telusur.co.id - Putusan hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), dalam perkara gugatan status tersangka mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej harus dihormati. Proses hukum praperadllan adalah pengujian atas kinerja KPK.
Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, KPK telah dikoreksi. Artinya, koreksi yang dinyatakan pengadilan dalam putusannya harus dan akan menjadi masukan untuk dapat memperbaiki proses penyidikan atas dugaan Korupsi Eddy Hiarej.
“Artinya, KPK dapat memperbaiki dan melengkapinya dan menetapkan (sprindik) surat perintah penyidikan baru,” kata Sugeng Teguh dalam keterangannya, ditulis Kamis (1/2/24).
Selain itu, koreksi atas profesionalisme penyidik KPK dan mengingatkan pimpinan lembaga antirasuah untuk kompak dalam kerja kolegial pemberantasan korupsi.
Artinya, ada proses yang dikoreksi pengadilan dan harus diperbaiki misalnya; dikatakan tidak memenuhi dua alat bukti. “Maka perlu dikaji untuk memperkuat kembali alat bukti dalam penetapan tersangka ke depan,” ujar Sugeng.
Putusan batal penetapan tersangka didasarkan pertimbangan alat bukti belum cukup dan pemerisaan saksi dlm jangka waktu sangat pendek. Hal itu dinilainya merupakan pendapat hukum hakim tunggal praperadilan Estiono.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima permohonan, gugatan Eddy Hiariej. Hal tersebut dibacakan dalam putusan oleh Hakim Tunggal, Estiono di Ruang Sidang Utama PN Jaksel, Jakarta, Selasa (30/1/24).
Hakim tunggal Estiono mengadili, dalam ekspeksi menyatakan eksepsi pemohon tidak dapat diterima seluruhnya.
“Dalam pokok perkara menyatakan penetapan tersangka oleh termohon terhadap pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menghukum termohon membayar biaya perkara,” tutur Estiono di Jakarta, Selasa (30/1/24).
Ia menjelaskan, penetapan tersangka tidak sah tersebut oleh termohon (KPK) sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang nomor 20 tahun 2021 tentang perubahan atas Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHO JO Pasal 64 ayat (1) KUHP, terhadap Pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[Fhr]