Akhiri Perang Palestina dan Israel demi Mewujudkan Perdamaian Dunia - Telusur

Akhiri Perang Palestina dan Israel demi Mewujudkan Perdamaian Dunia

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat

telusur.co.id - Percepatan perdamaian Palestina-Israel harus menempatkan kesadaran bahwa dunia yang damai memungkinkan upaya pemulihan dan kebangkitan ekonomi menuju kesejahteraan manusia. 

"Perang Hamas – Israel selain menimbulkan persoalan kemanusiaan juga berdampak pada relasi antarnegara dan perekonomian global," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat pada sambutan tertulisnya saat diskusi daring bertema Dampak Global Perang Hamas-Israel yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (18/10). 

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Prof. Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden /KSP), Adam Mulawarman Tugio, S.H., L.LM. (Duta Besar RI untuk Pakistan dan Staf Ahli Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri RI) dan Broto Wardoyo, S.Sos., M.A., Ph.D. (Dosen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia) sebagai narasumber. 

Selain itu, hadir pula Muhammad Farhan (Anggota Komisi I DPR-RI) sebagai penanggap. 

Karena itu, menurut Lestari, perang dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan. Selain merugikan kedua belah pihak, tambah dia, perang juga memberikan dampak signifikan pada perkembangan dunia.

Konflik di Timur Tengah, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, secara menyeluruh memberikan dampak ketakutan pada dunia, karena wilayah ini merupakan pemasok energi dan jalur pelayaran utama global. 

Diakui, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, perekonomian dengan upaya kebangkitan dan pemulihannya menjadi salah satu kerentanan dunia global pasca-pandemi. 

Selain itu, jelas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, perekonomian dunia masih belum pulih dari inflasi yang diperburuk oleh konflik Rusia - Ukraina tahun lalu.

Salah satu antisipasi dalam perkembangan dunia, menurut Rerie, adalah intersepsi kecanggihan teknologi dalam persenjataan yang menyebabkan banyak korban berjatuhan dalam suatu konflik. 

"Inilah salah satu kekhawatiran di dunia modern, dunia yang semakin kehilangan nilai dan tidak lagi menghargai kemanusiaan," pungkas Rerie. 

Duta Besar RI untuk Pakistan dan Staf Ahli Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri RI, YM. Adam Mulawarman Tugio mengungkapkan konflik yang terjadi antara Hamas-Israel merupakan dampak dari kolonialisme yang berkepanjangan di Palestina. 

Dukungan Indonesia terhadap Palestina, ujar Adam, bukan karena Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, tetapi lebih kepada tidak sepakat dengan kolonialisme. 

Menurut Adam, saat ini Mahkamah Internasional sedang mengkaji terkait dampak hukum akibat pendudukan yang berkelanjutan di Palestina dan Indonesia ikut dalam proses pengkajian tersebut. 

Dampak politik dan ekonomi akibat perang Hamas-Israel saat ini, ujar Adam, luas sekali. 

Apalagi, tambah dia, sebelum konflik itu terjadi sedang berlangsung proses perbaikan hubungan antara Israel dan sejumlah negara Arab. Akibat pecah perang Hamas-Israel, sejumlah upaya tersebut terhenti. 

Dampak ekonomi dari perang tersebut, tambah dia, juga berdampak global dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi global berkurang 0,1%, harga minyak dunia naik US$4 per barel. Bila perang melebar ke negara-negara lain, jelasnya, dampaknya akan semakin besar. 

Selain itu, tegas Adam, serangan balasan Israel yang tidak proporsional terhadap Hamas menimbulkan dampak kemanusiaan yang berkepanjangan bagi Palestina. 

Mitigasi konflik Hamas-Israel, jelas Adam, sangat penting dilakukan dengan mendorong gencatan senjata dalam upaya perdamaian di Palestina. 

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Broto Wardoyo berpendapat penyelesaian konflik Palestina-Israel harus ada poin yang jelas. Utamakan dulu penyelesaian krisis, setelah itu baru tuntaskan masalah lainnya. 

Menurut Broto, tidak mungkin menyelesaikan konflik di Gaza, bila tidak menyelesaikan akar permasalahannya. 

Bila melihat ke belakang, ungkap dia, sebetulnya pada konflik saat ini ditemukan kondisi tingkat keparahan yang tinggi di Gaza, sejak Israel meninggalkan Gaza pada 2006.

Karena, menurut Broto, saat ini yang berkuasa di Israel adalah pemerintahan koalisi religius garis keras, yang tidak mempertimbangkan penyelesaian konflik secara damai. 

Di sisi lain, jelas Broto, di Palestina saat ini  masyarakat juga sudah tidak percaya lagi dengan opsi-opsi di luar tindak kekerasan akibat kondisi kehidupan yang semakin sulit. 

Bagaimana bantuan kemanusiaan bisa disalurkan tepat sasaran, ungkap Broto, juga masih menjadi persoalan. 

Karena, tambah dia, Mesir masih belum mau membuka kawasan perbatasannya karena khawatir kebanjiran pengungsi. Sementara bila melalui Israel akan lebih sulit. 

Peluang penyelesaian konflik, ujar Broto, bisa dimungkinkan bila kita bisa bicara dengan Hamas dan Qatar serta Iran bisa menjadi perantaranya. 

Tenaga Ahli Utama KSP, Siti Ruhaini Dzuhayatin berpendapat secara geopolitik dan ekonomi di masa lalu konflik Palestina-Israel masih bisa dipetakan dan masalah ini menjadi persoalan global. 

Pihak KSP, ujar Ruhaini, terus mengupdate situasi pada konflik tersebut untuk dilaporkan kepada Presiden. 

Menurut Ruhaini, sejatinya Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga telah merespon konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel. 

Namun, ujar dia, di dalam tubuh OKI pun terjadi dinamika akibat sejumlah perbedaan yang ada, sehingga ada berbagai perbedaan cara pandang dari sejumlah negara OKI dalam melihat konflik Palestina-Israel. 

Salah satu langkah yang bisa diupayakan bila ingin menuntaskan masalah pada krisis Palestina dan Israel, menurut Ruhaini, negara Islam yang tergabung dalam OKI harus mampu mengatasi konflik di antara mereka dahulu. 

Anggota Komisi I DPR-RI, Muhammad Farhan berpendapat kita sebagai negara tidak bisa lepas dari dampak konflik Palestina-Israel. 

Farhan berpendapat konflik Palestina-Israel harus dilihat sebagai perang yang harus segera dihentikan. Serangan kedua belah pihak, baik Hamas dan Israel, tidak bisa dibenarkan. 

Menyikapi konflik yang berkepanjangan antara kedua negara itu, Farhan mencurigai, memang tidak ada yang mau menyelesaikan konflik itu. Menurut Farhan, sikap Indonesia yang menginginkan perang segera dihentikan merupakan sikap yang tepat. 

Farhan berharap, kedua negara Palestina dan Israel seharusnya bisa menahan diri untuk mempertahankan status quo seperti yang terjadi pada konflik Korea Selatan-Korea Utara dan Taiwan- China. 

Pada kesempatan itu, Farhan juga berpesan agar tidak menggunakan isu Palestina untuk kepentingan politik lokal.[iis]


Tinggalkan Komentar