Telusur.co.id - Dari hasil rangkuman yang telah di beritakan sebelumnya tim telusur.co.id pada Senin (9/10), telah melihat beberapa alasan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra melakukan gugatan Uji materi terhadap Undang Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017 pekan lalu.
Yusril mempertanyakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian materi terhadap aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) yang telah diputuskan pada saat gugatan dilayangkan sebelumnya oleh pihak Effendi Gazali.
Menurutnya, pertimbangan MK itu lebih mengarah kepada filsafat hukum jika dibandingkan dengan pertimbangan hukum.
“MK mengatakan bahwa hanya akan membatalkan satu norma yg dibentuk karena kebijakan hukum terbuka pengganti undang-undang (open legal policy), jika bertentangan dengan tiga hal. Pertama bertentangan dengan rasionalitas, kedua bertentangan dengan moralitas dan ketiga bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak bisa ditolerir,” ungkap Yusril pada (3/10) lalu di dalam persidangan pendahuluan uji materi UU Pemilu di Gedung MK, Jakarta.
Selain itu Dirinya melihat putusan tersebut menimbulkan pertanyaan terkait pertimbangan pengujian materi. “Apakah itu bermakna MK mempersilakan kami mengujinya dengan filsafat hukum? tidak dengan UUD 1945? Sebab (pengujian) dengan UUD 1945 sudah berkali-kali ditolak,” lanjutnya.
Argumentasi yang dipaparkan ketua Umum PBB di sidang MK merupakan argumen hukum. Sementara itu, lanjut Yusril jika berbicara mengenai moralitas, menurut dia hal itu terkait dengan ketidakadilan.
“Karena itu, kami ikuti argumen MK sendiri. Karenanya, mohon dipertimbangkan semua arguman kami yang sudah mengikuti alur pemikiran MK di mana tidak akan dikabulkan permohonan berkaitan dengan ambang batas itu kecuali bertentangan dengan rasionalitas,” jelasnya.
Dihadapan majelis Hakim MK Dirinya juga pun memberikan pandangan dan mencontohkan tindakan pemerintah yang dinilai hanya mementingkan diri sendiri dalam menyusun UU Pemilu. ia menyatakan jika berdasarkan UU Pemilu ambang batas pencalonan presiden menggunakan ambang batas yang dicapai pada Pemilu 2014.
Karenanya sudah dapat diprediksi siapa saja yang dapat dan tidak dapat mencalonkan diri dalam bursa Pilpres 2019. “Yang menarik, punya moral tidak pembentuk undang-undang yang membentuk aturan untuk untungkan dirinya sendiri dan menutup orang lain untuk jadi calon presiden? Selain itu,kalau pemilu serentak apakah juga cukup rasional kita bicara soal ambang batas. Bisa saja pada 2014 parpol itu ikut Pemilu dan menghasilkan treshold. Tetapi pada 2015 oleh MK parpol itu dibubarkan. Apa masih bisa treshold ini buat dipakai? Toh MK berwenang bubarkan parpol. Jadi aturan-aturan ini saya pikir lari ke filsafat, tidak lagi mengacu kepada undang-undang,” tambahnya.| red-06 |