telusur.co.id -Fenomena banjir rob kian sering melanda berbagai wilayah pesisir di Indonesia. Meski secara alamiah terjadi akibat pasang air laut, banjir rob kini berdampak signifikan terhadap aktivitas masyarakat sehingga patut dikategorikan sebagai bencana yang perlu diwaspadai. Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. Eng. Sapto Andriyono, S.Pi., M.T.

Menurut Sapto, banjir rob umumnya terjadi di kawasan pesisir yang memiliki elevasi lebih rendah dibandingkan tinggi maksimum pasang laut. Kondisi tersebut banyak ditemukan di pesisir utara Pulau Jawa, termasuk di sejumlah wilayah Surabaya Utara.

“Tidak semua wilayah pesisir mengalami banjir rob, tetapi daerah yang topografinya lebih rendah dari pasang tinggi sangat rentan. Di Surabaya Utara, contohnya, beberapa titik memang sudah berada di bawah elevasi pasang laut,” jelasnya.

Ia menambahkan, durasi genangan banjir rob cenderung semakin lama ketika bertepatan dengan musim hujan. Kombinasi antara pasang air laut dan curah hujan tinggi membuat air sulit surut, sehingga berdampak luas pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, mulai dari aktivitas ekonomi hingga pendidikan. 

Selain faktor alam, Sapto menilai banjir rob juga dipicu oleh masifnya alih fungsi lahan di kawasan pesisir. Banyak area yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air, termasuk kawasan hutan mangrove, kini berubah menjadi permukiman, pergudangan, dan kawasan industri.

“Daerah resapan itu sebenarnya sangat diperlukan. Namun kini banyak mangrove yang berubah menjadi kawasan perumahan dan industri. Ketika kawasan resapan hilang, tekanan air ke daratan semakin tinggi,” terangnya.

Ia menegaskan bahwa hutan mangrove merupakan benteng alami paling efektif untuk meredam banjir rob. Mangrove memiliki toleransi tinggi terhadap salinitas dan mampu menjadi penghalang alami sebelum air laut mencapai wilayah permukiman.

“Mangrove itu ideal, hanya mangrove yang mampu bertahan pada kondisi asin seperti itu. Harapannya, di Surabaya green belt mangrove bisa diperkuat dan dipertebal,” ujarnya. 

Meski pembangunan tanggul sering dipilih sebagai solusi cepat, Sapto mengingatkan bahwa langkah tersebut berpotensi menimbulkan dampak lanjutan. Struktur beton dapat mengganggu arus laut, memicu perubahan gelombang, serta menyebabkan erosi atau sedimentasi di wilayah lain.

Selain pasang air laut dan curah hujan, pembangunan masif di kawasan pesisir juga mempercepat penurunan muka tanah (land subsidence). Berdasarkan sejumlah kajian, beberapa wilayah pesisir utara Jawa diperkirakan berpotensi hilang dalam beberapa dekade ke depan jika laju penurunan tanah tidak segera dikendalikan.

Masifnya pembangunan turut mendorong intrusi air laut semakin jauh ke daratan. Kondisi ini menggeser akuifer air tawar dan membuat masyarakat pesisir semakin kesulitan memperoleh sumber air bersih dari dalam tanah.

“Semakin banyak bangunan, intrusi laut meningkat dan air tawar terdorong menjauh. Nanti, membuat sumur air tawar pun jadi sulit,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa mitigasi banjir rob tidak dapat dilakukan secara parsial. Upaya tersebut harus diperkuat melalui edukasi masyarakat, perlindungan ekosistem pesisir, serta perencanaan tata kota yang lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan pesisir.