telusur.co.id - Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai NasDem, Mamat Rachmat, menyatakan komitmennya untuk terus menjembatani aspirasi masyarakat dan lembaga pendidikan swasta, termasuk Muhammadiyah dan Aisyiyah, dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih adil dan berkeadilan.
Pernyataan ini disampaikan saat menghadiri agenda dialog pendidikan bersama Yayasan Pendidikan Muhammadiyah Kota Bandung yang digelar di SD Muhammadiyah 7, Antapani, Sabtu (21/6/2025). Dalam forum tersebut, berbagai keluhan dan saran disampaikan oleh para pengelola pendidikan swasta, mulai dari perizinan, ketimpangan insentif guru, hingga skema bantuan pendidikan.
"Persoalan pendidikan kita tidak hanya soal anggaran, tapi juga soal keadilan perlakuan. Lembaga swasta seperti Muhammadiyah telah lama menjadi garda depan pendidikan masyarakat menengah ke bawah. Maka sangat tidak adil jika terus dikesampingkan dari kebijakan," ujar Kang Rachmat.
Salah satu isu utama yang mencuat dalam pertemuan adalah banyaknya sekolah negeri yang membuka kelas tambahan di luar zonanya, bahkan menumpang di kecamatan lain. Hal ini berdampak langsung pada penurunan jumlah peserta didik di sekolah swasta sekitar.
“Sekolah kami sudah menyediakan tempat dan fasilitas, tapi masyarakat justru lebih memilih sekolah negeri walau harus menumpang di luar kecamatan. Ini harus ditinjau ulang, karena merugikan sekolah swasta yang sudah siap melayani masyarakat,” ujar salah satu pengelola sekolah Muhammadiyah.
Tak hanya itu, ketimpangan insentif guru juga menjadi sorotan. Guru swasta disebut hanya mendapatkan insentif sekitar Rp500 ribu, jauh di bawah guru negeri yang bisa memperoleh hingga Rp3 juta. Termasuk guru TK dan PAUD, yang banyak mengabdi dengan upah di bawah Rp500 ribu.
"Apakah guru swasta dianggap malaikat yang bisa hidup tanpa cukup penghasilan? Ini ketimpangan yang perlu kita selesaikan bersama," tegas salah satu perwakilan Aisyiyah.
Menanggapi hal tersebut, Kang Rachmat menyampaikan bahwa saat ini DPRD Provinsi Jawa Barat tengah mengkaji skema baru bantuan pendidikan. Salah satunya adalah pengalihan bantuan dari sekolah langsung ke siswa, agar lebih tepat sasaran dan menghindari kasus seperti ijazah tertahan.
“Bantuan pendidikan seharusnya bisa sampai ke siswa yang membutuhkan, tak sekadar lewat sekolah. Ada wacana mengganti skema menjadi kartu pendidikan berbasis siswa yang kini sedang kita formulasikan,” terangnya.
Kang Rachmat juga menegaskan pentingnya simplifikasi perizinan bagi lembaga pendidikan keagamaan. Banyak sekolah Muhammadiyah dan Aisyiyah, terutama di jenjang TK dan PAUD, mengalami kesulitan mengurus izin karena tidak memiliki IMB.
“Perlu ada perlakuan khusus yang tetap dalam kerangka hukum tapi memudahkan. Jangan sampai niat baik mendirikan sekolah justru terhambat prosedur administratif yang kaku,” jelasnya.
Menutup pertemuan, Kang Rachmat menyampaikan apresiasi atas partisipasi aktif Muhammadiyah dan Aisyiyah dalam pembangunan pendidikan di Jawa Barat. [ham]