telusur.co.id -Tidak seperti biasa, sambutan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng, di hadapan tiga ribu lebih wisudawan, orang tua, dan undangan lain, pada Rabu (17/9) siang, menyiratkan pidato perpisahan. Beberapa kali suara parau Rektor terdengar dan ia berhenti sejenak.
Dalam sambutan itu, beberapa undangan, terutama dosen dan tenaga kependidikan Unusa, sempat menyeka bulir air yang keluar dari kelopak mata mereka. Sambutan diakhiri dengan sebuah lirik lagu Karena Cinta yang dipopulerkan oleh Glenn Fredly dan disambut dengan lantunan lagu tersebut dari seorang anggota panduan suara. Tanpa komando, wisudawan, undangan, dan anggota senat pun berdiri bersama, lalu bernyanyi bersama lagu Karena Cinta.
Pemandangan ini memang tidak lazim dalam acara wisuda di Unusa. Undangan menangkap sambutan Rektor tersebut sebagai isyarat perpisahan, karena Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng, telah memimpin Unusa selama dua periode.
Wisuda kali ini juga menegaskan kembali komitmen Unusa sebagai perguruan tinggi yang terbuka bagi siapa saja yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, tanpa memandang usia maupun latar belakang agama.
Prof. Jazidie menuturkan bahwa Unusa senantiasa mendorong masyarakat untuk terus menuntut ilmu dalam berbagai jenjang.
“Sesuai dengan tagline rahmatan lil alamin, Unusa hadir bagi siapa pun, dari mana pun, untuk mengembangkan pengetahuan dan keilmuannya,” ujarnya.
Penegasan tersebut muncul karena dalam wisuda dan pelantikan kali ini, tercatat sedikitnya sepuluh orang peserta adalah non-muslim, sehingga ketika pengambilan sumpah profesi, hadir tiga rohaniawan berbeda untuk mendampingi pengambilan sumpah: masing-masing rohaniawan Islam, Kristen, dan Katolik.
Komitmen tersebut juga terlihat dari keberagaman latar belakang para lulusan tahun ini, baik dari segi agama maupun usia. Sejumlah wisudawan menempuh pendidikan di usia yang tidak lagi muda, seperti Anastasia Ni Luh Asriyati, Woro Siswanto, Maria Redonna, Rahayu, dan Nur Kholis. Di usia 50-an tahun, mereka tetap berjuang menyelesaikan studi dan berhasil meraih gelar sarjana dan profesi.
Mereka yang dari latar belakang non-muslim, seperti Maria, Anastasia, dan Woro, membuktikan bahwa Unusa dapat menjadi rumah belajar bagi siapa saja tanpa memandang keyakinan. Kehadiran mereka memperkuat citra Unusa sebagai kampus yang inklusif dan menjunjung tinggi keberagaman.
Anastasia Ni Luh Asriyati, wisudawan Prodi S1 Keperawatan, bercerita, meski awalnya sempat diliputi keraguan karena berbeda keyakinan, perempuan asal Denpasar itu justru menemukan kenyamanan selama berkuliah di Unusa.
“Saya justru mendapat banyak pelajaran tentang toleransi. Apalagi saat mata kuliah Aswaja, saya belajar banyak tentang kebaikan dari teman-teman muslim,” ujarnya.
Sementara bagi Woro Siswanto, wisudawan non-muslim lainnya, ia mengaku diterima dengan hangat oleh lingkungan kampus dan tidak pernah merasakan adanya kecanggungan, baik dari sisi agama maupun usia.
“Di sini saya justru merasa nyaman. Tidak ada perbedaan perlakuan, semuanya berjalan penuh toleransi dan persaudaraan,” ceritanya.
Sementara alasan untuk terus mengembangkan ilmu di usia yang tidak lagi muda diakui oleh Nur Kholis, yang tercatat sebagai wisudawan tertua. Katanya, bidang keperawatan terus berkembang dari waktu ke waktu, karena itu jika dirinya tidak memperdalam melalui kuliah, maka akan tertinggal.
“Alhamdulillah darah daging saya sejak awal di keperawatan, masuk SPK tahun 1994, lalu ambil diploma di Poltekes, dan lanjut S1 dan Ners di Unusa,” kata suami dari Indah Handayani, yang kini bertugas di Puskesmas Kedurus, bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
Selain isyarat perpisahan dari Rektor, dalam wisuda kali ini juga ada peristiwa langka, yakni seorang wisudawan sekaligus tampil sebagai qori. Dia adalah Langga Pratama Putra, wisudawan S1 Manajemen RPL yang kini tercatat sebagai karyawan PT PLN Nusantara Power. Dipilihnya Langga memang bukan tanpa alasan, karena ia pernah tercatat sebagai juara pertama kelompok remaja dalam MTQ di Jatim dan pernah mewakili Jawa Timur dalam MTQ Nasional di Lombok.
“Keputusan untuk kuliah setelah diterima bekerja tidak lain untuk menunjang karier ke depan. Tapi selama ini saya tidak pernah berterus terang jika kuliah sambil bekerja,” katanya.
Peraih IPK 3,7 ini pun mengaku, bahwa materi yang diperolehnya di bangku kuliah sangat bermanfaat bagi pengembangan kariernya di dunia kerja.
“Saya ikut menangani kontrak dengan pihak ketiga, dan materi yang saya peroleh sangat membantu,” kata pria kelahiran Sidoarjo, 23 November 2000.