Diskriminasi Bawaslu Bisa Merusak Perkembangan Demokrasi - Telusur

Diskriminasi Bawaslu Bisa Merusak Perkembangan Demokrasi


Telusur.co.id -

Tugas dan Wewenang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai UU Nomor 7 tahun 2017, yakni melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu secara adil, baik atas temuan sendiri maupun laporan anggota masyarakat.

Demikian disampaikan Pratktisi Hukum, Dahlan Pido dalam keterangan kepada wartawan, Jumat (8/3/19).

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kata dia, Bawaslu juga mengawasi netralitas Pejabat Negara, Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI dan anggota Kepolisian RI.

Namun sayang, ada diskriminasi yang dilakukan oleh Bawaslu. Hal itu terkait kasus Menteri Dalam Negeri (Medagri) Tjahjo Kumolo dalam acara Rakornas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa tahun 2019 yang diikuti 3.200 Kepala Desa dan 1600 Badan Permusyawaratan Desa pada hari Rabu, tanggal 20 Februari 2019 di Ecovention Ocean Ecopark Ancol.

“Dalam acara tersebut Mendagri melakukan tindakan atau mengadakan kegiatan yang meliputi seruan, ajakan, imbauan, seruan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu selama masa kampanye,” kata Dahlan.

Tindakan Mendagri setelah Presiden Jokowi berpidato, yang berbicara dan mengajak kepala desa berdiri dan mengatakan “kalau saya bilang Dana Desa, jawab pak Jokowi,” adalah perbuatan yang diduga melanggar UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, seperti yang ditentukan dalam Pasal 282, Jo 283 ayat (1) dan sanksi Pasal 547 (3 bulan kurungan dan denda 36 juta).

“Bahwa Mendagri melakukan tindakan yang menggiring opini yang menguntungkan Paslon Nomor 01, pak Jokowi, dan merugikan Paslon 02, pak Prabowo,” kata Dahlan.

Padahal, lanjutnya, Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Negara dan bukan Jokowi sebagai pribadi ataupun sebagai Presiden.

Terkait tindakan Mendagri, lanjutnya, Advokat Nusantara melaporkan dengan melampirkan bukti print out dari dua media ternama dan kredibel, dan dua orang saksi. Namun laporan ini tidak dapat diregistrasi oleh Bawaslu RI, dengan alasan tidak adanya saksi fakta yang hadir langsung.

“Stadar ganda dan tidak adil itu terlihat dalam kasus Kepala Desa Sampang Agung (Suhartono) di Mojokerta, yang di vonis dua bulan dan denda Rp 6 juta,” kata dia.

Kasus yang sama penanganan berbeda dari dua kasus pelanggaran. Pada laporan Mendagri tidak dapat diregistrasi oleh Bawaslu RI dengan alasan tidak adanya saksi fakta yang hadir langsung.

“Padahal dilampirkan bukti dua media ternama dan dua saksi. Sedangkan pada Kepala Desa, Sampang Agung, Kutorejo, Mojokerto (Suhartono) adanya video yang disita penyidik Sentra Gakkumdu, dan yang bersangkutan dinyatakan beralah melakukan tindak pidana Pemilu dengan vonis dua bulan penjara, dan denda Rp 6 juta subsider satu bulan kurungan,” katanya.

Suhartono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pidana Pemilu oleh Penyidik Gakkumdu Kabupaten Mojokerto. Tindakan yang dilakukan tersangka dinilai menguntungkan Cawapres dari Paslon 02 di Pilpres 2019, yang melakukan sosialisasi Pilpres di Wisata Air Panas Padusan, Pacet, pada hari Minggu tanggal 21 Oktober 2018, sehingga Perkara Suhartono bergulir sampai ke meja hijau dengan dakwaan Pasal 490 Jo 482 UU Nomor 7 tahun 2017.

“Diskriminasi yang vulgar apabila mencermati pelanggaran Mendagri mapun Kepala Desa, sama-sama melakukan tindakan yang menggiring opini yang menguntungkan salah satu Paslon dan merugikan Paslon lain, namun tindakan hukum yang dilakukan Bawaslu dengan membedakan apa yang dilakukan Mendagri dan Kepala Desa sangat diskriminasi,” kata Dahlan.

“Dan ini merupaka perlakuan yang tidak sehat untuk perkembangan demokrasi ke depan.” [ipk]


Tinggalkan Komentar