telusur.co.id - Pemerintah dinilai masih berhutang terhadap penuntasan dugaan pelanggaran HAM Berat yang terjadi di seputar Mei 1998, baik itu Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Tragedi-tragedi tersebutlah yang menjadi momentum Reformasi terhadap Orde Baru.
Koordinator Forum Diskusi kebangiktan Indonesia (Forum DKI) Bandot DM menuturkan Presiden Joko Widodo memasukkan agenda penuntasan kasus ganti HAM dalam sembilan program prioritas yang diberi nama Nawacita pada periode 2014-2019. Dalam visi-misi pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada kampanye pemilihan presiden lalu, masalah HAM pun masih dicantumkan lagi.
"Janji tersebut mesti dijalankan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin," kata Bandot DM di Jakarta, Senin (18/5/20).
Sebagai bagian dari kabinet yang mendapat amanah UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai penyidik dan penuntut pelanggaran HAM Pasal 21 Ayat (1) yang berbunyi; “Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung”, Jaksa Agung tidak bisa lepas dari janji presiden terkait penuntasan pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Dia mengatakan, Jaksa Agung tidak boleh bersifat formalistik saja, seperti pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk Pelanggaran HAM berat. Pernyataan yang dilontarkan pada Kamis, 16 Januari di depan rapat dengan Komisi III DPR RI merujuk pada putusan politik, yaitu hasil rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004.
Terlepas dari persoalan politis itu, ada keadilan bagi korban yang mesti dipertimbangkan oleh Jaksa Agung. Dia mesti juga mereferensikan hasil penyelidikan pada 20 Maret 2002 oleh Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) Trisakti, Semanggi I dan II yang dibentuk oleh Komnas HAM mengeluarkan laporan akhir yang menyatakan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, berupa pembunuhan dan perbuatan-perbuatan tidak berperikemanusiaan yang berlangsung secara sistematis dan meluas yang ditujukan pada warga sipil.
Sebagai aparatur Presiden, Jaksa Agung harus berani ambil peran proaktif menjalankan kebijakan hukum Presiden untuk menuntaskan perkara dugaan pelanggaran HAM Berat ini. Termasuk, untuk mengambil alih penyelidikan dari Komnas HAM dan segera melakukan penyidikan meskipun belum ada Pengadilan HAM Ad Hoc. Sembari menunggu sampai ada pengadilan HAM Ad Hoc, Jaksa Agung bisa menjalankan kewenangan yang diatur dalam UU No. 26/2000 tentang HAM.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo pun tak bisa serta merta lepas tangan terhadap penuntasan tragedi ini. Faktanya kemenangannya di periode I secara signifikan karena ada janji kampanye untuk menuntaskan kasus-kasus dugaan pelanggran HAM Berat masa lalu. Jokowi harus bisa memobilisasi anggota DPR RI dari Partai Koalisi yang saat ini mayoritas parlemen untuk segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM Berat masa lalu terutama Tragedi Trisakti Semanggi I dan Semanggi II.
Point penting dalam penuntasan dugaan pelanggran HAM Berat bukanlah semata-mata pada semangat untuk menghukum terduga pelaku. Lebih dari itu adalah untuk memberikan keadilan pada korban dan keluarganya, serta melakukan klarifikasi secara hukum tentang apa yang terjadi di dalam tragedi tersebut dan mencatatnya sebagai bagian dari sejarah bangsa ini. Sehingga tragedi-tragedi tersebut tidak terulang. Penuntasan pelanggaran HAM Berat ini akan menjadi pelajaran di masa depan tentang bagaimana negara semestinya memperlakukan warganya.[Fhr]