telusur.co.id - Rizal Ramli, nama yang tidak asing lagi di dunia perpolitikan, aktivis terlebih lagi bidang ekonomi.
RR sapaan lengkap Ekonom senior itu memulai puncak karit politiknya, saat menjadi salah seorang tokoh gerakan mahasiswa pada era 77/78. Ia bersama para mahasiswa laiinya kritis terhadap orde baru. Ia pun menganggap eranya tersebut generasi mahasiswa teruji kritisnya.
Mereka bisa berdialog dengan berbagai pemikir besar dari negara lain tersebut berkat membaca buku, yang memang masih dilarang oleh pemerintahan Soeharto waktu itu.
"Dari membaca, kami mengetahui apa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kami memperoleh kesempatan berdialog langsung dengan para pemikir besar dunia. Di zaman itu, buku-buku terbatas dan beberapa dilarang (oleh pemerintah) untuk dibaca," ujar Rizal dalam keterangannya, Minggu (17/1/2021).
Ia bersama rekan-rekan mahasiswa yang lain, mereka mencari buku di pasar loak. Sekali memperoleh buku yang bagus, buku tersebut dipinjamkan kepada teman-teman lain. Buku beredar dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain agar semua bisa membaca.
"Agar tidak diikuti intel, diskusi kami adakan berpindah-pindah dari satu kos ke kosan yang lain," terangnya.
Rizal memaparkan bahwa dalam Buku Putih, sebuah karya intelektual, para mahasiswa membuat tulisan terkait “Perjuangan Mahasiswa 1978”, yang berisi pemikiran mereka mengenai kondisi Indonesia saat itu (masa Soeharto). Mereka adalah Rizal Ramli, Irzadi Mirwan, Abdul Rachim, dan Joseph Manurung. Buku ini diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa ITB yang saat itu diketuai oleh Heri Akhmadi.
Buku ini kemudian diterjemahkan ke delapan bahasa, antara lain bahasa Belanda, Jepang, China.
Secara umum, katanya, Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 itu membandingkan kondisi nyata Indonesia di masa Orba, dengan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan pemerintah.
Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan, buku ini menyimpulkan dua hal sebagai penyebab utama keterpurukan Indonesia, yaitu sikap otoriter Soeharto dan strategi pembangunan yang tidak tepat.
Tokoh pergerakan itu mengatakan salah besar apabila menganggap pergerakan mahasiswa hanyalah bentuk protes yang tidak berdasar.
Mengenang Gerakan mahasiswa 1978 saat itu adalah mengenang para mahasiswa yang kritis berani melawan sistem otoriter pemerintahan Soeharto.(fir)