“Anak Zaman Sekarang Bisa Pikir Lebih Rumit dari Orang Dewasa?” Inilah Generasi Alpha, Si Kecil dengan Otak Besar - Telusur

“Anak Zaman Sekarang Bisa Pikir Lebih Rumit dari Orang Dewasa?” Inilah Generasi Alpha, Si Kecil dengan Otak Besar

Ilustrasi Gen Alpha. Foto: RRI.

telusur.co.id -Oleh: Faryal Maharani, Politeknik Negeri Jakarta.

Bayangkan seorang anak duduk bersila di ruang keluarga. Di tangannya, sebuah tablet menyala, membuka aplikasi belajar, menyela sebentar untuk menyunting video TikTok, lalu melirik notifikasi Zoom dari sekolah daring. Di sela kesibukannya, ia bertanya pada ibunya, “Bu, kenapa perubahan iklim bisa memengaruhi harga cabai?”

Terdengar seperti hiperbola? Bukan. Itulah wajah Generasi Alpha anak-anak yang lahir di tengah pusaran teknologi, dibesarkan dalam semesta informasi, dan tumbuh dengan pola pikir yang tak lagi linear. Mereka bukan sekadar “anak zaman sekarang”. Mereka adalah arsitek masa depan dengan pikiran yang tajam dan peka, bahkan sejak usia dini.

Generasi yang Tumbuh dengan Internet

Generasi Alpha adalah mereka yang lahir antara tahun 2010 hingga 2024. Anak-anak ini tak pernah mengenal dunia tanpa sentuhan layar, suara notifikasi, atau pertanyaan-pertanyaan tak terduga dari asisten virtual. Mereka bukan hanya pengguna teknologi, mereka lahir dari rahim teknologi itu sendiri.

Dalam catatan McCrindle Research, Generasi Alpha diperkirakan akan mencapai 2,5 miliar jiwa di seluruh dunia pada tahun ini. Mereka tumbuh dengan kecepatan informasi yang tak terbayangkan di era sebelumnya. Apa yang dulu dipelajari lewat ensiklopedia atau buku tebal, kini mereka temui dalam video animasi dua menit atau simulasi interaktif.

Namun, kehebatan mereka tidak hanya terletak pada kecepatan mengakses informasi, melainkan pada cara mereka memprosesnya. Otak mereka bekerja seperti algoritma yang hidup menganalisis, memilah, menghubungkan semuanya dalam sekejap. Mereka bukan hanya cepat, tapi kompleks. Mereka mampu mengaitkan data sains dengan narasi sosial, atau mengurai sebuah tren digital menjadi strategi komunikasi.

Teknologi sebagai Kawan dan Guru

Jika Generasi Z tumbuh bersama teknologi, maka Generasi Alpha menyusu padanya. Sejak bayi, mereka telah terbiasa melihat layar menyala. Tangan-tangan kecil mereka menggulir layar seolah sudah mengerti perintah.

Menurut laporan Common Sense Media, lebih dari 75% anak usia 0–8 tahun di AS menggunakan perangkat digital hampir setiap hari. Di Indonesia, laporan APJII mencatat bahwa penggunaan internet oleh anak-anak melonjak tajam sejak pandemi, dengan anak usia 5–12 tahun sebagai salah satu kelompok paling aktif.

Namun teknologi tidak hanya menjadi hiburan. Ia menjadi ruang bermain, ruang belajar, ruang tumbuh. Di sinilah Gen Alpha mengasah logika mereka melalui game strategi, video edukatif, hingga eksperimen sains virtual. Mereka tidak sekadar menerima informasi, tetapi menginterogasinya. Teknologi menjadi taman bermain kognitif, di mana setiap klik adalah benih yang tumbuh menjadi pemahaman baru.

 

Orang Tua yang Tidak Lagi “Mengajari”

Di balik setiap anak Gen Alpha, ada orang tua yang tidak sekadar mengatur, tetapi juga belajar dan beradaptasi. Generasi Milenial, kini berperan sebagai orang tua, tidak lagi memakai pendekatan keras atau kaku. Mereka mendidik dengan diskusi, memberi ruang, dan mengarahkan tanpa memaksa.

Studi yang dipublikasikan di Journal of Child and Family Studies (Dworkin et al.,) mencatat bahwa orang tua milenial lebih memilih pola asuh positif mengutamakan komunikasi terbuka, empati, dan eksplorasi minat anak. Mereka hadir bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai mitra belajar.

Anak-anak pun tumbuh dengan percaya diri untuk berpikir sendiri. Mereka diajak berdiskusi, bukan diperintah. Mereka diberi akses, tapi juga tanggung jawab. Pola asuh seperti ini menciptakan atmosfer psikologis yang ideal untuk berkembangnya cara berpikir kritis dan reflektif. Otak mereka tidak dibentuk untuk sekadar patuh, tapi untuk bertanya, menggugat, dan mencipta.

Media sebagai Dunia Kedua

Jika dulu anak-anak bermain petak umpet, kini mereka bermain peran di dunia maya. TikTok, YouTube, Roblox, dan Discord adalah taman bermain baru. Generasi Alpha tidak hanya aktif mengonsumsi media; mereka hidup di dalamnya, menciptakan bahasa, tren, dan bahkan logika sosialnya sendiri.

Bahasa-bahasa seperti “rizz,” “sigma,” atau “NPC moment” bukan sekadar slang. Mereka adalah sandi yang hanya dipahami oleh kelompok tertentu menunjukkan kedalaman dan kecepatan adaptasi terhadap perubahan budaya digital.

Penelitian dari Media and Communication Journal (Marsh et al.,) menyebutkan bahwa anak-anak gen alpha menjadikan media digital sebagai ruang ekspresi dan identitas. Mereka membentuk opini, memahami emosi, bahkan membangun relasi sosial dari medium visual dan simbolik.

Bagi mereka, memahami dunia bukan hanya lewat buku, tapi juga lewat meme, vlog, dan konten interaktif. Gambar bergerak, potongan video, musik latar semua menjadi bagian dari cara berpikir mereka. Ini bukan distraksi. Ini adalah bentuk baru dari literasi.

Generasi yang Tak Bisa Dikotakkan dalam Kurikulum Lama

Generasi Alpha adalah cermin masa depan cerdas, reflektif, cepat, dan kompleks. Mereka tidak belajar dari satu arah, tapi dari ratusan sumber. Mereka tidak tunduk pada struktur kaku, tapi menciptakan struktur mereka sendiri. Mereka adalah hasil dari teknologi yang menyatu dengan pola asuh manusiawi dan media yang tanpa batas.

Namun di balik semua potensi, ada tantangan yang harus kita waspadai kelelahan informasi, krisis identitas digital, dan menipisnya batas antara dunia nyata dan maya. Dunia mereka menuntut orang dewasa untuk tidak hanya menjadi pembimbing, tapi juga pembelajar. Kita tidak bisa mengajari Generasi Alpha dengan cara lama, karena mereka hidup dalam cara berpikir yang baru.

Generasi ini tidak akan menjadi seperti kita. Mereka akan menjadi sesuatu yang lain lebih cepat, lebih dalam, dan mungkin, lebih bijak. Tapi itu hanya mungkin jika kita, para pendahulunya, cukup rendah hati untuk mendengarkan mereka.


Tinggalkan Komentar