Waktu Tak Bisa Dibeli: Mengapa Presiden Prabowo Harus Bertindak Radikal Demi Menyelamatkan Republik - Telusur

Waktu Tak Bisa Dibeli: Mengapa Presiden Prabowo Harus Bertindak Radikal Demi Menyelamatkan Republik

Bernard Haloho Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Ind-Bri (foto : ist)t

telusur.co.id -Sepertinya sejarah menakdirkan Prabowo sebagai pria yang selalu berada di tengah pusaran badai politik. Bedanya, kini ia menjadi orang nomor satu yang sangat bertanggung jawab diharapkan dapat menyelamatkan Indonesia dari badai politik dunia.

Badai yang sedang berproses belum pernah terjadi dalam sejarah modern dunia. Badai geopolitik, ekonomi, dan revolusi AI datang serentak.

Agustus Hitam dan Politik Serigala Berbulu Domba

Sejak awal, publik lantang mengingatkan Prabowo, menjadi presiden penuh, otoritatif, dan konstitusional guna mencegah isu liar —- presiden boneka atau matahari kembar. Harapannya, agar Prabowo tidak kehilangan waktu menyelamatkan republik — seperti pasien kanker. Karena akar masalahnya adalah elit yang abuse of power membuat rakyat menderita dalam kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, dan hukum yang rusak.

Prediksi publik benar, bahwa Prabowo akan diganggu dan mungkin dijatuhkan setelah melihat komposisi Kabinet Merah Putih yang signifikan diisi aset-aset politik Jokowi. Sulit menolak opini publik bila demo rusuh Agustus Hitam mengkonfirmasi itu. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan bertindak radikal atau kompromi? 

Demo “Agustus Hitam” mempertegas masalah kanker republik bukan omon-omon. Demo teror tidak organik, tapi cipta kondisi oleh invisible hand. Terlihat dari aksi penjarahan rumah pejabat serentak dan cepat, seolah-olah inisiatif dari akar rumput. 

Target awal Shadow Elites penunggang demonstrasi adalah delegitimasi presiden di mata publik. Selanjutnya pada momentum tepat mengganti presiden, sedangkan jangka pendek status quo. 

Kondisi ini rawan berulang bila pilihan kompromi yang diambil. Kompromi artinya kebijakannya moderat. Penyembuhan kanker republik semakin jauh. Reshuffle terbatas hanya berguna untuk resep penyakit ringan republik. Kompromi hanya mengobati sesaat dan memberikan kenyamanan semu. Ia regresif anti kemajuan. Yang terjadi justru memberi ruang bermutasi-nya sel-sel baik menjadi ganas. Memperlemah republik karena kankernya tetap ada dan berkembang.

Pertanyaannya, bagaimana strategi pemerintah menghadapinya? apa mitigasi yang harus dilakukan? apakah cukup dengan kebijakan Menkeu Purbaya yang akan menggelontorkan 200 T sehingga ekonomi Indonesia akan dinamis kembali dan tumbuh 6% yang katanya gampang, sebab faktor demand Indonesia tinggi sampai 90%. Sehingga anak-anak muda akan sibuk cari kerja dan pada makan enak. Padahal data OJK, ada dana kredit 2300 T yang belum terserap — Paradoks. 

Hanya sesederhana itukah masalah Indonesia? Benarkah Indonesia kebal pengaruh global? Seakan-akan dunia statis atau perkembangannya linear? Padahal dinamika cepat sedang terjadi di dunia. Berpotensi mendisrupsi aspek ekonomi, sosial, dan politik secara radikal.

Jangan berikan fantasi kepada masyarakat yang tidak mungkin diwujudkan hanya dengan kebijakan parsial. Jangan berikan masyarakat hanya remah-remah pembangunan di tengah tantangan perubahan dunia. 

Siklus Intens Parlemen Jalanan

Sejarah politik Indonesia menunjukkan pola berulang karena kedegilan elit: ketika sistem gagal menjawab aspirasi rakyat, parlemen jalanan muncul sebagai saluran alternatif. Dari 1974 hingga kini, mahasiswa, buruh, dan aktivis selalu menjadi aktor moral, bukan skenario makar. Tetapi ketika elite politik menungganginya, terjadi distorsi.

Reshuffle seharusnya strategis dan radikal untuk menempatkan orang yang tepat memahami tantangan zaman, tidak bermasalah, tegak lurus dan loyal kepada presiden, sehingga para pembantunya dapat menjalankan visi presiden untuk melakukan transformasi menuju Indonesia bangkit menjadi negara new-industry.

Target Prabowo menjadikan Indonesia negara maju yang sejahtera dihadapkan tantangan suram pada situasi domestik dan global. Sebagai presiden yang senang membaca dan berdiskusi, tentunya Prabowo sudah tahu masalah yang dihadapi, tapi menjadi lebih baik bila presiden melihat kembali ke dasar masalah dalam negeri dan menjiwai masalahnya yang sangat kompleks; utang, beban fiskal, birokrasi, hukum rusak, korupsi, kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, dan konflik elit. Bisakah diwujudkan dengan sistem rusak seperti itu? 

Begitupun di level dunia saat ini, tatanan aturan global rusak tidak lagi dipercaya. Ancaman perang konvensional dan ekonomi tetap tinggi, persoalan pengungsi, anti-imigran meluas ke banyak negara maju, dan persaingan keras teknologi antarnegara dan antar-korporasi mendekati titik kulminasi menguasai AGI. Penguasaan AGI berdampak pada perubahan lanskap ekonomi, keuangan, industri, dan tenaga kerja global. Siapa yang menguasai AGI akan mendominasi dunia.

