Oleh: Suroto*
Cak Nun ( Emha Ainun Najib) dalam satu ceramahnya di Surabaya tanggal 9 Januari 2023 menyebut secara tegas Jokowi adalah sebagai Fir'aun, lalu Luhut Binsar Panjaitan ( LBP) sebagai Hamman, dan Antony Salim serta 10 Naga disebut sebagai Qorun.
Sebagaimana diketahui, Fir'aun itu selama ini dipahami sebagai penggambaran seorang raja lalim yang jahat. Lalu Hamman adalah sebagai penasehat utama Fir'aun dan sekaligus sebagai pelaksana proyek pembangunan menara yang digunakan Fir'aun. Sementara Qorun adalah orang kaya raya yang serakah.
Dalam ceramah tersebut digambarkanlah secara letter lijk, tegas tanpa tedeng aling aling, bahwa kekuatan ketiganya itulah yang saat ini sedang menguasai bangsa dan negara ini. Bahkan dapat jadi penentu utama putusan putusan politik kenegaraan.
Penggambaran oleh Cak Nun tersebut sebetulnya jika kita telisik lebih dalam ke dalam praktek berbangsa dan bernegara kita hari ini tentu menjadi bahan refleksi yang luar biasa. Suara Cak Nun yang sangat tajam dan kritis dan tegas ini adalah bahan refleksi yang mendasar dan menjadi koreksi yang sangat serius.
Jika kita lihat dalam praktek berbangsa dan bernegara kita hari ini memang, seorang Presiden yang dipilih secara demokratis oleh rakyat itu seharusnya menjadi pelayan rakyat dan tidak menggunakan otoritasnya melampaui apa yang diamanahkan oleh Konstitusi. Konstitusi kita menyebut bahwa kedaulatan atau kekuasan itu ada di tangan rakyat. Bukan Presiden atau segerombolan orang.
Menurut penulis, apa yang dilakukan Presiden dengan mem-PPERPU-kan Undang Undang Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional atau melanggar Undang Undang Dasar ( UUD ) oleh Mahkamah Konstitusi baru baru ini tentu merupakan bagian dari kekuasaan Presiden yang semakin menjauh dari Konstitusi. Apalahi isinya jelas terang berpotensi rugikan kepentingan rakyat banyak.
Ditambah lagi dengan dibentuknya berbagai regulasi lain yang terang terangan merugikan rakyat seperti UU Omnibus Law Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan ( UU PPSK) yang isinya adalah bentuk pelegalan perampokan uang negara oleh elit kaya, dan pembentukan imunitas atau kekebalan hukum bagi pejabat pengambil kebijakannya, ini adalah juga bentuk kelaliman para pemimpin.
Dan ditambah disyahkanya UU Kitab Undang Umdang Hukum Pidana ( KUHP) yang batasi kritik kepada pejabat, dll tentu merupakan satu paket hebat yang membahayakan kepentingan bagi bangsa dan negara dan juga demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Kekuasaan yang tersentral pada Presiden dan bersifat patrimomial tanpa kritik dari anggota Parlemen yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat saat ini adalah bentuk sebuah kekuasaan yang lalim.
Sedangkan dalam kritik Cak Nun yang sebut LBP sebagai Hamman juga memiliki relevansi yang kuat. Hamman yang bekerja sebagai penasehat utama dan pelaksana proyek Fir'aun itu memang begitulah prakteknya.
Publik paham, peran LBP sebagai menteri Maritim dan Investasi memang sudah memiliki semacam kuasa yang besar untuk jalankan proyek proyek besar nasional yang sesungguhnya untuk tujuan utama sebagai faktor pendorong ( endorcement ) bagi kepentingan investasi asing dan konglomerat kaya adalah sebagai sebuah kenyataan.
Sedangkan Anthony Salim dan Sepuluh Naga lainya yang disebut sebagai Qorun memang dengan sumber kekayaanya yang luar biasa itu tidak dapat kita abaikan. Dalam teori kekuasaan sumber kekuasaan itu yang terpenting adalah penguasaan properti, kekayaan materiil, dan mereka yang kuasai kekayaan lebih banyak tentu akan memiliki kekuasaan lebih banyak.
Bahkan dalam model kekuasaan dalam negeri yang terapkan sistem ekonomi liberal kapitalis seperti Indonesia saat ini, kuasa negara itu sesungguhnya sub ordinat atau mengabdi kepada yang domiman. Sedanhkan saat ini elit kaya itulah yang dominan.
Negara jadi pelayan kepentingan mereka para elit kaya atau kaum plutokrat. Aturan atau kebijakan apa yang baik untuk elit kaya, dianggap sebagai baik pula untuk rakyat. Kuasa negara tidak lagi singular, tapi majemuk. Dikuasai para mafioso elit kaya tersebut.
Jadi, menurut saya kritik Cak Nun itu riil dan mendasar serta tidak mengada ada. Kalaupun lalu beliau meminta maaf kepada Alloh SWT karena dianggap salah oleh para pendukung Presiden tentu itu juga merupakan kepiawaaain Cak Nun untuk berdiplomasi. Bagi seorang ulama, dan juga pemimpin kultural yang dihormati beliau tentu tanpa dimintapun pasti akan memohonkan ampun kepada Tuhan karena mereka tidak tahu apa apa. Cak Nun hebat![***]