telusur.co.id - Aksi damai warga Perumahan Kota Serang Baru (KSB), Desa Sirna Jaya, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, yang menolak penggunaan bangunan ruko dijadikan tempat ibadat oleh jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), mendapat tanggapan dari Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bekasi, KH Athoillah Mursjid, SE, M.Si.
Kepada telusur.co.id, Jumat (3/9/2021) di Cikarang, Athoillah Mursjid menjelaskan, berdasarkan peraturan dua menteri nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, pada BAB V tentang Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung untuk digunakan sebagai tempat ibadat, itu harus memenuhi beberapa persyaratan.
Pertama, layak pakai. Artinya, bangunan tersebut layak dan sesuai digunakan tempat ibadat, bukan rumah ibadat. Kedua, pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban nasyarakat.
Untuk mewujudkan poin dua, panitia penyelenggara harus menyampaikan izin tertulis pemilik bangunan, rekomendasi tertulis dari kepala desa setempat dan menyampaikan pelaporan tertulis kepada FKUB dan Kemenag Kabupaten Bekasi.
"Untuk hal itu, panitia pelaksana kegiatan ibadat di Blok F KSB telah melaksanakannya," ungkap Ketua FKUB Kabupaten Bekasi.
Adapun perbedaan tempat ibadat dengan rumah ibadat, kata Athoillah Mursjid, tempat ibadat yaitu bangunan seperti ruko atau rumah pribadi dijadikan kegiatan ibadat.
Sedangkan rumah ibadat adalah bangunan seperti masjid, gereja, vihara, kelenteng, dan sebagainya. “Nah, kalau untuk kegiatan tempat ibadat sesuai peraturan 2 menteri, BAB 5 Pasal 18, 19 dan 20 itu tidak harus meminta izin atau persetujuan dari 60 warga. Tapi cukup panitia penyelenggara hanya penyampaikan permohonan izin sementara,” katanya.
Menurut dia, izin sementara itu disampaikan ke kepala desa yang diteruskan ke camat. “Dan, surat izin sementara itu bisa dikeluarkan oleh camat, tidak harus oleh bupati,” ujarnya.
Mengenai masa berlakunya izin sementara, menurut Athoillah Mursjid, selama dua tahun. Setelah dua tahun, mereka bisa memperpanjang atau mereka mencari lokasi lain untuk membangun rumah ibadat.
“Jadi kalau untuk membangun rumah ibadat, itu mutlak persyaratan harus ditempuh. Dalam BAB IV Pasal 14 mereka diharuskan mendapatkan tanda tangan dan fotocopy KTP, sekurang-kurang 90 jemaat. Selain itu, harus mendapat persetujuan sekurang-kurangnya 60 warga yang dibuktikan dengan tanda tangan warga dan fotocopy KTP,” paparnya.
Sementara kegiatan ibadat yang dilakukan HKBP di bangunan ruko yang berlokasi di Perumahan Kota Serang Baru (KSB), Blok F, Desa Sirna Jaya, itu bukan rumah ibadat, tapi tempat ibadat.
“Jadi, jemaat HKBP tidak perlu meminta bukti tanda tangan dan fotocopy KTP, sekurang-kurangnya 90 dari jemaat, dan atau persetujuan warga yang dibuktikan tanda tangan dan fotocopy KTP sekurang-kurangnya 60 dari warga,” bebernya.
Dengan demikian, lanjut Athoillah Mursjid yang juga mantan Plt Ketua Umum MUI Kabupaten Bekasi ini, kegiatan yang dilakukan jemaat HKBP di bangunan ruko itu, bukan rumah ibadat melainkan tempat ibadat.
“Tempat ibadat itu sekelas mushola kalau di Islam. Jadi, tidak perlu meminta bukti tanda tangan dan fotocopy KTP sekurang-kurangnya 90 dari jemaat dan 60 tanda tangan dan fotocopy KTP warga,” katanya.
Athoillah Mursjid mengungkapkan, FKUB juga sudah pernah memberikan masukan kepada Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja, agar Pemerintah Kabupaten Bekasi segera mengeluarkan surat izin sementara atau memberikan lokasi lain untuk digunakan tempat ibadat.
“Tujuan agar kerukunan dan ketentraman umat beragama di Desa Sirna Jaya terjalin dengan baik. Dan, ini merupakan kewenangan Pemkab Bekasi setelah mendapat masukan dari FKUB dan Kementerian Agama,” pungkasnya.
Laporan: dudun