Kanker republik yang diderita Indonesia, relatif sama dihadapi oleh mayoritas negara di dunia termasuk Barat negara maju —- yang dulu menjadi tujuan sebagian orang Indonesia mengubah nasib. Saat ini dibebani masalah utang, pengangguran, ketimpangan sosial, kesejahteraan, dan keberadaan pengungsi serta anti-imigran. Masalah tersebut menjadikan partai dan tokoh ideologi sayap kanan mendapatkan momentum dukungan publik, yang mengglorifikasi kesejahteraan dan pekerjaan dirampas pendatang.

Dengan konstelasi global seperti itu, konyol menyimak respon pejabat tentang “#KaburAjaDulu” beberapa waktu lalu. Sekarang, Barat sudah tidak lagi kondusif menjadi tujuan bagi pencari kerja, karena struktur kelas menengahnya pun kolaps akibat kesulitan ekonomi. Barat kondusif dinikmati hanya bagi turis dan pendatang elit kaya untuk tinggal.

Potret suram masalah ini menyebabkan terjadinya kemarahan dan demonstrasi massif di banyak negara, yang berpotensi meluas ke mayoritas negara di dunia, karena benang merah masalahnya sama. 

Sangat menyederhanakan masalah bila mengatakan, penyebab gejolak sosial di Indonesia disebabkan Asing sebagai faktor determinan tunggal. Faktor eksternal pasti ada, tetapi pemicu utamanya kerusakan sistem internal. Elit korup dan negara lemah adalah bensin, faktor Asing hanya korek apinya.

Tipping Point: Kebijakan Radikal atau Krisis Berulang

Kanker republik yang dihadapi Presiden Prabowo menjadi tipping point yang urgen diselesaikan dengan kebijakan radikal. Karena dilakukan atau tidak, masalah itu akan menghampiri presiden. Waktu menjadi elemen sangat penting untuk mengantisipasi peristiwa Agustus Hitam berulang. Bila terlambat, potensi keresahan sosial sulit dibendung bertemu dengan hidden agenda elit berbulu domba.

Shadow Elites ini bisa berada pada superposisi sambil melakukan buying time menunggu momentum konvergensi tiba. Bila kondisi tersebut terjadi, skala kerusakannya jauh lebih besar dibandingkan peristiwa kemarin.

Waktu Adalah Sumber Daya Utama Kekuasaan

Sejak reformasi 1998 tesis kompromi politik elit sudah panjang dilakukan selama 26 tahun tanpa putus, kecuali era Gus Dur agak berbeda (sayang disabotase), hasilnya gagal total menjadikan Indonesia negara maju. Jepang hanya butuh 23 tahun pasca hancur dari PD II menjadi negara maju no 2 di dunia. Sedangkan Indonesia selalu masuk klasmen 10 besar terbawah dengan indeks korupsi dan hukum terjelek di dunia.

Berkaca dari kondisi republik seperti itu, penulis mengutip Einstein,”Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda.” 

Di acara diskusi podcast Harvard Business School, tiga bulan lalu yang menghadirkan Professor of economics Anton Korinek dengan host Barbara DeLollis. Koninek yang melakukan riset tentang AI sejak 2015, percaya AGI akan terwujud dalam beberapa tahun lagi, setidaknya di 2035. Ia mengatakan bila AI berkembang menjadi AGI maka dunia akan mengalami perubahan radikal pada aspek ekonomi, sosial, dan politik. Dunia mengalami ketidakstabilan. Maka dibutuhkan pendekatan radikal pula mengatasi hal tersebut.

Trend global dunia usaha sejak dua tahun terakhir mengalami perubahan dalam perencanaan bisnis yang biasanya butuh tahunan sebagai panduan kerja, sekarang per semester. Karena begitu cepatnya perubahan dampak revolusi AI.

Sedangkan Abraham Lincoln mengatakan “Tanggung jawab masa depan tak bisa dihindari dengan mengabaikan waktu sekarang,”

Dengan dasar pertimbangan itulah mengapa Presiden Prabowo harus melakukan kebijakan radikal menyelamatkan republik. Kompromi elit sudah panjang dilakukan tapi gagal membawa Indonesia maju. Sedangkan tantangan dunia saat ini sudah sangat berbeda dibanding sepuluh tahun yang lalu, apalagi di awal reformasi. Sekarang dunia tidak lagi memiliki keistimewaan waktu untuk beradaptasi akibat revolusi AI. Ancaman revolusi AI sama berbahayanya dengan bom nuklir, namun kehadirannya menyenangkan. 

Sebagai Presiden Indonesia, Prabowo tidak boleh terlambat apalagi abai menghadapi tantangan dunia yang akan berubah total. Pandangan Presiden Prabowo melihat dunia harus menembus cakrawala agar mendapatkan kebijaksanaan melihat era dunia baru. Inilah momentum bagi Prabowo menorehkan tinta emas sejarah bangsa dengan membuat kebijakan radikal di tengah situasi radikal. Dalam politik seperti dikatakan Winston Churchill,”Dalam politik, waktu adalah segalanya.”

Penulis: Bernard Haloho

Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Ind-Bri (fie) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tinggalkan Komentar