Vonis 14 Bulan untuk Kasus Tabrak Lari: Benarkah Keadilan Sudah Ditegakkan? - Telusur

Vonis 14 Bulan untuk Kasus Tabrak Lari: Benarkah Keadilan Sudah Ditegakkan?


Telusur.co.id -Oleh: FX. Hastowo Broto Laksito, Dosen Fakultas Hukum UNISRI.

Vonis 14 bulan penjara terhadap pelaku tabrak lari yang menewaskan seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada kembali membuka perdebatan publik mengenai konsistensi penegakan hukum pidana di Indonesia. Ketika sebuah nyawa hilang akibat kelalaian pengemudi, wajar bila masyarakat mempertanyakan apakah hukuman yang dijatuhkan telah mencerminkan rasa keadilan, baik bagi keluarga korban maupun bagi kepentingan publik dalam menegakkan ketertiban lalu lintas.

Dalam perspektif hukum pidana, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian dapat dijerat dengan pasal mengenai kelalaian (culpa), terutama jika terbukti bahwa pelaku gagal memenuhi standar kehati-hatian yang semestinya. Namun unsur kelalaian tidak berhenti pada tindakan awal. Pilihan untuk melarikan diri, tidak memberikan pertolongan kepada korban, serta menutupi fakta justru menggambarkan bentuk kesengajaan baru yang memperburuk keadaan. Oleh karena itu, putusan pidana seharusnya mempertimbangkan tidak hanya peristiwa kecelakaan, tetapi juga rangkaian perilaku yang dilakukan pelaku setelah kejadian.

Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah vonis 14 bulan sudah mencerminkan rasa keadilan substantif. Banyak kasus serupa menunjukkan bahwa hukuman untuk kelalaian yang menyebabkan kematian sering kali lebih ringan dibandingkan dampaknya bagi korban dan keluarga.

Fenomena ini menciptakan persepsi bahwa hukum cenderung lebih lunak terhadap pelaku, terutama jika mereka memiliki akses, latar belakang sosial tertentu, atau mampu menunjukkan berbagai faktor yang meringankan di pengadilan. Padahal, dalam teori pemidanaan modern, hukuman memiliki fungsi bukan hanya untuk membalas, tetapi juga untuk mencegah, mendidik, dan menegakkan nilai sosial mengenai tanggung jawab.

Dari aspek perlindungan publik, putusan yang terlalu ringan dikhawatirkan gagal memberikan efek jera bagi pengemudi lain, terutama dalam konteks meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Mengemudi bukan sekadar aktivitas teknis, melainkan tanggung jawab hukum yang mensyaratkan kehati-hatian tinggi. Ketika pengadilan tidak memberikan bobot yang lebih besar terhadap akibat fatal, masyarakat bisa menafsirkan bahwa kelalaian yang mengorbankan nyawa tidak mendapat penilaian yang proporsional.

Namun perlu diingat bahwa pemidanaan bukan satu-satunya ukuran keadilan. Investigasi menyeluruh, transparansi proses hukum, pengakuan kesalahan, pemulihan bagi keluarga korban, serta sikap kooperatif pelaku juga menjadi variabel penting yang perlu dianalisis. Setiap vonis harus mencerminkan keseimbangan antara bukti, motif, rekonstruksi kejadian, dan dampaknya. Meskipun demikian, publik tetap berhak mempertanyakan apakah standar kehati-hatian yang wajib dijunjung tinggi justru dibiarkan kabur oleh vonis yang terlalu ringan.

Tragedi ini selayaknya menjadi momentum bagi pembaruan paradigma dalam penanganan kasus kecelakaan lalu lintas. Penegakan hukum harus lebih tegas, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemidanaan. Selain itu, negara perlu memberikan dukungan lebih kuat bagi keluarga korban, termasuk bantuan hukum dan pengawasan terhadap proses peradilan agar tidak terjadi ketimpangan kepentingan. 

Pada akhirnya, nyawa manusia tidak bisa dikembalikan oleh putusan apa pun. Namun hukum bertugas memastikan bahwa setiap kehilangan nyawa diperlakukan dengan keseriusan yang pantas. Vonis 14 bulan mungkin telah melewati proses formal yang sah, tetapi pertanyaan tentang apakah vonis ini telah memenuhi rasa keadilan akan terus menggema.

Kasus ini mengingatkan bahwa keselamatan publik adalah nilai yang harus dijaga, dan hanya melalui penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berorientasi pada perlindungan nyawa, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan.


Tinggalkan Komentar