telusur.co.id - Presiden RI Prabowo Subianto meletakkan karangan bunga atau flower tribute saat mengunjungi Monumen Pahlawan Nasional, Tiananmen Square, di Beijing, pada Sabtu (9/11/24).
Peletakan bunga itu dilakukan Prabowo disela-sela kunjungan bilateralnya. Dalam keterangan Biro Setpres, kedatangan Prabowo ke Tiananmen Square, sekitar pukul 12.00 waktu setempat, disambut oleh Wakil Menteri Luar Negeri China Sun Weidong dan sejumlah pejabat tinggi dari delegasi negara tersebut.
Prabowo kemudian berdiri di depan karangan bunga sekaligus mendengarkan lagu kebangsaan kedua negara.
Setelah itu, Prabowo mengikuti karangan bunga yang dipindahkan ke bagian depan Monumen Pahlawan Rakyat. Prabowo yang didampingi delegasi Indonesia lainnya kemudian berjalan hingga lokasi yang telah ditentukan.
Saat lagu "Flowers to the Heroes" selesai dimainkan, Prabowo merapikan pita karangan bunga dan memberikan penghormatan. Setelah memberikan penghormatan, Prabowo kembali menuju rangkaian kendaraan untuk kemudian meninggalkan Tiananmen Square.
Delegasi Indonesia yang mendampingi Presiden RI pada proses tersebut, yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Rosan Roeslani.
Kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Wakil Menteri Pertahanan Doni Hermawan, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah, Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI M. Tonny Harjono, serta Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali.
Sebagai informasi, Tiananmen Square, yang secara harfiah berarti "Pintu Surga", memiliki sejarah panjang dan megah dalam catatan sejarah China modern. Peletakan batu pertama pembangunan Monumen Pahlawan Rakyat China ini dilakukan oleh Mao Zedong pada 30 September 1949 silam. Dan, makam Mao Zedong pun berada di Tiananmen Square, yang kini menjadi salah satu objek wisatawan.
Dalam perjalanannya, Tiananmen juga menjadi saksi bisu tragedi berdarah terbesar di China, pada 4 Juni 1989. Dimana, dalam pembantaian Tiananmen 4 Juni, sekitar 100.000 orang berkumpul di utara Kota Terlarang, istana yang menjadi simbol besarnya Kekaisaran China sejak ribuan tahun silam.
Mereka terdiri dari mahasiswa, buruh, dan masyarakat biasa yang memprotes Pemerintah China lantaran dianggap membungkam demokrasi.
Unjuk rasa berlangsung selama tujuh pekan sejak 27 April 1989. Deng Xiaoping yang kala itu memimpin Partai Komunis China kemudian mengerahkan puluhan tank untuk membantu tentara "mensterilkan" Lapangan Tiananmen.
Sejumlah laporan tak resmi menyebut korban tewas lebih dari 300 orang, termasuk demonstran dan tentara, tetapi angka sebenarnya diprediksi mencapai 1.000 orang. Kemudian sekitar 10.000 orang ditangkap dalam pembantaian Tiananmen 1989.
Melansir laman History, pada Mei 1989 hampir satu juta orang China yang kebanyakan pelajar muda, memadati pusat kota Beijing untuk menuntut demokrasi yang lebih besar.
Mereka juga meminta pengunduran diri para pemimpin Partai Komunis China yang dianggap terlalu represif.
Adapun pemicu lainnya unjuk rasa ini adalah meninggalnya Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Hu Yaobang, pada 15 April 1989. Hu dikenal sebagai tokoh reformis yang membuka diri terhadap demokrasi.
Massa pun curiga dengan kematian Hu. Untuk mengenang kematian Hu Yaobang, 100.000 mahasiswa berkumpul di Lapangan Tiananmen. Mereka menyuarakan ketidakpuasan kepada Pemerintah China yang otoriter.
Pada 22 April, digelar upacara peringatan resmi untuk mengenang Hu Yaobang yang diadakan di Balai Agung Rakyat di Lapangan Tiananmen. Perwakilan mahasiswa datang sambil membawa petisi ke tangga Balai Agung Rayat. Mahasiswa menuntut untuk bertemu Perdana Menteri Li Peng dan meminta kejelasan atas kematian Hu Yaobang yang dianggap misterius.
Namun, Pemerintah China menolak pertemuan itu. Hal ini memicu aksi demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh China. Mereka mulai menyuarakan reformasi.
Detik-detik tragedi Tiananmen terjadi setelah hampir tiga minggu para demonstran terus berunjuk rasa setiap hari, memadati jalanan dan berteriak.
Pada 20 Mei 1989 Pemerintah China menetapkan darurat militer di Beijing, seiring jumlah massa yang semakin besar. Pemerintah China mengerahkan tentara dan tank ke ibu kota untuk membubarkan aksi demonstran.
Sebanyak 30 divisi tentara dari tujuh wilayah atau sekitar 250.000 pasukan militer dikirim ke Beijing melalui udara atau kereta api. Namun, ketika tentara ingin masuk ke pusat kota, mereka diadang oleh para demonstran dengan cara memblokir jalan utama.
Demonstran juga mengelilingi kendaraan militer sehingga aparat kesulitan bergerak. Tak hanya itu, pengunjuk rasa bahkan membujuk tentara untuk bergabung dalam aksi demonstrasi.
Pada 23 Mei 1989 akibat tidak adanya akses jalan untuk maju, pasukan tentara berhasil dipukul mundur ke pinggiran kota Beijing oleh para demonstran. Tindakan penarikan mundur itu dirasa sebagai pertanda baik bagi aksi demonstrasi, tetapi gerakan mahasiswa tidak sadar bahwa sebenarnya pihak militer sedang memobilisasi serangan mematikan.
Di kalangan pengunjuk rasa sendiri terjadi perpecahan, karena tidak adanya kepemimpinan dan tujuan yang jelas dari aksi itu.
Pemerintah China awalnya juga tidak mengambil tindakan langsung terhadap para demonstran.
Para pimpinan partai tidak setuju tentang bagaimana cara menanggapinya, sebagian lainnya mendukung upaya kompromi, namun lainnya menginginkan tindakan lebih keras.
Kelompok garis keras akhirnya memenangkan perdebatan itu, dan dalam dua minggu terakhir di bulan Mei, status darurat militer diberlakukan di Beijing.
Pada 3 hingga 4 Juni, pasukan mulai bergerak menuju Lapangan Tiananmen, melepaskan tembakan, menghancurkan dan menangkapi para pengunjuk rasa demi mengendalikan situasi di area tersebut.
Pada tanggal 5 Juni, seorang pria menghadang barisan tank yang melintas di lapangan. Foto seorang pria, membawa dua tas belanja, sedang berjalan untuk menghalangi barisan tank agar tidak lewat, itu pun menjadi ikonik.
Dia kemudian ditarik oleh dua pria. Tak diketahui apa yang terjadi padanya tetapi sosoknya menjadi gambaran yang menentukan dari aksi protes tersebut.
Dan, diskusi tentang peristiwa yang terjadi di Lapangan Tiananmen merupakan topik yang sangat sensitif di China.[Fhr]