Islam dan Pancasila Dari Buku ke Buku - Telusur

Islam dan Pancasila Dari Buku ke Buku


Oleh : Wildan Hasan

1. Pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita usahakan terlaksananya di dalam negara dan bangsa kita. Maka apabila yang dituju oleh sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" itu adalah menegaskan kepada segala warga negara dan penduduk negara serta dunia luar, bahwa sesungguhnya seorang manusia tak akan memulai kehidupannya menuju kebaikan dan keutamaan, kalau belum ia dapat, menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka bagaimana Al Qur'an akan bertentangan dengan sila yang demikian itu. Dalam pada itu di masa akhir-akhir ini, mulailah terdengar pendapat-pendapat yang menempatkan Al Qur'an di satu pihak dan Pancasila di pihak yang lain dalam suasana antagonisme.

Seolah-olah antara tujuan Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah nyata "tak kenal damai" dan tidak dapat disesuaikan. Dengan sepenuh-penuhnya keyakinan sebagai seorang muslim yang berdiri atas kalimah syahadat, dan lantaran itu sebagai seorang patriot yang cinta kepada tanah air dan bangsa, saya berseru supaya jangan terburu-buru memberikan suatu kualifikasi dan keputusan, apabila vonis dan keputusan itu semata-mata didasarkan atas istilah-istilah yang oleh masing-masing pemakainya diberi tafsiran sendiri-sendiri, sebab bukanlah dengan cara demikian kita seharusnya memandang pokok persoalannya.

Di mata seorang muslim, perumusan Pancasila bukanlah kelihatan apriori sebagai suatu "barang asing", yang berlawanan dengan ajaran Al Qur'an. Ia melihat di dalamnya satu pencerminan dari sebagai yang ada pada sisinya. Tapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik dengan atau meliputi semua ajaran-ajaran Islam. Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. *Kita berkeyakinan yang tak akan kunjung kering, bahwa di atas tanah dan dalam iklim Islamlah, Pancasila akan hidup subur.* Sebab iman kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu tidak dapat ditumbuhkan dengan semata-mata hanya mencantumkan kata-kata dan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa" itu saja di dalam perumusan Pancasila itu.

Pancasila sebagai perumusan dari lima cita kebajikan seperti diceritakan di atas, tidak seorangpun dari penyusunnya memegang monopoli untuk menafsirkan sendiri dan memberi isi sendiri kepadanya. Masing-masing putera Indonesia merasa berhak memberi isi pada perumusan itu. Kita mengharapkan supaya Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang-nentang kepada Al Qur'an, Wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini.

Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang terlaksananya kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al Qur'an itu, yaitu induk serba sila yang bagi umat Islam Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang ingin mereka sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan ajaran-ajaran parlementer dan demokratis. Janganlah terburu-buru memutuskan vonis seolah-olah Islam dan umat Islam itu hendak menghapuskan Pancasila, atau seolah-olah mereka tidak setia kepada proklamasi, atau lain-lain sebagainya.

Yang demikian itu sudah tidak berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi. Setia kepada proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Tidaklah terletak dalam sifat dan fungsinya Pancasila, untuk menahan atau melarang kita memperjuangkan dengan jalan demokratis dan parlementer satu cita-cita kenegaraan yang malah dapat menyuburkan hidup lima cita-cita kebajikan yang tercantum dalam Pancasila itu. 

(Mohammad Natsir, Capita Selecta 2, Cet 2, 2008, hal.209-212)

2. Natsir menyatakan, mengenai kekuatiran-kekuatiran, bahwa kalau orang Islam menang dalam pemilihan umum, Pancasila akan hilang, dikatakannya, bahwa semuanya

itu sangkaan yang amat ganjil. Negara Islam yang diperjuangkan Masyumi bukan untuk orang Islam saja, tetapi untuk kemakmuran seluruh umat manusia, bahkan untuk binatang sekalipun. Didasarkannya Negara Republik Indonesia selama ini dengan Pancasila sebenarnya adalah pengambilan dari beribu-ribu sila yang terdapat dalam Islam. Dan kalau terbentuk negara Islam, maka Pancasila akan dapat dipelihara dan akan dapat dipupuk bersama sila-sila yang lain. Sementara itu dikuatirkannya, *Pancasila itu akan layu apabila diserahkan kepada PKI*. Yang jelas kalau PKI menang dalam pemilihan umum dan kalau PKI berkuasa, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa akan dipotongnya, sehingga layu lah Pancasila yang diharap-harapkan itu. Sungguh pun demikian, sekalipun Masyumi kalah dalam pemilihan umum nanti, maka Masyumi tidak akan mau menempuh jalan yang menyimpang, tetapi tetap melalui jalan yang benar, sekalipun jauh.

