telusur.co.id - Untuk membuka awal tahun, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung bersama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia mempersembahkan Seminar Nasional 2024 bertemakan “DINAMIKA PERADILAN ADAT DI INDONESIA PASCA BERLAKUNYA KUHP BARU”.
Seminar ini mengupas pandangan para ahli dalam bidangnya berkaitan keberadaan peradilan adat sehubungan dengan diberlakukannya KUHP baru di Indonesia, yang kemudian juga memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan peraturan pelaksana ketentuan peradilan adat guna memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta mencegah terjadinya konflik terkait pemberlakuan ketentuan tersebut.
Para ahli yang akan menjadi narasumber dalam seminar ini yaitu Guru Besar fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D., Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Singgih Budi Prakoso, S.H., M.H., Guru Besar fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Prof. Dr. Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, PhD, SH, MH, SE, MM, dan Guru Besar fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H. Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Rina Yulianti, SH, MH dari Guru Besar fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura
Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 akhirnya mengakui hukum adat secara tegas dengan menyatakan dalam Pasal 2 bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UU, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum yang diakui manusia beradab. Kemudian ditegaskan pula dalam Pasal 597 bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang diancam dengan pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat.
Menurut Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH, Guru Besar Fakultas Hukum universitas Indonesia bahwa KUHP Baru memberikan ruang bagi pidana adat Sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup dalam masyarakat. Hukum adat tersebut berlaku di tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini (KUHP) dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Selanjutnya Prof. Topo juga menegaskan bahwa Hukum adat yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan ditegaskan dalam Peraturan Daerah dan tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara itu Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Singgih Budi Prakoso, SH, MH mengatakan, “Pada hakekatnya, bahwa Undang Undang No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, telah mengakomodir eksistensi pidana adat. Hukum yang hidup dalam Masyarakat (Living law) dapat menentukan bahwa seseorang patut dipidana itu, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU. No.1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Sebagai Hakim Pengadilan Tinggi, Singgih Budi Prakos mengakui bahwa, “Putusan pidana adat mempunyai kekuatan magis, daya efek jera dan rasa malu yang kuat , sehingga mempunyai kekuatan recovery yang lebih dahsyat untuk tidak mengulangi lagi. Putusan Pidana Adat juga efektif, karena tidak ada banding dan bersifat mengikat, proses persidangan relative singkat, sederhana dan tentunya berefek pada biaya ringan. Dalam kekuatan putusan, Putusan adat mempunyai kekuatan yang dahsyat, efektif untuk Kembali pada keadaan semula, sekaligus dapat memutus rasa dendam, menghilangkan rasa jengkel Masyarakat, sehingga kondisi Masyarakat serasa nyaman, tentram, damai.
Guru Besar Fakultas Hukum universitas Udayana Prof. Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, SH, MH mengatakan, “Apabila hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dalam PERDA secara rinci maka karakteristik dan kemurniannya akan hilang, karena itu diperlukan pendekatan untuk menghormati dan melindungi hukum adat untuk tetap hidup dan berkembang dengan norma hukunya sendiri serta sejalan dengan filosofi bangsa dan negara”
Lebih Lanjut Prof. Ari Atu Dewi menegaskan, “Konsep living law menekankan pada fleksibelitas dan adaptasi hukum, apabila terlalu banyak perubahan dan interpretasi yang terjadi, maka akan timbul ketidakpastian hukum dan akibatnya Masyarakat akan sulit memahami dan mematuhi hukum. Dalam penerapan living law, penegakan hukum bisa menjadi sulit karena adanya interpretasi yang bervariasi terhadap hukum yang ada. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dalam penegakan hukum dan ketidakadilan dalam sistem peradilan. Berkaitan dengan living law (hukum adat) dalam KUHP baru, dalam konteks penerapan harus dilakukan hati-hati dan seimbang, mengingat living law dengan ciri fleksibelitas dan adaptasi dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum”.
Guru Besar fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Prof. Dr. Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, PhD, SH, MH, SE, MM, mengatakan, “Substansi Hukum Adat Diatur Dalam Perda Apabila Pemerintah Daerah Tidak mau mengatur Maka Hukum Adat sulit untuk diterapkan. Selain itu juga Formulasi Hukum Adat yang dilakukan oleh hakim belum tentu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat adat. Akibatnya sulit Untuk dapat Terwujudnya penguatan hukum adat yang ideal dalam upaya penyelesaian Perkara Adat”.
Prof Dewi Wulansari kembali menegaskan, “Pasal 2 ayat (2) KUHP Baru apabila dianggap sebagai suatu pengakuan mengenai eksistensi living law mengandung multi interpretasi dan tidak jelas sehingga penggunaan living law secara semena-mena. KUHP tidak memberikan batasan yang jelas mengenai hukum yang mana yang diterapkan karena Setiap masyarakat adat mempunyai hukum yang berbeda antara satu sama lain”.
Memperhatikan pendapat dan saran dari para Narasumber mengenai pentingnya peran pemerintah daerah dalam implementasi KUHP baru yaitu membentuk produk hukum berupa peraturan daerah berkaitan dengan pidana adat, maka APHA Indonesia siap membantu dan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dalam penyusunan peraturan daerah tersebut.
Pada kegiatan ini juga, Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) mengukuhkan kepengurusannya untuk periode tahun 2023 – 2028. Pada periode ini kembali Prof. Dr. Laksanto Utomo, SH, MHum menjadi ketua APHA dengan di damping oleh Dr. Rina Yulianti sebagai Sekjen dan Dr. Ummu Salamah, SAg, MH sebagai wakil Sekjen.*