Penulis: Dr Kurtubi*
HARGA minyak mentah dunia belakangan ini kembali naik menembus harga diatas $80/bbls untuk jenis minyak Brent. Sesuatu yang sebenarnya sudah wajar terjadi pada komoditas minyak mentah dunia yang mengikuti hukum ekonomi supply dan demand. Termasuk di masa pandemi Covid-19, manakala demand minyak NAIK sebagai akibat kegiatan roda ekonomi mulai berjalan ke arah new normal.
Harga minyak dunia mulai naik bertahap dari harga yang sangat rendah dimasa pandemi Covid-19 di sekitar $10/bbls, bahkan sempat menyentuh " harga negatif" sebagai harga terendah yang pernah terjadi. Anjloknya demand minyak karena kebijakan lockdown dari WHO. Indikasinya terlihat dengan mata telanjang, dimana hampir di semua jalan raya di dunia sepi-mimit (bahasa Sasak, yang artinya sangat sepi) dari lalu lalangnya kendaraan.
Dengan jumlah yang di vaksin terus meningkat dibarengi dengan disiplin melaksanakan protokol kesehatan, kini pandemi sudah mulai menunjukkan gejala mereda meski masih jauh dari berakhir tuntas 100%. Tapi, kegiatan dan gerak ekonomi masyarakat diseluruh dunia terus tambah membaik yang mengarah pada 'herd immunity', dimana masyarakat dunia diharapkan bisa hidup berdampingan dengan Covid-19.
Saat ini, sektor transportasi, khususnya lalu lintas di jalan raya diseluruh dunia sudah ramai nyaris normal kembali. Kecuali lalu lintas penerbangan international yang masih relatif sepi, kekurangan penumpang. Pengalaman penulis beberapa hari yang lalu, hanya ada sekitar 25 penumpang yang ada di pesawat super jumbo Japan Airlines/JAL Boeing 787 dalam penerbangan dari Dallas Amerika ke Tokyo Jepang. Di Bandara Narita, sebagian besar toko, restoran dan kantor tutup.
Dunia juga menyadari, agar gerak ekonomi terus membaik menuju 'herd immunity' maka vaksinasi dan prokotol kesehatan harus tetap jalan berdampingan sambil kegiatan ekonomi diarahkan untuk menjadi semakin membaik. Ini artinya, gerak transportasi di jalan raya dan penerbangan diseluruh dunia akan semakin ramai. Ujungnya, demand minyak dunia akan terus naik !. Yang pasti akan diikuti kenaikan harga minyak dunia, bahkan bisa mencapai harga jauh lebih tinggi dari harga minyak pada saat covid-19 mulai muncul, pada level sekitar $65 /bbls.
Harga minyak dunia kali ini berpeluang naik hingga ke level $100/bbls, apabila OPECplus (OPEC+) membatasi produksi/ supply minyak mereka yang disesuaikan dengan kondisi demand, di tengah prospek demand yang akan terus naik karena kegiatan ekononi dan industri yang akan terus meningkat. Atau bisa saja skenario sebaliknya terjadi, harga minyak juga berpeluang anjlok kembali, manakala Covid-19 berikut varian-varian barunya tambah ganas dan merajalela tak terbendung, meski tingkat vaksinasi terus naik, yang bisa berdampak pada sepinya kembali lalu lintas di jalan raya dan penerbangan. Atau jika OPEC+ membanjiri pasar dunia jauh diatas demand yang mulai naik.
Tapi, secara statistik skenario, ini probability-nya lebih kecil karena seluruh dunia bertekad melawan pandemi Covid-19, termasuk inovasi industri farmasi mencari obat Covid-19 yang sudah mulai muncul. Selain OPEC+ tidak ingin harga minyak dunia kembali anjlok. Sehingga fakta harga minyak dunia saat ini yang sudah melampaui $80/bbls, bisa saja akan terus naik menembus jauh di atas $100/bbls selama periode masa Transisi Energi Dunia menuju Near Zero Emisi Gas Rumah Kaca pada tahun 2050.
