telusur.co.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku setuju dengan pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) secara umumnya. Terlebih dengan usulan MUI soal delik perzinahan serta perlindungan wanita dan anak diakomodir dalam RKUHP itu.
Begitu disampaikan Wakil Ketua Komisi Hukum MUI, Ikhsan Abdullah dalam diskusi bertajuk 'Mengapa RKUHP Ditunda?' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/19).
"Ya kalau usulan MUI, itu hampir semua diakomodasi. Misalnya perlindungan terhadap wanita dan anak-anak. Khususnya tentang pasal-pasal perzinahan, itukan sudah diakomodasi dalam bentuk akomodasinya adalah perzinahan yang diperluas," ujar Ikhsan.
Meski demikian, MUI juga memberikan catatan terhadap sejumlah pasal yang dinilai perlu adanya kajian dan pembahasan yang lebih mendalam. Salah satunya pasal mengenai santet dalam RKUHP.
Ikhsan mengungkapkan, meski kasus santet bukanlah sesuatu yang baru di masyarakat, namun penerapan pasal santet ini akan sulit dibuktikan. Sesuai prinsip hukum pidana, suatu tindak pidana harus memenuhi unsur pembuktian.
"Santet memang ada di masyarakat, tak bisa diingkari gejalanya itu ada. Karena nyatanya santet itu ada. Misalnya, tiba-tiba ada orang nih dalam tubuh ada jarum, ada hal-hal gaib, itu kan nyata, (benda-benda itu) ada," terang dia.
Namun, lanjut dia, apakah kemudian gejala-gejala tersebut bisa dijadikan bukti, itu menjadi tantangan bagi polisi dan jaksa bagaimana membuktikannya.
"Jangan sampai kemudian menjadi fitnah. Ini perlu kajian yang mendalam, perlu pemahaman, perlu persepsi, perlu definisi, ini yang kemudian harus menjadi clear," terang Ikhsan.
Selain perlu ada pembahasan dan kajian mendalam terhadap sejumlah pasal, lanjut Ikhsan, RKUHP ini juga harus lebih gencar disosialisasikan ke masyarakat sebelum disahkan.
"Jadi nggak ada masalah (nanti disahkan), bahwa masyarakat perlu diedukasi, perlu waktu untuk memahamkan, itu wajib hukumnya. Jangan sampai kemudian (informasi) yang diterimanya sepotong-sepotong akhirnya melawan masyarakat. Jadi ini masalahnya sosialisasi," ujarnya.
Diketahui, santet diatur dalam Pasal 252 RKUHP. Pada ayat 1 menjelaskan bahwa sanksi pidana terhadap pelaku santet yakni penjara paling lama tiga tahun. Pelaku juga bakal dikenai denda kategori IV atau sebesar Rp 200 juta.
"Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV," bunyi Pasal 252 ayat 1 RKUHP.
Sementara dalam Pasal 252 ayat 2 mengatur bahwa hukuman bagi pelaku santet bisa diperberat jika orang itu melakukan santet untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 masa hukuman.
"Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)," demikian bunyi Pasal 252 ayat 2 RKUHP. [Fhr]