Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengungkapkan, dari kajian SPD, ada beragam potret buram yang dihadapi penyelenggara pemilu selama 2018. Dimulai dari kasus OTT Panwas Garut, mencuatnya isu mahar politik dalam proses pencalon Pilkada di Jawa Timur 2018, dan masih diketemukan sejumlah masalah dalam pembentukan daerah pemilihan (dapil).
Selain itu, kata August, adanya tuntutan sejumlah kasus hukum saat proses rekrumen penyelenggara, sejumlah deklarasi politik uang yang dilakukan belum mampu menurunkan persepsi publik soal penerimaan politik uang, angka target tingkat partisipasi pada Pilkada yang belum mencapai target 77,5 persen, kontrovesi PKPU tentang calon perserta pemilu koruptor, kotak pemungutan suara dari kardus atau karton, hingga pada sisi teknis pelaksanaan debat calon presiden-wakil presiden.
“Lantas bagaimana dengan 2019? Isu apa saja yang bakal dihadapi oleh penyelenggara pemilu. Dan bagaimana penyelenggaraan pemilu itu sendiri,” kata August dalam diskusi Ngobrol Etika dengan Media (Ngetren) bertajuk ‘citra Lembaga Pemilu di Mata Publik’ di lobby Bawaslu/DKPP, Jakarta, Selasa (22/1/19).
August meggungkapkan, pada Pemilu 2019, penyelenggara pemilu akan dihadapi dengan ancaman suara yang tidak sah. Dari data periode 1999-2009, angka suara tidak mengalami peningkatan di kontestasi pemilihan legislative (pileg). Di 2014, ada penurunan, di 2019, angka ini dikhawatirkan naik.
“Hal ini dikarenakan tingkat kerumitan teknis pemilu. Seperti besaran suara karena jumlah peserta pemilu dan lainnya. Selain itu, animo masyarakat pada Pemilu 2019 lebih cenderung terfokus pada pemilihan presiden ketimbang pemilihan legislatif,” terangnya.
Oleh karenanya, August menyarankan, di sisa pelaksanaan Pemilu 2019 serentak ini, penyelenggara pemilu dapat memperbaiki kinerja. Baik kinerja untuk internal seperti peningkatan kemampuan elemen teknis seperti bagaimana cara mengoperasinalkan metode konversi suara dari Kouta Hare ke Sainte League.
“Dari sisi eksternalnya seperti memperbaiki komunikasi politik terhadap publik maupun elit,” katanya.
Hingga 85 hari tersisa jelang 17 April 2019, lanjut dia, semua perhatian tersita untuk isu pilpres dengan berbagai varian isunya. Informasi publik dipenuhi dengan beragam isu popularitas dan elektabilitas capres-cawapres namun miskin dalam substansi program.
“Perhelatan debat capres-cawapres dengan segala dinamikanya menyita semua perhatian publik, termasuk media dan penyelenggara,” terangnya.
Selain itu, tambah dia, pemilu legislatif menyimpan kompleksitas masalah dibanding pilpres. Karena secara teknis tala cara pemilihan pilpres relatif sederhana (sebangun dengan mekanisme pemilihan di pilkada) .
Sedangkan Pemilu Serentak 2019 menyertakan Surat suara (DPR, DPD, DPRD Provinsl, dan DPRD Kabupaten/Kota) Surat suara pilpres hanya salah satu saja.
“Bagaimana pemahaman pemilih terhadap aspek-aspek teknis pileg, hingga saat ini tidak terlihat peran penyelenggara secara substansi,” pungkasnya.[sbk]