Ekonom: Kesepakatan Dagang AS Bahayakan Indonesia, Ini Neo-Imperialisme Gaya Baru - Telusur

Ekonom: Kesepakatan Dagang AS Bahayakan Indonesia, Ini Neo-Imperialisme Gaya Baru


telusur.co.id - Pengamat Ekonomi Pusat Kajian Keuangan dan Pembangunan Universitas Binawan, Farouk Abdullah Alwyni, minta Pemerintah mengantisipasi dampak buruk pemberlakukan kesepakatan tarif imbal balik yang diminta Amerika Serikat (AS). Karena, isi kesepakatan dagang dengan AS sangat memberatkan Indonesia. 

"Menurut saya kesepakatan itu sangat berat sebelah. Kesepakatan itu menunjukkan posisi Indonesia tidak setara dengan Amerika," kata Farouk kepada wartawan, Senin (21/7/2025). 

Meski pada satu sisi Pemerintah Amerika terkesan melunak dengan menurunkan tarif dagang dari 32 persen ke 19 persen, tapi ketentuan turunannya sangat merugikan posisi Indonesia. 

"Untuk mendapat penurunan tarif ekspor, Indonesia harus menghapuskan seluruh tarif untuk produk ekspor AS ke Indonesia. Ditambah lagi Indonesia diminta membeli produk energi AS sebesar USD 15 miliar, produk pertanian AS sebesar USD 4.5 miliar, membeli 50 pesawat Boeing, serta membuka akses pasar untuk produk pertanian, perikanan dan peternakan AS bebas tarif, " ucapnya. 

"Padahal tarif 19 persen ini sudah hampir 4 kali lebih tinggi dibandingkan tarif sebelumnya yang berkisar antara 0 - 5 persen," jelas Farouk. 

Farouk menambahkan, dibanding negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam yang dikenakan tarif masing-masing 25 persen dan 20 persen, ketentuan yang diberlakukan bagi Indonesia sangat berat. Malaysia dan Vietnam tidak diwajibkan memberlakukan tarif 0 persen untuk produk-produk AS dan juga tidak dikenakan kewajiban pembelian barang dari AS seperti yang diberlakukan terhadap Indonesia. 

"Jadi sebenarnya apa yang terjadi terhadap Indonesia adalah satu bentuk neo-kolonialisme dan neo-imperialisme gaya baru yang diberlakukan AS kepada Indonesia. Namun ironisnya, Pemerintah Indonesia menerima kesepakatan ini dengan gembira," terang Farouk. 

Mantan Pejabat Senior Islamic Development Bank (IDB) ini memperkirakan, dalam jangka panjang kesepakatan ini akan berdampak pada banjirnya barang-barang dari AS ke Indonesia, dimana hal ini dapat mengancam industri dalam negeri, yang pada akhirnya akan mendorong proses deindustrialisasi Indonesia.

"Jadi di satu sisi Indonesia berharap tetap menjaga akses pasar ke AS, yang belum tentu juga akan diterima pasar disana mengingat harga barang-barang tersebut akan meningkat 4x lipat dari harga sebelumnya, di sisi lain kita tidak menyadari potensi hancurnya industri dalam negeri akibat serangan produk-produk ekspor AS. 

Dengan kondisi yang seperti ini diperkirakan kondisi surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar sekitar USD 18 miliar atas AS dapat berbalik menjadi defisit. 

"Sedangkan untuk pos fiskal diperkirakan akan terjadi "shortfall" pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar IDR 200 triliun," terang Farouk. 

Mantan Direktur Bank Muamalat Indonesia ini berharap Pemerintah mulai sekarang sudah harus berkoordinasi dengan pelaku ekspor ke AS, untuk mulai membantu mencari pasar ekspor alternatif. Kondisi ini bisa jadi kesempatan untuk mulai mendiversifikasi tujuan ekspor Indonesia agar tidak terlalu bergantung pada AS. 

Farouk menjelaskan kesepakatan dagang yang menekan secara sepihak sebenarnya sangat tidak sehat. Pemerintah Indonesia harusnya menolak. Singapura sendiri yang merupakan mitra dekat AS sudah mulai berpikir untuk menggunakan pendekatan "the World minus One", yakni Dunia dikurangi satu negara, yakni AS. Esensinya mereka ingin membuka peluang seluas mungkin kerjasama ke berbagai negara dengan meninggalkan AS. 

"Sehubungan dengan ini maka sudah sewajarnya Indonesia melakukan hal yang sama sehingga pada waktunya Indonesia dapat negosiasi ulang terhadap AS dengan "bargaining position" yang lebih kuat, dan tidak gampang ditekan. China, Uni Eropa, Kanada, Mexico, dan Brazil adalah beberapa contoh negara yang terus melakukan perlawanan terhadap kebijakan tarif dari Trump (dengan menerapkan balasan tarif yang tinggi terhadap AS)," tegas Farouk. [Nug] 


Tinggalkan Komentar