(Mohammad Natsir, Capita Selecta 2, Cet 2, 2008, hal.408)

3. Tidak usahlah Pancasila itu diadu dengan agama, sebab agama itu adalah tempat yang subur untuk mengembang-biakkan nilai-nilai Pancasila. Kalau ada para pemikir yang hendak mengeksternir (mengeluarkan) agama itu dari forum pengajaran dan pendidikan, maka dengan sendirinya dia berkesimpulan, bahwa Pancasila itu satu hal yang bermusuhan dengan agama. Akibatnya akan berat sekali apabila kita berbuat demikian. Oleh sebab itu *setiap Pancasilais melakukan satu kekeliruan yang besar, apabila dia mempertentangkan Pancasila itu dengan agama*. Dia akan melakukan satu tindakan yang mempunyai akibat jauh. Jangan hendaknya dua orang yang berteman dijadikan bermusuhan. Pancasila dengan agama itu dapat diumpamakan laksana bibit dengan tanah. Bibit itu pasti akan tumbuh dengan baik, jika disemaikan di atas tanah yang subur. Kalau tanah itu hendak dieksternir, maka tergantung-gantunglah tanaman yang muda itu di atas awang-awang dan tidak akan dapat bernafas. 

(Mohammad Natsir, Mohammad Natsir 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, hal.247-248)

4. Apabila Pancasila diisi dengan unsur-unsur yang memang bertentangan dengan asas keyakinan dan ajaran masing-masing agama itu, apabila Pancasila ditingkatkan menjadi "sumber dari segala sumber hukum" yang melukai keyakinan umat beragama, padahal yang semacam itu tak mungkin pernah terlintas dalam

pikiran para penyusun teks Pancasila sendiri, apabila sila ke empat ditorpedir dengan referendum, satu cara mengambil keputusan hanya dengan pemungutan suara langsung dari orang per orang, tanpa ada permusywaratan. Segala sesuatu berlaku di luar lembaga perwakilan, sekalipun untuk menentukan nasib UUD Republik Indonesia. Sehingga gugurlah sila ke 4 Pancasila. Dan apabila Pancasila diberi fungsi untuk menentang ciri-ciri khas sebagai asas bagi organisasi-organisasi politik dan non politik, termasuk lembaga-lembaga profesi dan keagamaan, sehingga negeri kita ini, setahap demi setahap, menjurus kepada sistem totaliter. Inilah sebenarnya yang jadi masalah. Bukan masalah Pancasila sebagai dasar negara. Dalam suasana derasnya arus pemikiran dalam masyarakat menyangkut hal-hal yang sedemikian fundamental, pihak pemerintah ternyata tidak bersedia mengatasi persoalan secara mendasar dengan meneliti masalah dari segi sebab dan akibat, melainkan lebih banyak bersifat mencari-cari kesalahan 

pihak lain, seolah-olah masih ada golongan-golongan "anti Pancasila", ditujukan ke alamat setiap golongan dan siapa saja yang tidak bisa menyetujui cara menafsirkan dan memfungsikan Pancasila, sebagaimana yang sekarang diinginkan oleh pihak penguasa. Diseru-serukan; "Demi Kesatuan dan Persatuan!", yang kita alami (justru) gejala-gejala Islamophobia terus meningkat dari hari ke hari dalam bermacam bentuk dan bidangnya, mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di pihak lain. "Demi Stabilitas dan Kemantapan!", yang kita alami stabilitas semu, diliputi rasa takut di satu pihak dan sikap masa bodoh di lain pihak. "Demi pengamalan Pancasila!", yang kita alami tersingkirnya Pancasila dari UUD RI yang melahirkannya di tahun 1945.

