telusur.co.id - Oleh : Denny JA
Mendengar wafatnya Usamah Hisyam (Jumat 19 Juli 2024), saya teringat teks japrinya di WA. Ia mengirimkan teks itu sekitar dua tahun lalu (2022).
“Bro, esai anda saya forward ke mana-mana. Ini penting bro, agar para pemuka Islam juga membaca data dan melihat fakta.”
Uka, panggilan akrab untuk Usamah, juga melampirkan esai saya yang ia forward ke mana-mana.
Itu esai saya soal hasil riset yang menabulasi negara berdasarkan tingkat korupsi dengan negara berdasarkan intensitas beragama.
Betapa di negara ini, mayoritas penduduknya menyatakan agama sangat penting. Lebih dari 90 persen mengaku agama menjadi panduan hidupnya.
Itu negara Indonesia, Irak (Islam), India (Hindu), Filipina (Katolik), dan Thailand (Budha). Tapi justru di negara yang menganggap agama penting, korupsi di negara itu sangat tinggi.
Sementara di negara Skandinavia, seperti Finlandia, Swedia, Norwegia, hanya di bawah 25 persen menganggap agama penting. Mereka tak merasa agama perlu sebagai pedoman hidup.
Tapi justru di negara yang tak menganggap agama penting, tingkat korupsi di negara itu sangat rendah. Itu negara yang bersih.
KPK pun di Indonesia membuat skala. Departemen yang paling korup justru departemen agama. Beberapa kali menteri agama masuk penjara.
Dalam esai itu saya mengajak merenung. Apa yang terjadi? Di negara yang mengelu-elukan agama, kok malah korupsi tinggi? Populasi di negara yang menganggap agama tak lagi penting, kok malah korupsinya rendah?
Kami pun bicara di HP. “Wah bro, anda mengasuh pesantren ya. Jadi kiai anda sekarang?” ujar saya menggodanya. Uka tertawa: “Kita mengalir saja bro. Kita kan orang-orang yang fleksibel.”
Saat itu, Usamah menjadi Pengasuh Pesantren Tahfizhul Quran (PTQ) Pondok Bambu Parung, Bogor. Ia rutin berdakwah di sana.
Usamah juga Ketua Umum Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Sebelumnya, ia anggota Dewan Penasehat PA 212.
Uka adalah teman keluarga. Sejak tahun 1980-an, 40 tahun lalu, ketika masa SMA dan mahasiswa, ia sering tidur di rumah keluarga dari sisi istri. Ia bersahabat sangat dekat dengan adik ipar.
Saya sendiri intens berkomunikasi dengan Uka, sejak tahun 2003. Saat itu hampir setiap saat kami berjumpa di rumah SBY di Cikeas. Bersama-sama kami membantu SBY untuk menjadi presiden 2004-2009.
Itu era, sosok kiai Uka belum nampak. Ia masih muncul sebagai jurnalis. Ia menyelesaikan studi Ilmu Jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (STP). Sekarang sekolah itu dikenal sebagai Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Karir jurnalistiknya mulai menanjak ketika ia bekerja di majalah Popular, di bawah bimbingan Pemimpin Redaksi, John Halmahera. Di sana, Usamah menulis profil artis dan artikel sepakbola.
Hidupnya mulai berubah ketika Uka berjumpa Surya Paloh pada tahun 1991. Surya Paloh sedang mengembangkan Kelompok Usaha Surya Persindo.
Paloh menugaskan Usamah sebagai redaktur edisi Minggu Media Indonesia, dengan gaji tiga kali lipat dari pekerjaan sebelumnya. Uka juga menerima sebuah mobil sedan pribadi.
Sosok Uka sebagai jurnalis berkembang menjadi penulis biografi. Ia memiliki tim sendiri untuk profesi ini. Banyak buku biografi yang sudah ia tulis.
Yang saya tahu, biografi Panglima ABRI, Jenderal TNI Feisal Tanjung, Panglima TNI, Laksamana TNI Widodo AS, dan Jaksa Agung RI, Andi M. Ghalib.
Termasuk juga biografi Menko Polkam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Juga biografi Kapolri Jenderal Pol Suroyo Bimantoro, Tifatul Sembiring, dan Surya Paloh.
Ujar Uka, “Saya tak hanya jurnalis bro. Saya juga entrepreneur di bidang penulisan. Kita mulai menjadi pengusaha dari titik ini.”
Uka juga menerbitkan beberapa majalah, antara lain Men’s Obsession. Majalah ini masih terbit hingga hari ini. Saya pernah diajaknya ke gedung yang baru dibelinya.
“Wah, anda kaya sekarang bro,” komentar saya. Ia tertawa.
Tapi Uka juga menapak hidupnya menjadi politisi. Awalnya, karena kerja jurnalis, ia intens berhubungan dengan politisi di PPP.
Uka mendapatkan kepercayaan dari Ketua Umum PPP, Buya Ismail Hasan Metareum. Ia menjadi penulis pidato Ketua Umum PPP dari tahun 1992 hingga 1998.
Usamah kemudian diangkat menjadi Ketua Departemen Penerbitan dan Media Massa DPP PPP, yang memulai karirnya di politik praktis.
Pada tahun 2002, saat Hamzah Haz menjadi wakil presiden, Usamah diangkat sebagai asisten pribadi Hamzah Haz. Dalam peran ini, ia banyak memberikan masukan mengenai dinamika sosial politik.
Ketika SBY menjadi presiden di tahun 2004, dan sebagai Ketum Partai Demokrat, Uka sempat mengajak saya diskusi. “Bro, saya ditawari pegang DPD Demokrat Provinsi Banten. Bagaimana, bro?”
Posisi Ketua DPD Demokrat Banten diambilnya. Namun tak lama kemudian, jabatan itu ditinggalkannya juga.
Usamah memang pribadi yang fleksibel. Ia mudah bergaul, lintas profesi. Tak heran, ia bisa kokoh sebagai penulis, jurnalis, pengusaha, politisi, dan kiai sekaligus.
Ketika tahlil 7 hari ibu (mertua) wafat, Uka datang, di bulan Februari 2024. Itulah pertemuan saya yang terakhir dengannya.
Jalannya tak selancar dulu. Bicaranya juga tak setangkas dulu. “Saya sakit, bro,” ujarnya.
Ia sempat memberikan pandangannya. “Bro, anda sebaiknya memang tetap seperti ini saja. Tak usah masuk partai. Tak usah jadi menteri. Jadi teman presiden saja, dan bangun dunia anda sendiri.”
“Jauh lebih enak seperti anda bro, jadi orang bebas.” “Siap,” ujar saya sambil tertawa, menyalami tangannya.
Selamat jalan Usamah Hisyam. Selamat jalan, Uka.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.