telusur.co.id - Penolakan Judicial Review atau JR yang diajulan Asosoasi Pengajar Hukum Adat ata APHA Indonesia, dalam Perkara nomor 67/PUU-XXII/2024 oleh MK sore tadi, tidak akan memupuskan perjuangan akademisi yang tergabung dalam APHA Indonesia untuk Masyarakat Hukum Adat.
Meskipun dalam putusan tersebut menolak seluruh gugatan atas pembentukan kementerian baru urusan masyaraka adat tetapi ada hal yang menarik dari pertimbangan hakim tersebut. Hakim menyatakan bahwa hal yang lebih penting saat ini bukan membentuk kementerian baru, tetapi segera untuk mengesahkan RUU MHA.
“ Hal ini yang menjadi tantangan ke depan, karena upaya mendorong pengesahan RUU MHA yang telah menjadi mandat konstitusi belum juga dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR,” ujar SEKJEN APHA INDONESIA Dr Rina Yulianti SH MH dari Univ Trunojoyo Madura,” dalam siaran persmya, Selasa (20/8/2024).
Menurutnya, berbagai aktifitas telah dilakukan APHA sejak terbentuk, bertujuan mendorong agar segera disahkan RUU MHA tersebut, antara lain melalui forum ilmiah yang bekerja sama dengan MPR RI, Call for Paper yang merupakan ajang diseminasi para pakar hukum adat, sampai pada audiensi dengan Badan Legislatif DPR RI. Judicial Review ini juga bagian dari mendorong RUU segera diundangkan apapun hasilnya, terbukti meskipun menolak dalam pertimbangannya majelis menyatakan pentingnya segera mengesahkan RUU MHA tersebut untuk menyelesaikan uusan-urusan masyarakat hukum adat yang belum terpenuhi hak-haknya.
“Sekali lagi APHA Indonesia tetap akan menjadi garda dalam rangka memperjuangkan dan mewujudkan hak-hak konstitusional MHA dengan cara-cara akademik,” tambahnya.
Tidak lupa APHA Indonesia sambungnya, mengucapkan terimakasih pada kantor hukum VST yang diwakili Bapak Viktor Santoso Tandiasa untuk menjadi kuasa dalam pelaksanaan JR dalam perkara nomor 67/PUU-XXII/2024.(fie)