Tatib Baru DPR Berpotensi Picu Konflik Antarlembaga - Telusur

Tatib Baru DPR Berpotensi Picu Konflik Antarlembaga

Gedung MPR/DPR/DPD RI. (Foto: telusur.co.id/Fahri)

telusur.co.id - Revisi Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) menuai berbagai sorotan publik karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. 

Pengamat Politik Citra Institute, Efriza menilai, tatib baru itu sarat akan kepentingan politis yang sengaja dibuat untuk menjadikan lembaga wakil rakyat tersebut memiliki super power.

"Tata Tertib ini jelas muatan sasarannya adalah menjadikan DPR sebahai legislatif heavy, sehingga DPR dalam Tatib punya kewenangan sangat superpower sampai kepada melebihi kewenangannya dan juga menghilangkan prinsip check and balances," kata Efriza dalam keterangannya, Sabtu (8/2/2025). 

Menurutnya, DPR sudah salah kaprah dalam membuat Tatib, seharusnya Tatib tersebut dibuat untuk mengatur internal DPR dan bukan untuk menjadi DPR sebagai lembaga super power. 

"DPR sudah salah kaprah dan konyol. Legislator kita tak paham makna tata tertib, tata tertib itu untuk mengatur ke internal DPR," ujarnya. 

Adapun Tatib baru ini, kata Efriza, membuat lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusional (MK), Mahkamah Agung (MA), calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga calon Kepala Polri, berada di bawah kendali DPR, karena parlemen bisa melakukan evaluasi hingga memberikan rekomendasi pencopotan jabatan. 

"Ini jelas muatannya politis, ditenggarai legislator ingin melemahkan lembaga-lembaga lain untuk kepentingan diri dan golongannya, ujungnya juga memungkinkan untuk kepentingan partai-partai politiknya, karena legislator kita bekerja sesuai arahan atau instruksi partainya," bebernya. 

Lebih lanjut, Dosen Ilmu Pemerintahan Unpam Serang itu juga menilai, dengan adanya Tatib baru tersebut justru potensi memicu konflik antar lembaga hingga merembet ke partai politik. 

"Tatib ini malah juga akan menghasilkan konflik antar kelembagaan kelak, misal saja, jika KPK menyasar Ketua Umum/Sekjen Partai/Pimpinan DPR," ucapanya. 

"Lalu langkah berikutnya KPK akan dievaluasi oleh DPR. Hasil, maka memungkinkan kepemimpinan KPK itu dianggap bernilai minus, ujungnya konflik antar kelembagaan dapat tercipta," pungkasnya.[Fhr] 

 

Laporan: Dhanis Iswara 


Tinggalkan Komentar