CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali mengatakan, dalam melakukan survei, ada cara untuk meneliti apakah sebuah angka dari survei itu kredibel, atau tidak.
Dia menjelaskan, trik yang dipakai adalah saat menerima sebuah hasil survei, yang pertama dilakukannya pertama kali adalah mengecek profil demografi responden.
“Apakah komposisi gender, usia, ekonomi status sesuai dengan komposisi populasi penduduk di Indonesia serta agama, tingkat pendidikan dan lain-lain,” kata Hasanuddin dalam diskusi Indo Survey & Strategy (ISS) bertajuk ‘Analisis Hasil Survei: Mengapa Bisa Beda?’ di kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/19).
Dia mengungkapkan, ketika komposisi demografi bergeser sedikit saja dari populasi, maka hasilnya pasti akan berbeda.
“Misalkan, komposisi tingkat pendidikan mayoritas masyarakat SMA ke bawah, tapi lembaga survei pakai data pendidikan mayoritas adalah S1/sarjana. Maka hasilnya akan berbeda,” terangnya.
Disamping itu, perbedaan hasil survei juga bisa dilihat dari area sampling yang berbeda. Menurutnya, ini juga memungkinkan hasilnya juga akan berbeda.
Selain itu, lanjut dia, perlu diketahui manajemen project saat melakukan research, apakah tenaga lapangan kita pahami pertanyaan atau tidak, team interviewer apakah pakai SOP data standar di lapangan atau tidak.
“Kalau kita ingin minimalisir non sampling error, maka harus percayai lembaga yang sudah punya jam terbang tinggi karena dia pasti punya pakemnya. Beda dengan lembaga survei setahun belakangan dibuat, pasti dari sisi manajemen reasearchnya akan susah,” papar Hasanuddin.
Sementara, tambah dia, publik masih banyak yang tergopoh-gopoh melihat angka survei. Dikatakannya, seharusnya dilihat angka itu biasa-biasa tidak perlu banyak tafsir berlebihan. Menurutnya, tafsir yang berlebihan sejumlah orang bahwa hasil survei ini, sudah berada pada ambang tertentu.
“Mengkapitalisasi hasil survei adalah wajar dilakukan oleh team sukses. Tapi bagi lembaga survei kita pasti tunduk pada metodologi dan data. Di luar sana hanya persoalan tafsir-tafsir saja,” ungkapnya.
Selain itu, tingkat golput juga mempengaruhi hasil elektabilitas kandidat di pemilihan umum. Ia menjelaskan angka golput tinggi ada di pasangan Jokowi-Ma’ruf. Hal itu, kata Ali, dengan memakai analogi data pada tahun 2014.
Dia iuga menjelaskan, golput itu ada tiga jenis, yakni golput ideologis yang secara sadar dia tidak pakai hak pilihnya karena melihat dua kandidat ini tidak sesuai ekspektasinya. Golput teknis, yang secara teknis tidak mau urus administrasi. Dan golput apatis, karena dia tidak tertarik proses politik yang ada. Di golput yang apatis ini, kata dia, didominasi pemilih usia muda, pemula, milenial.
“Ini PR teman-teman KPU bahwa pemilih muda keinginan memilih kandidat ini masih rendah. Survei kami, yang usia tua di atas 90 persen ikut memilih. Di usia 85 tahun hingga usia 88 tahun menyatakan datang ke TPS,” katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan, masing-masing pasangan calon masih dihantui oleh golput.
“Di kubu 01 dihantui golput ideologis, di kubu 02 dihantui golput apatis. Jadi masing-masing kandidat dihantui golput dengan jenis dan tipenya masing-masing,” pungkasnya.[sbk]