telusur.co.id - Oleh : Denny JA, Ph.D
Aksi protes itu memang strategis dan penting bagi civic education, bagi pendidikan politik masyarakat. Tapi efek elektoral aksi protes itu sangat dan sangatlah kecil saja.
Itu respon saya menjawab pertanyaan seberapa besarkah efek elektoral dari gerakan banyak kampus yang kritis kepada Jokowi. Seberapa signifikan efek aksi protes kampus itu terhadap elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran, Ganjar- Mahfud, dan Anies-Muhaimin?
Kita mulai dulu dari rentetan berita. Saya pilihkan empat jenis berita soal aksi protes kampus di atas.
Jenis berita pertama: Daftar civitas akademika kampus yang mengkritik Jokowi, listnya bertambah banyak. Ada UI, UGM, Unpad, UMS, dan belasan lainnya.
Kedua jenis berita dari pihak yang membela Jokowi. Spiritnya mengatakan: kampus ramai-ramai kritik Jokowi karena ada politik yang mengatur-ngaturnya. Dengan kata lain, itu ada tuduhan partisanship dalam aksi protes kampus itu, yang condong ke capres tertentu.
Lalu jenis berita lain lagi. Ini bantahan dari kubu capres: PDIP bantah mobilisasi kampus-kampus kritik Jokowi.
Selanjutnya, ini berita jenis keempat yang membuat gerakan sebaliknya. Spirit jenis berita ini soal aksi tandingan aneka akademisi, dan dosen kampus yang justru membela Jokowi. Mereka mengatakan demokrasi sehat-sehat saja di era Jokowi.
Bagaimana kita mereview aksi protes kampus di atas? Dalam pemilu pilpres kali ini, juga dalam pemilu lainnya, gerakan apapun yang muncul memang bisa kita tangkap dalam dua perspektif strategis.
Pertama melihat gerakan, aksi atau peristiwa itu melalui efek elektoralnya bagi capres yang bertarung. Seberapa besar efek gerakan itu untuk menambah atau mengurangi elektabilitas capres tertentu.
Dari kacamata ini, yang penting dan menjadi ujung analisis adalah menang dan kalah. Siapa yang akhirnya terpilih dalam ppres? Apakah isu aksi protes kampus ikut mempengaruhi hasil akhir?
Perspektif ini memang khas cara berpikir politisi. Menang dan kalah. Elektabilitas menaik atau menurun.
Namun juga ada perspektif lain yang tak kalah penting. Yaitu perspektif civic education, pendidikan politik. Ini bukan soal menang dan kalah dalam pilpres.
Dalam perspektif ini yang penting adalah efek gerakan, aksi dan peristiwa itu bagi demokrasi dan kepentingan publik. Apakah aksi itu sehat dan menyuburkan demokrasi, atau sebaliknya?
Ini perspektif yang sangat disukai oleh aktivis demokrasi dan para pejuang Civil Society.
Dari perspektif civic education, gerakan aktivis kampus ini, aksi dari para profesor yang kritis kepada Jokowi, jelaslah ini satu gerakan yang penting. Ia perlu didengar dan direnungkan.
Demokrasi itu pohon yang tumbuh. Untuk tumbuh, pohon demokrasi terus memerlukan vitamin, pupuk, dan air yang segar.
Ekosistem dan aksi seperti kritik dari kalangan cendikia, review dari kampus, suara-suara yang yang semiring apapun dari kalangan terpelajar, sejauh itu hasil riset, renungan mendalam, itu selalu baik-baik saja untuk demokrasi.
Aksi protes itu memang bisa membuat demokrasi kita semakin tumbuh dan bertransformasi, dari suasana “Transisi Demokrasi” menuju “Konsolidasi Demokrasi.”
Tapi dari si politik elektoral, pengaruh gerakan kampus ini tidaklah banyak. Mengapa? Ini datanya.
Kepuasan kepada Jokowi sekarang ini memang sedang tinggi sekali. Hampir 10 tahun Jokowi menjadi presiden dan menyentuh hati masyarakat luas.
Di akhir Januari 2024, sekitar 80,8% publik puas kepada kinerja Jokowi. Itu approval rating kepada presiden yang tinggi sekali. Tidak hanya tinggi untuk ukuran Indonesia, tapi juga untuk ukuran dunia.
Di kalangan terpelajar, bahkan yang puas pada Jokowi itu 77,9%. Yang tak puas pada Jokowi 21,8%. Bisa kita katakan, di kalangan terpelajar, yang kita definisikan dalam kelompok mahasiswa, D3, D1, S1, S2, S3, dan para Profesor, rata-rata dari 10 orang warga kampus ada dua orang yang tak puas pada Jokowi.
Tapi ada tujuh dari sepuluh warga kampus yang puas pada Jokowi. Dan satu orang dari 10 warga kampus itu yang tidak memberikan suara. Bisa kita katakan, berapa pun jumlah profesor, dosen yang mengritik Jokowi di sana, maka ada jauh lebih banyak yang puas pada kinerja Jokowi.
Katakanlah ada 20 warga kampus yang tak puas dengan Jokowi. Secara statistik, itu berarti ada sekitar 70 warga dari kampus itu yang tak bersuara, tapi mereka puas pada Jokowi. Perbandingannya 7 : 2 untuk pro Jokowi.
Mengapa terjadi dan terbelah seperti ini di kalangan terpelajar itu, karena memang di kalangan manapun, bisa saja terjadi perbedaan persepsi mengenai realitas politik.
Apa yang penting dan krusial bagi seseorang, bagi satu guru besar, itu hal yang biasa-biasa saja bagi guru besar lain. Apa yang tak bisa diterima bagi satu pihak, itu bisa ditoleransi, bisa dipahami oleh pihak lain.
Kepentingan, cara berpikir, prioritas dan pemihakan warga kampus terhadap apapun, siapapun, tak pernah tunggal. Dan spektrum persepsi ini juga terjadi di kalangan pemilih manapun. Tinggallah statistik yang memetakan, posisi apa yang kini mayoritas dan minoritas.
Mengapa efek elektoral aksi kampus jenis ini tak besar? Itu memang karena total jumlah kalangan terpelajar hanya 10% saja dari total populasi pemilih. Ribut-ribut apapun yang terjadi di kalangan terpelajar, secara elektoral, itu hanya seperti “ANGIN TOPAN DI DALAM TOPLES” saja.
Efeknya hanya berputar-putar di kalangan pemilih 10% saja. Efeknya hanya terbatas di dalam toples.
Suka atau tidak, itulah peta demografi kita. Mayoritas pemilih kita itu, yang tak tamat SD, tamat SD, tak tamat SMP, dan tamat SMP, toalnya sekitar 60% populasi.
Jumlah wong cilik kategori pendidikan ini ENAM KALI lebih banyak dibandingkan populasi kalangan terpelajar. Karena itulah efek elektoral aksi kampus ini tak banyak jika dilihat secara agregat pemilih.
Namun sekali lagi, dalam demokrasi, dalam pemilu, memang kita tak hanya melihat politik elektoral saja. Dalam jangka panjang, kita pun juga melihatnya dalam perspektif Civic Education.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.