi makro yang disiarkan pemerintah dan realitas mikro yang dirasakan rakyat.
Pertumbuhan ekonomi mungkin stabil di atas kertas, tapi di meja makan rakyat, piringnya tetap sama: nasi, sambal, dan harapan yang menipis.
Survei menunjukkan, tingkat kepuasan terhadap Prabowo masih tinggi 74,8%.
Namun angka itu mulai fluktuatif: naik di semester pertama, lalu menurun di Oktober.
Ini bukan gejala elektoral, melainkan tanda psikologis: masa euforia telah bergeser menjadi masa evaluasi.
Rakyat yang dulu terpukau oleh pidato dan simbol kini menuntut bukti.
Gaya tegas dan gestur heroik tak lagi cukup; yang dicari adalah kebijakan yang terasa di dapur dan di lapangan pekerjaan.
Beberapa program unggulan diuji publik.
Cek Kesehatan Gratis menjadi yang paling disukai (79,8%), karena langsung dirasakan.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikenal luas dan disukai (53,8%), tapi juga paling dikritik (38,2%).
Program 19 Juta Lapangan Kerja justru menelan skeptisisme (ketidakpuasan 71,6%), dan Koperasi Merah Putih masih jauh dari harapan rakyat (ketidakpuasan 23,1%)
Data ini memberi pelajaran mendalam: ide yang populer tidak selalu identik dengan implementasi yang kuat.
Rakyat bukan menolak visi besar, mereka hanya ingin melihat hasil yang bisa disentuh.
Sosiologi Kritik: Siapa yang Puas, Siapa yang Tidak
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) mencerminkan wajah Indonesia yang beragam.
Laki-laki lebih banyak puas (57,8%), perempuan lebih banyak kecewa (40,6%).
Kota lebih puas daripada desa. Wong cilik cenderung menerima dengan syukur, sementara kelas menengah lebih kritis.
Wilayah Bali-Nusra memberi pujian, sedangkan Sumatera dan Maluku-Papua memberi peringatan.
Gen Z terlihat paling antusias, namun di ruang digital, terutama Twitter/X, gelombang kritik deras mengalir.
Semua ini menunjukkan satu hal: keberhasilan program bukan hanya soal niat, tapi juga soal keadilan distribusi dan komunikasi yang menyentuh semua lapisan.
Kendati ekonomi tersandung, tingkat liking (favourability, kesukaan) terhadap Prabowo masih luar biasa: 89,9%.
Namun cinta publik adalah pedang bermata dua.
Semakin disukai, semakin tinggi pula tuntutan untuk membuktikan cinta itu layak.
Popularitas adalah bunga yang cepat layu bila tak disiram dengan hasil konkret.
Gabungan dari seluruh temuan ini menegaskan tesis besar :
Pemerintahan Prabowo-Gibran telah menciptakan narasi yang disukai, tapi kini harus menghadirkan kenyataan yang dibutuhkan.
Stabilitas politik, legitimasi global, dan citra kepemimpinan adalah aset besar. Namun ekonomi adalah nadi yang menentukan hidup atau matinya kepercayaan publik.
Antara Janji dan Jalan Panjang
Tahun pertama ini adalah cermin: memperlihatkan wajah harapan sekaligus luka.
Rakyat bangga melihat Prabowo di PBB, tetapi juga menunduk di depan daya beli yang melemah.
Dari podium dunia hingga dapur rakyat, jarak itu kini menjadi ujian moral sebuah pemerintahan.
Sejarah memberi waktu, tapi waktu tak menunggu.
Popularitas dapat dibangun dalam setahun, tetapi kepercayaan hanya tumbuh dari keberanian menepati janji.
Untuk mencapai loncatan ekonomi, beberapa hal perlu dipertimbangkan. Pemerintah dapat mengalihkan energi diplomasi ke economic statecraft.
Economic statecraft adalah seni menggunakan kekuatan ekonomi, seperti investasi, perdagangan, dan bantuan luar negeri, sebagai alat diplomasi untuk mencapai kepentingan politik dan memperkuat posisi Indonesia di dunia.
Prabowo bisa pula memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk membuka pasar baru. Juga mengubah subsidi BBM menjadi insentif industri hijau. Dapat pula memperkuat UMKM melalui digitalisasi.
Transformasi struktural ini akan mengubah kebanggaan global menjadi kesejahteraan domestik. Di titik itu, statistik makro dan
tangis mikro akhirnya berdamai.
Di tahun-tahun berikutnya, nasib pemerintahan ini akan ditentukan oleh satu hal:
mampukah ia mengubah kebanggaan menjadi kesejahteraan, dan gegap gempita pidato menjadi awal solusi.
Itu agar gagasan yang kuat juga disertai oleh eksekusi di lapangan yang efektif.
(Detil data dan analisis lebih detil bisa dilihat melalui link ini) : https://drive.google.com/file/d/10p4dMeI6w0i9EzTDizt_8Xm-waxOxP7g/view?usp=drivesdk



