telusur.co.id - Kualitas Ketua MK, Prof. Anwar Usman terbilang buruk, kendati tak seburuk mantan Ketua MK, Akil Mochtar yang terbukti melakukan tindak korupsi. Anwar Usman dianaggap sudah cukup terang benderang melakukan pelanggaran etik sebagai Hakim MK. Sehingga wajar dilaporkan oleh sejumlah elemen masyarakat atas pelanggaran etik.
"Pelaporan sejumlah elemen masyarakat terhadap manuver Anwar Usman bagian dari fungsi kontrol publik. Terlebih pelanggaran etik itu cukup terang benderang," ujar peneliti kebijakan publik IDP-LP, Riko Noviantoro, Kamis (21/9/23).
Setidaknya, lanjut Riko, ada dua bukti pelanggaran etik Ketua MK itu. Pertama, undangan yang diberikan kepada Anwar Usman tertulis sebagai Ketua MK. Artinya kapasitas Anwar Usman dalam kegiatan orasi ilmiah di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang sebagai hakim MK. Bukan sebagai ilmuwan, dosen atau pun lainnya.
Kedua, tegas Riko, pelanggaran eitknya adalah kesadaran ketua MK melawan aturan etik yang berlaku di lembaga peradilan konstitusi. Tindakan pelanggaran yang dilakukan secara sadar memberi makna kesengajaan sekaligus fakta ketidakpatuhan pada etik yang dipegang sebagai hakim konstitusi.
"Kode etik yang dituangkan dalam peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 pasal 10 huruf f dan nomor 3, berbunyi: mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan sebagai pelanggaran etik," imbuhnya.
Dari dua bukti tersebut, lanjut Riko, perlu dibentuk pantia yang memeriksa ketua MK. Sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara tegas dapat segera bertindak. Melalui mekanisme Dewan Etik dan selanjutnya diputuskan oleh Majelis Kehormatan.
"Sebagai bagian dari anak bangsa, saya pribadi kecewa dengan manuver Ketua MK. Telah melanggar 7 Prinsip Hakim Konstitusi sebagaiman diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi," pungkasnya. [Tp]