telusur.co.id - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (PADIH UNPAD) Bambang Soesatyo mengapresiasi pencapaian akademik Dosen Fakultas Hukum (FH) UNPAD Nia Kurniati, yang telah ditetapkan sebagai Profesor/Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Agraria FH UNPAD. Mengangkat orasi ilmiah tentang 'Efisiensi dan Efektifitas Bank Tanah Terhadap Pengamanan Tanah Dalam Rangka Investasi Berkelanjutan'.
"Di tengah masih peliknya persoalan pengelolaan tanah dan konflik agraria, kehadiran bank tanah yang dibentuk Presiden Joko Widodo patut didukung. Sehingga konflik agraria seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Wadas, Kinipan, Dago Elo, dan lain sebagainya, tidak terulang kembali. Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria, ada 212 konflik agraria pada tahun 2022, naik 2,36 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 207 konflik. Melalui bank tanah, sumberdaya agraria akan diatur secara ketat oleh negara dengan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, serta menempatkan kepentingan rakyat sebagai panglimanya," ujar Bamsoet usai menghadiri pengukuhan Nia Kurniati sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Agraria FH UNPAD, di Graha Sanusi Hardjadinata, Bandung, Selasa (26/9/23).
Turut hadir jajaran UNPAD antara lain, Rektor Prof. Rina Indiastuti, Wakil Rektor Prof. Ida Nurlinda, Wakil Rektor Prof. Yanyan Mochamad, Wakil Rektor Prof. Arief Sjamsulaksan, Ketua Senat Akademik Prof. Ganjar Kurnia, Ketua Dewan Profesor Prof. Arief Anshori, Dekan FH Idris, Ketua Senat FH Prof. Efa Laela, serta Guru Besar FH Prof. Ahmad M. Ramli.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dasar hukum pembentukan bank tanah antara lain, pasal 33 UUD NRI Tahun 1945; Ketetapan MPR RI Nomor 9/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 yang merekomendasikan dilakukannya langkah-langkah proporsional dan adil dalam penanganan konflik-konflik agraria, UU No.2/2022 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah dan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah.
"Pembentukan bank tanah memiliki urgensi di tengah intensitas kebutuhan tanah untuk pembangunan yang terus meningkat. Sedangkan ketersediaan tanah semakin terbatas, harga tanah yang terus meningkat, belum optimalnya pemanfaatan tanah khususnya untuk kepentingan umum, dan masih maraknya praktik spekulan serta penelantaran tanah," jelas Bamsoet.
Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur dan Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni (IKA) UNPAD ini menerangkan, pengelolaan tanah akan selalu menghadirkan potensi persoalan. Karena kebutuhan lahan yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, dan berbanding terbalik dengan ketersediaan sumberdaya tanah yang semakin menyusut. Sebagai gambaran, pada kurun waktu 2010 hingga 2020, angka pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata mencapai 1,25 persen.
Di sisi lain, sumberdaya tanah akan tetap konstan, sehingga kemampuan daya dukung untuk menopang kebutuhan manusia akan terus menyusut. Baik ketersediaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan papan, ketersediaan lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan pangan, maupun ketersediaan lahan industri untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
"Sehingga keberadaan bank tanah diperlukan sebagai instrumen pemerintah untuk menjamin ketersediaan tanah bagi kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, serta reforma agraria," terang Bamsoet.
Pendiri Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA) dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, saat ini masih ada berbagai pandangan kontra terhadap kehadiran bank tanah yang pada umumnya terbagi dalam tiga persoalan. Pertama, tumpang tindihnya regulasi yang ada. Kedua, belum adanya peraturan teknis yang lebih detail untuk penerapan operasionalnya di daerah. Ketiga, pembentukan bank tanah belum tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat, sehingga menimbulkan asumsi dan persepsi yang beragam.
"Untuk menjawab ketiga persoalan tersebut, titik tekannya yakni dengan mengedepankan prinsip bahwa kehadiran bank tanah harus menjadi bagian dari solusi untuk menjawab berbagai persoalan agraria, dan bukan menambah persoalan baru. Perlu ada sinergi dan keseimbangan dalam pengelolaan agraria, baik sebagai penopang kebutuhan dasar rakyat, sebagai sumber perekonomian rakyat, maupun sebagai aset investasi pembangunan yang potensial," pungkas Bamsoet.[iis]