Chaakra Consulting : Secara Psikologis, Masyarakat Anggap Covid-19 Bukan Ancaman Yang Menakutkan - Telusur

Chaakra Consulting : Secara Psikologis, Masyarakat Anggap Covid-19 Bukan Ancaman Yang Menakutkan

 Direktur Chaakra Consulting, Herlina Eka Subandriyo Putri

telusur.co.id - Melalui pidato Presiden Joko Widodo pada konferensi pers pada tanggal (16/3) Indonesia mulai menerapkan pembatasan sosial (social distancing, sekarang disebut physical distancing), akibat dari meningkatnya jumlah kasus penderita Covid-19 yang pernah mencapai 380 kasus dalam sehari.

Namun hingga kini, masih belum semua masyarakat menerapkan Pembatasan Sosial (PS). Buktinya, transportasi kereta di Jakarta masih dipadati oleh masyarakat.

Oleh karena itu tim Chaakra Consulting mengadakan riset untuk mengetahui faktor psikologis apa yang membuat masyarakat tidak mematuhi PS.

Hal ini didasari pada asumsi bahwa keberhasilan penerapan PS tergantung dari respon perilaku psikologis masyarakat yang seringkali dilupakan oleh pengambil kebijakan. Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai rujukan untuk menerapkan PS dengan lebih efektif.

“Konsep riset kami didasarkan pada Protection Motivation Theory (PMT), dimana masyarakat akan mematuhi himbauan pelaksanaan PS berdasarkan seberapa besar ancaman Covid-19 dan kemungkinan Covid-19 dapat menimpa dirinya,” ujar Direktur Chaakra Consulting, Herlina Eka Subandriyo Putri. Sabtu, (18/4/2020).

Hal ini akan menjadi dasar penilaian terhadap pilihan keputusannya untuk melakukan PS atau tidak.

“Riset kami dilakukan secara online dengan responden cukup beragam dari berbagai kalangan dan wilayah di seluruh Indonesia. Hasilnya cukup membuat kami kaget,” herannya.

Hampir semua masyarakat dari berbagai kalangan mendukung penerapan pembatasan sosial. Namun 31% diantaranya masih belum bisa sepenuhnya menerapkan pembatasan sosial.

“Terdapat 620 partisipan survei cepat ini yang diambil secara random dari berbagai strata pendidikan dan wilayah di seluruh Indonesia, 69% dari mereka mendukung penerapan PS,” takbahnya.

Namun, sekitar 31% masih ada belum mau menerapkan PS. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun hampir semua masyarakat sudah memahami bahwa penerapan PS dapat mencegah Covid-19.

“Namun penerapan PS ini masih belum sepenuhnya berjalan efektif akibat faktor lingkungan, yaitu adanya ajakan dari orang lain, informasi terkait Covid-19 maupun tuntutan dari pekerjaan,” imbuh Herlina.

Faktor psikologis, lanjut Herlina, keyakinan atas respon yang dipilih dan keyakinan akan mampu mempertahankan perilaku PS secara konsisten, merupakan prediktor psikologis penentu keberhasilan dalam penerapan pembatasan sosial.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa, perilaku PS (C) dapat diprediksikan dari keyakinan terhadap respon yang dipilih (A) dan keyakinan akan mampu mempertahankan perilakunya (B).

Artinya ketika masyarakat sudah merasa yakin bahwa PS adalah tindakan yang sesuai untuk menanggulangi Covid-19, secara otomatis akan memunculkan keyakinan akan mampu mempertahankan perilaku PS. Dengan demikian, secara sukarela mereka akan menerapakan PS sesuai dengan panduan PS yang baik dan benar,” paparnya.

Penerapan PS melalui kebijakan pemerintah, masih belum efektif dalam menanggulangi Covid-19. Selama ini, pemerintah pusat dan daerah telah menerbitkan beberapa kebijakan untuk mengoptimalkan keefektivitas penerapan PS di Indonesia.

“Namun ternyata, hasil analisa faktor yang kami lakukan menunjukkan bahwa, penilaian masyarakat terhadap informasi tentang seberapa berbahayanya Covid-19 dan besarnya probabilitas mereka terkena penyakit ini-lah yang dapat mempengaruhi mereka melakukan PS,” lanjutnya.

Kondisi ini terlihat dari indikator keparahan ancaman yang terjadi dan kerentanan psikologis. Kemungkinan masyarakat masih menilai bahwa ancaman dan probabililtas terkena penyakit ini rendah sehingga secara psikologis masyarakat masih merasa aman, akibatnya mereka tidak mematuhi anjuran melakukan PS.

Menggunakan prediktor psikologis dalam penanganan Covid-19. Dari sisi masyarakat, perlu menanamkan informasi bahwa, Covid-19 ini berbahaya dan probabilitas mereka terkena penyakit ini sangat tinggi.

“Hal ini perlu ditamankan secara psikologis agar mereka benar-benar sadar untuk menerapkan PS dan meningkatkan daya imun psikologisnya yang nantinya berdampak pada imunitas fisiknya, sehingga memudahkannya untuk menerapkan PS,” tegas Herlina.

Untuk pemerintah, kata Herlina, perlu menginisiasi gerakan dukungan kolektif melalui sebuah forum digital yang berisi sharing cerita pengalaman dari para survivor yang nantinya mampu membentuk Harapan Psikologis bagi masyarakat untuk melawan wabah Covid-19.

Kemudian, forum digital tersebut juga harus melibatkan kalangan dari lintas disiplin keilmuan agar pemahaman kita terhadap Covid-19 dan dampaknya bisa lebih komprehensif.

“Di dalam forum ini, masyarakat bisa saling memberikan dukungan positif dan menyebarkan informasi valid sekaligus menghilangkan stigma negatif COVID-19 agar tidak muncul masalah baru,” tutup Herlina. [Asp]

Laporan : Ari

 


Tinggalkan Komentar