telusur.co.id - Di balik pohon kelapa sawit yang selama ini dikenal sebagai sumber utama minyak goreng, tersimpan potensi besar yang sering terabaikan: batangnya. Namun kini, batang sawit yang biasanya dianggap limbah usai replanting (peremajaan) mulai menyimpan harapan manis secara harfiah.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong hilirisasi kelapa sawit agar tak hanya berputar pada CPO dan minyak goreng. Lima jalur utama hilirisasi sedang digarap serius: minyak goreng, oleofood, oleokimia, fitonutrien, hingga biomassa dan biomaterial. Salah satu langkah nyatanya adalah menjadikan batang sawit tua sebagai sumber nira manis, yang bisa diolah menjadi gula merah berkualitas tinggi.
Langkah ini tidak hanya sekadar wacana. Kemenperin telah memfasilitasi penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PalmCo/PTPN IV dan Koperasi Produsen Gerak Nusantara (KPGN) di Pabrik Kelapa Sawit Adolina, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Penandatanganan ini disaksikan langsung oleh anggota Komisi VII DPR RI, dalam kunjungan kerja mereka ke Sumut.
Dirjen Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, menjelaskan bahwa batang sawit yang biasanya terbengkalai setelah peremajaan kebun, ternyata bisa menghasilkan nira yang kaya akan gula alami. Di beberapa daerah penghasil sawit seperti Serdang Bedagai, sudah mulai bermunculan pengrajin nira lokal yang melihat peluang emas ini.
“Nira sawit bisa jadi solusi ekonomi yang nyata bagi petani, khususnya saat masa peremajaan. Ini sumber penghasilan alternatif yang potensial,” ujar Putu.
Data Kemenperin menunjukkan, satu batang sawit bisa menghasilkan rata-rata 6,8 liter nira per hari. Proses penderesan dilakukan pagi dan sore selama 1,5–2 bulan. Dari hasil survei terhadap pengrajin lokal, keuntungan bersih yang bisa diraih petani mencapai Rp18–25 juta per hektar—bahkan jika dikerjakan secara mandiri.
Untuk memulai, dibutuhkan investasi sekitar Rp25 juta per hektar, mencakup peralatan dan pengolahan. Namun angka ini dinilai sangat feasible, apalagi jika dilakukan secara kolektif melalui koperasi atau kemitraan.
Selain menambah nilai ekonomi, inisiatif ini juga merupakan bagian dari visi ekonomi hijau yang sedang digaungkan Indonesia. Pengelolaan limbah organik menjadi produk bernilai jual tinggi adalah bentuk nyata dari ekonomi sirkular.
“Yang terpenting, petani dan pelaku IKM harus didukung dengan pelatihan, sistem manajemen yang efisien, serta kemitraan yang kuat. Tujuannya agar produksi lebih berkualitas dan berkelanjutan,” tegas Putu.
Melalui sinergi antara petani, pengrajin, koperasi, dan industri, nira sawit kini menjadi simbol transformasi: dari batang tua yang terbuang, menjadi penggerak ekonomi baru.[iis]