telusur.co.id - Implementasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan amendemen melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 serta Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2023 dinilai belum optimal dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Diperlukan perubahan paradigma dari pariwisata massal menuju pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
Hal itu disampaikan Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS saat menyampaikan pandangan mini FPKS atas hasil harmonisasi RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Senin (8/7/24).
Selama ini, lanjut Amin, pembangunan sektor pariwisata di Indonesia didasarkan pada pendekatan pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkelanjutan, dengan fokus pada pengembangan wilayah serta pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan tersebut mengacu pada empat pilar utama, yakni industri pariwisata, destinasi, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan. Fraksi PKS mengusulkan agar pengembangan pariwisata mempertimbangkan dampak positif secara maksimal bagi lingkungan, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat, sambil meminimalkan dampak negatifnya.
“Fraksi PKS mengapresiasi upaya untuk mengakomodasi kebutuhan pariwisata ramah muslim dan penyandang disabilitas dalam RUU ini. Kami menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai sosio-kultural, agama, dan adat istiadat lokal dalam pengembangan pariwisata nasional, serta perlunya mendukung inovasi digital dan pemanfaatan teknologi dalam industri pariwisata,” beber Amin.
RUU Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan juga diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk pengembangan sektor wisata khusus seperti wisata halal, medis, kesehatan, olahraga, dan ilmiah.
Kritik juga dilontarkan terhadap pembentukan Lembaga Kepariwisataan Indonesia yang dianggap dapat menimbulkan overlaping kewenangan dengan kementerian lainnya, serta membebani anggaran negara.
“Karena itu Fraksi PKS mengusulkan perlunya kajian ulang terkait lembaga ini guna meminimalkan potensi konflik dan biaya tambahan yang mungkin timbul,” lanjutnya.
Di sisi lain, terdapat kekhawatiran terhadap kewajiban asuransi wisata bagi setiap pengunjung yang dinilai memberatkan bagi wisatawan domestik. Oleh karena itu, Fraksi PKS mengusulkan revisi substansi yang menekankan perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata berisiko tinggi.
“Kami berharap pembahasan dan penyusunan yang cermat, RUU Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan serta menciptakan landasan hukum yang lebih baik untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia,” pungkasnya. [Tp]