telusur.co.id - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017, Prof. Jimly Asshidiqie, menyebut pada dekade ketiga abad 21, hampir seluruh negara telah mengadopsi sistem etika dalam kegiatan pemerintahan mereka.
Hal ini disampaikan Jimly ketika menjadi keynote speaker dalam kegiatan Forum Group Discussion (FGD) DKPP dengan tema "Refleksi Penegakan Etik Pasca Pemilu Serentak 2024" yang diadakan secara daring, ditulis Kamis (12/6/2025).
"Zaman sekarang sudah mengalami perubahan, di seluruh dunia muncul gerakan-gerakan yang mempromosikan penerapan sistem etika atau applied ethics, jadi bukan lagi hanya philosophical ethics, theoretical ethic. Di mana-mana orang berbicara soal etika," katanya.
Perubahan ini, ucap Jimly, semakin terasa dengan rekomendasi yang dikeluarkan PBB pada 1997 agar semua negara anggotanya membangun infrastruktur etik untuk jabatan publik. Infrastruktur etik terdiri dari dua hal, yaitu sistem kode etik dan lembaga penegak etik.
"Ini perkembangan baru. Sehingga pada abad 21, dapat dikatakan bahwa semua negara di seluruh dunia sudah punya undang-undang etika pemerintahan, semua sudah menata sistem etika dalam kegiatan pemerintahan, di seluruh dunia. Ini perkembangan yang harus kita pahami," terang Jimly.
Mantan Ketua MK ini menambahkan, hal-hal di atas adalah gejala untuk membuat rule of law (aturan hukum) dan rule of ethics (norma etik) saling menunjang dan melengkapi satu sama lain, tidak lagi dibedakan seperti masa sebelumnya.
Ia mengilustrasikan rule of law sebagai sebuah hal tentang benar atau salah. Menurutnya, persoalan benar salah barulah separuh dari aspek kehidupan. Sedangkan separuh lainnya berada dalam rule of ethics yang berbicara tentang baik dan buruk.
"Ini (rule of law dan rule of ethics, red.) harus satu tarikan nafas, tidak bisa dipisahkan. Dalam pemerintahan, pemerintahan yang baik bukan hanya constitutional and legal government saja, tapi juga harus good government. Kemajuan peradaban tidak cukup benar, tapi juga harus baik,"
Gejala-gejala di atas, menurut Jimly, telah diadopsi oleh Indonesia dengan pengaturan kode etik dan lembaga penegaknya dalam undang-undang yang mengatur organisasi publik, baik itu lembaga negara, komisi negara, ASN, dan juga organisasi profesi.
Ia berpendapat, posisi hukum dan etika tidaklah bersifat hierarkis, akan tetapi luar dalam. Ia merujuk pendapat dari mantan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren, yang menyatakan, "In the civilized life law floats in a sea of ethics".
"Saya menyebut kapal hukum tidak mungkin mencapai pulau keadilan apabila lautan etikanya kering. Jadi hukum dan etika jangan dipisah, ibarat struktur dan substansi, ibarat jasad dan rohnya," jelas pria yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Kehormatan MK ini.
Dalam kesempatan ini, Jimly juga berpendapat bahwa DKPP merupakan pelopor peradilan etik terbuka di seluruh dunia. Menurutnya, sebelum DKPP tidak ada lembaga penegak etik di mana pun yang proses persidangannya dilakukan secara terbuka.
Bagi Jimly, setiap lembaga penegak etik harus melakukan proses peradilan secara terbuka karena ini berkaitan dengan jabatan publik.
"Lembaga pertama yang menjadi pelopor namanya DKPP. Kalau MK nomor urut ke-79 di seluruh dunia, kalau DKPP itu lembaga peradilan etik pertama di seluruh dunia. Maka kita harus yakin kalau ini benar," tandasnya.
Untuk diketahui, kegiatan FGD DKPP ini juga menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo dan Pembina Perludem, Titi Anggraini.[Nug]
Laporan: Dhanis Iswara