Oleh. : Agus Widjajanto, Praktisi Hukum dan Pemerhati Politik, Sosial Budaya
Kakawin Nagara Kertagama yang ditulis dalam Bahasa Jawa kuno oleh Mpu Prapanca, menginspirasi para pendiri bangsa kita (Founding Father) sebagai konsep membentuk sistem ketatanegaraan dalam berdirinya negara Kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.
Kakawin Nagara Kertagama ditemukan pertama kali di pulau lombok Nusa Tenggara Barat pada tahun 1894. Pertama disebut Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit, termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94: 4).
Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa lantaran memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan, baik lokal (Daerah dalam lingkup Kadipaten), Desa, maupun pusat kerajaan, mengenai masyarakat Jawa kuno pada suatu masa dan dilihat dari sudut pandang tertentu.
Nagara Kertagama merupakan Kitab yang menjadi sumber nilai - nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia dan juga Mr. Moh. Yamin dan Mr. Soepomo dalam memberikan masukan konsep tentang dasar negara dan sistem ketatanegaraan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Bung Karno dalam Auto Biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, halaman 240 menulis
“Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi - tradisi kami sendiri, dan aku telah menemukan lima butir mutiara yang indah".
Naskah Nagara Kertagama juga telah diakui oleh kalangan International dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of The World UNESCO.
Dalam pupuh 43, Mpu Prapanca menulis "Agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama". Disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para Pendiri bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila - sila dalam Pancasila.
Harus diakui, sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa lepas dari pendapat Mr. Soepomo , yang merupakan "Ikon" penting dalam dunia politik hukum di Indonesia.
Dalam pidatonya di depaqn BPUPKI, tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang "Negara Integralistik" sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia ketika merdeka. Gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang - Undang Dasar 1945 ( UUD 1945).
Kontroversi yang mengemuka saat itu adalah ide model negara Integralistik yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk yang dianggap fasis, yang mencontoh dari kerajaan Jepang dan Jerman saat itu. Dianggap adanya persesuaian dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan.
Setelah Indonesia merdeka, banyak pakar hukum ketatanegaraan menilai Pemerintahan Orde Baru menerapkan gagasan yang diajukan oleh Soepomo.
Soepomo adalah seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta yang sangat memahami kontek sistem manunggal Kawuloning Gusti. Dalam pemerintahan feodal Jawa merupakan penyatuan antara rakyat dan pemimpin, membentuk suatu masyarakat yang harmonis berdasar karakteristik masyarakat Indonesia.
Sebenarnya inspirasi dari Soepomo didapat dari model pemerintahan desa - desa kuno di Jawa, seperti yang tertulis dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama.
Para ahli hukum Tatanegara dalam kajiannya berpendapat bahwa Soepomo, mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad ke-18 dan ke-19, yakni Benedict Spinoza, Adam Muller dan Georg W .F. Hegel.
Diterjemahkan oleh Soepomo sebagai bentuk ketertarikannya dengan sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno - Haika dan Jerman saat itu, tidak semuanya tepat walau tidak salah, dimana Jepang sebagai negara feodal dengan Raja sebagai poros paling atas kekuasaan. Menurut Soepomo, sistem pemerintahan seperti ini sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti.
Diterapkan dalam pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan pada kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau kepala negara dengan perangkat wakilnya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Soepomo menolak konsep Individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Menurut Soepomo, konsep individualitas ala barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas seperti negara. Bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara Kawulo (rakyat) dengan pemimpin (Gusti). Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan. Dimana, dalam negara integralislis ala pemerintahan Desa, tidak ada pertentangan dan selalu ada Harmono kepentingan. Ini karena negara dikelola secara kekeluargaan, layaknya sebuah keluarga harmonis. Negara Integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri sendiri sesuai kodratnya.
Marsilam Simanjuntak dalam studi yang sangat impresif soal konsep Negara Integralistik, dalam bukunya, Marsilam menguraikan bagaimana Sorpomo "membayangkan" hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel, yang mana menurut penulis, aliran dan pendapat dari Benedict Spinoza dan Adam Muller serta George W.F .Hegel, bukan merupakan rujukan dan memberi pengaruh kepada Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik. Sebagai seorang bangsawan keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah Desa - Desa adat, yang di komseptualkan dalam sistem terbentuk nya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan lulusan pendidikan hukum di Belanda, pendapat para filsuf Eropa pada abad ke-18 dan 19 hanya sebagai referensi, perbandingan dalam pandangan menyusun sebuah bangunan bangsa kedepan .
Pada era kini dalam era Reformasi, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, dan terbentuknya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka, dirombak total melalui amandemen sampai empat kali.
Pada masa Orde Baru, memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan. Dalam dokrinnisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan saja sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikus nya yang di bunuh tapi justru lumbungnya yang dibakar.
Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang dulu merupakan dewan rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa.
Demikian juga MPR yang susunan anggotanya, terdiri dari Seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan dari perwakilan agama seluruh Tanah air, wakil dari organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan utusan Daerah yang mewakili daerah masing - masing. Ada Gubernur, Bupati , Walikota yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat melalui perwakilan. MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan untuk pedoman dan tujuan pembangunan bangsa ini kedepan , Tertata dan terstruktur dalam jangka pendek, menengah dan Panjang yang dituangkan pemerintah dalam Repelita ( lima tahunan )
Itulah wujud dari sistem Negara Integralistik yang ditulis Mpu Prapanca di Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara .
Saat ini, kewenangan MPR sudah dicabut sehingga tidak ada lagi GBHN dan Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas), petunjuk dalam rencana pembangunan kedepan tidak ada lagi. Dimana pemerintah pusat dan kepala daerah dalam pemerintah daerah, sesuai otonomi daerah, masing masing bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif sendiri sendiri . Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris Presiden dan wakil presiden yang mengangkat dan memikih presiden dan wakil presiden. Kemudian dirubah menjadi suara rakyat menjadi Mandataris Presiden melalui Pemilu langsung. Kita sama – sama bisa lihat dan merasakan , dimana seolah kita sudah kehilangan jati diri dan ruhnya sebagai sebuah bangsa yang Sudah bermetafora pada bangsa dengan sistem Liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa tetapi harus diakui akhirnya telah terjadi *