(Mohammad Natsir, Tempatkan Kembali Pancasila Pada Kedudukannya yang Konstitusional, hal.4-6)

5. Wakil-wakil umat Islam dalam DPR pilihan rakyat (Masyumi, NU, PSII, Perti dan lain-lainnya) sudah menerima secara aklamasi)pada tanggal 22 Juli 1959) Dekrit 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara Republik Indonesia, sebagai landasan bersama hidup bernegara. Pancasila adalah satu filsafat Bangsa (Indonesia), bukan Agama (baik dalam arti khas maupun dalam arti luas). Pancasila, sila demi sila yang lima, pada dasarnya tidak ada satu pun yang bertentangan dengan Islam, kecuali apabila diisi dengan tafsiran-tafsiran dan/atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Faham Keesaan Tuhan yang paling konsekuen adalah faham Tauhid dalam Aqidah Islamiyah. Di dalam rumusan resmi Pancasila terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa Al Qur'an; Adil, Adab, Rakyat, Hikmah, Musyawarah, wakil dan rakyat. Adalah ironi apabila terjadi penafsiran tentang Pancasila yang tidak sejalan dengan Al Qur'an, Kitab Suci mayoritas nasion/bangsa Indonesia. Umat Islam mengalami/menyadari adanya usaha-usaha golongan tertentu yang mengkhianati konsensus nasional yang sudah dicapai itu dengan jalan mengingkari hubungan historis dan ideal spiritual antara Piagam Jakarta dengan UUD 1945. Pengingkaran tersebut dapat meretakkan bahkan memecah belah bangsa Indonesia dan mengancam keselamatan Republik Indonesia. 

(Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Cet 1, 1986, hal.282-285)

6. Bahwa Piagam Jakarta mempunyai makna penting saat ini, tak dapat dibantah. Walaupun posisi dan fungsinya dewasa ini ditafsirkan dengan pelbagai cara. Namun adalah fakta bahwa Negara Republik Indonesia yang sekarang ini bukanlah berdasarkan Pembukaan UUD 18 Agustus 1945 _tok_ (yang telah mencoret klausul Islami dari rumusan asli Pancasila), melainkan berdasarkan Pembukaan UUD 1945 "yang dijiwai" oleh "merupakan rangkaian kesatuan" dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta dan batang tubuh UUD 1945 menjadi dasar kepunyaan dan mengikat segenap partai dan kelompok penduduk Indonesia. Penentangan terus-menerus oleh sebagian pihak tertentu para nasionalis "sekular", termasuk terutama orang-orang Kristen Protestan dan Katolik, terhadap Piagam Jakarta (serta maknanya sebagai latar belakang spiritual UUD itu), hanya akan melemahkan dan merongrong kesatuan bangsa Indonesia dan mengganggu keharmonisan hubungan yang pada umumnya telah ada sejak lama di Indonesia antara orang-orang Islam dan orang-orang Kristen.

(Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional, 1997, hal.149-150)

7. Secara filosofis maupun konstitusional, paham nasionalis sekular sama sekali tidak memiliki landasan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, sehingga keberadaannya tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya, paham religius dalam kehidupan politik dan kenegaraan justru memiliki akar yang kuat, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuh UUD 1945. *Adalah sangat inkonstitusional jika pada saat ini masih ada kalangan yang menganggap Islam membahayakan Pancasila seperti yang selama ini diindoktrinasikan oleh kalangan nasionalis sekular dan kalangan Islamophobi* yang telah melahirkan proyek-proyek pembantaian terhadap umat Islam seperti isu Komando Jihad, Peristiwa Tanjung Priuk, Peristiwa Lampung, dan peristiwa Majalengka. Jika pada kenyataannya saat ini masih ada saja penganut paham nasionalis sekular, sebenarnya hal itu merupakan sisa-sisa yang tidak lagi mempunyai sumber dan akar, baik dalam budaya bangsa maupun dalam konstitusi negara. Meskipun demikian, tidaklah berarti mereka tidak berbahaya. Mereka mempunyai pendukung bahkan sponsor. Dengan program sekularisme yang mereka bungkus dengan isu-isu kebebasan, hak asasi manusia, atau kesenjangan sosial.

(Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, hal.64-65)

8. Harjono mengingatkan, menghidup-hidupkan kembali masalah sikap umat Islam terhadap Pancasila dalam konotasinya yang negatif, pada waktu negara dan bangsa sedang berada dalam taraf pembangunan sekarang ini, adalah sungguh tidak bijaksana. Lebih-lebih karena MPRS sendiri dalam sidang IV tahun 1966 dengan ketetapan No. XX/MPRS/1966 telah mempertegas kedudukan hukum Piagam Jakarta. Maka membongkar kembali kesepakatan itu semata-mata berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan machts-politik yang bersifat sangat insidental, hanya akan menimbulkan luka-luka nasional serius yang tidak dapat diperkirakan apa gerangan obatnya. Karena itu, Harjono menegaskan kembali pendiriannya, sikap umat Islam terhadap Pancasila sebagai filsafat dasar negara tidak perlu diragukan lagi. Apabila selama ini terjadi perbedaan-perbedaan, maka perbedaan-perbedaan itu hanyalah penafsiran dan pengamalan Pancasila dalam praktik kehidupan bernegara, dan sekali-kali tidak mengenai Pancasila itu sendiri.

(Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan Biografi Dr. Anwar Harjono, SH, 1993, hal.343-344)

9. Mengomentari bunyi konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Prof Ahmad Syafii Maarif menulis dalam disertasinya, "Tercantumnya konsideran sangat penting ini jelas merupakan suatu kompromi politik lagi antara pendukung dasar Pancasila dan dasar Islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana konsideransi itu mempunyai makna secara konstitusional, dan seharusnya demikian, maka sekalipun hanya implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syari'ah bagi pemeluk agama Islam, tidaklah dimatikan. Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil terhadap Dekrit Presiden 5 Juli dan Piagam Jakarta. Penafsiran

yang lain dari ini, di samping tidak punya makna, juga bersifat ahistoris."

(Lukman Hakiem, Merawat Indonesia Belajar Dari Tokoh dan Peristiwa, 2017, hal.113)

10. Pada bulan Mei 1952, saat

peringatan Nuzulul Qur'an, Ramadhan 1373 H, Mohammad Natsir menyampaikan sebuah makalah dengan judul "Apakah 

Pancasila Bertentangan dengan Ajaran Al Qur'an?" Natsir menulis, "Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah antara para pemimpin-pemimpin pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. *Saya percaya bahwa di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besarnya adalah beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam*." Ringkasnya, tulis Natsir, "Bagaimana mungkin, Al Qur'an yang memancarkan tauhid, akan terdapat apriori bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa"? 

(Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, 2018, hal.154-155)

11. Berkenaan dengan sikap Natsir terhadap Pancasila, beberapa kalangan acapkali mempertanyakan konsistensi Natsir, setidaknya dari perbandingan dua pidatonya; yakni pidato Natsir pada tahun 1952 di depan Pakistan Institute of World Affairs, dan pidato di dalam sidang pleno Konstituante, 22 November 1957. Natsir saat itu menolak Pancasila dengan tafsir versi Sukarno yang dalam pidatonya 

di Istana Jakarta, 17 Juni 1954, di depan rapat Gerakan Pembela Pancasila, menyatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidak lebih dari ciptaan manusia. Lebih jauh, Tuhan pun akan tergantung kepada manusia. Dia bisa ada, bisa tidak ada. Tuhan tergantung kepada perkembangan (dinamika) masyarakat manusia. Maka jelas yang ditolak oleh Natsir bukanlah Pancasila, melainkan Pancasila yang ditafsirkan dan hendak diberi jiwa sekular (laa diniyah/netral agama). Tentang ini, Natsir berkata, "Bagi seorang sekularis, soal Ketuhanan, sampai kepada soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada hubungannya dengan Wahyu; baginya soal Ketuhanan adalah ciptaan manusia yang berganti-ganti." Deliar Noer (1926-2008) tidak berpendapat bahwa sikap Natsir di Konstituante merupakan perubahan sikap Natsir terhadap Pancasila. Menurutnya, pandangan Natsir terhadap Pancasila baik yang tercermin dalam pidato di Pakistan maupun yang tertulis di Majalah Hikmah adalah pandangan Natsir tentang Pancasila yang dihubungkan dengan ajaran Al Qur'an, sehingga tafsir sila-silanya juga dikaitkan dengan ajaran Al Qur'an. Dalam Konstituante, Natsir melihat Pancasila sebagai ajaran atau tafsiran yang dikemukakan oleh para anggota Konstituante yang sekular sehingga ia harus mengoreksinya.

(Lukman Hakiem, Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI, 2018, hal.79,83,88)


Tinggalkan Komentar