Tapi SAYANG, harga minyak tinggi ini terjadi pada saat produksi minyak Indonesia berada pada level yang sangat rendah, dengan produksi dibawah 700 ribu bph (target lifting dalam RAPBN 2022 dipatok pada level hanya 702 ribu bph). Rendahnya produksi minyak ini terjadi bukan karena sumber daya migas diperut bumi di negara kita telah habis, tetapi lebih karena negara kita SALAH dalam mengelola kekayaan SDA migasnya.
Sejak UU Migas No.22/2001 menggantikan UU No.8/1971, data Statistik menunjukkan bahwa Jumlah Pemboran Explorasi mengalami penurunan yg significant sejak tahun 2001 (Lihat Kurtubi: Oil and Gas Business in 2008, dalam Indonesia Economic Almanac 2008. Pustaka Bisnis Indonesia). Investasi dan kegiatan explorasi di negara kita anjlok. Ini disebabkan karena tata kelola migas dibawah UU Migas No.22/2001 tidak investor friendly karena proses investasi migas yang ribet birokratik ditambah UU Migas No.22/2001 yang mewajibkan investor migas untuk membayar pajak semasa explorasi.
Sementara dibawah UU No.8/1971 yang digantikannya, proses investasi migas sangat investor friendly karena simpel tidak birokratik. Dimana semua perijinan yang dibutuhkan oleh Investor dihandle oleh Pertamina sebagai penanda tangan Kontrak PSC (production sharing contract) dengan Investor. Selain dengan UU No.8/1971 tidak ada pembebanan pajak semasa Explorasi. Karena didalam Kontrak PSC antara Pertamina dengan Investor Migas, resiko di industri migas yang sangat berisiko ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak investor. Sehingga investor bebas dari kewajiban pajak selama explorasi/belum berproduksi. Dengan Kontrak PSC di sektor migas dibawah UU No.8/1971 berlaku prinsip fiskal Lex Spesialis.
Selain itu, UU Migas No.22/2001 ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena 17 pasalnya sudah dicabut MK, termasuk BP Migas dibubarkan yang kemudian hanya berganti nama menjadi SKK Migas dengan status, tugas, posisi dan bahkan dengan orang yang sama dengan BP Migas, lembaga yang dibubarkan MK.
Selama dua dekade, produksi minyak terus TURUN akibat kegiatan explorasi yang anjlok, penemuan cadangan baru nyaris nihil. Produksi hanya mengandalkan lapangan-lapangan tua. Ini fakta data yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Artinya, terjadi defisit neraca perdagangan Migas karena harus mengimpor migas dalam jumlah yang terus meningkat setiap tahun. Karena pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk terus meningkat sementara produksi minyak terus turun.
Sektor Migas Nasional terus MEMBEBANI Ekonomi Nasional, lewat defisit Neraca Perdagangan Migas setiap tahun. Pertanyaan yg relevant dan sangat penting: Kapan Tata Kelola Migas Nasional yang salah, melanggar Konstitusi dan terbukti merugikan bangsa dan negara ini akan berakhir?
Yang kita saksikan hingga hari ini, UU Migas No.22/2001 terus di elus-elus dan dipertahankan. DPR RI sudah dua priode telah gagal membuat UU Perubahan/Revisi atas UU Migas. Bahkan, Presiden pun sepertinya kurang memperoleh informasi yang lengkap dan akurat mengapa produksi minyak nasional selama dua dekade terus turun hingga saat ini produksi sangat rendah dibawah 700 ribu bph.
Padahal, situasi sudah sangat darurat dan mendesak dalam menghadapi harga minyak yg sudah diatas $80/bbls dan berpotensi bisa terus naik melampaui $100/bbls selama Masa Transisi Energi Near Zero Emisi Gas Rumah Kaca tahun 2050.
Presiden punya hak konstitusional dan berwenang mengeluarkan PERPPU mencabut UU Migas No.22/2001 yang melanggar konstitusi dan sudah terbukti sangat merugikan rakyat, bangsa dan negara. Kembali ke UU yang simpel tidak birokratik, sesuai konstitusi dan sudah terbukti telah berhasil membawa kejayaan Industri Migas Nasional.[***]
*) Direktur CPEES - Center for Petroleum and Energy Economics Studies. Alumnus CSM, IFP dan UI