telusur.co.id - Polemik sertifikat elektronik dengan terbitnya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (Permen ATR) Nomor 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik yang akan mulai berlaku pada 2021, menjadi perbincangan serius dalam kurun waktu saat ini. Terbitnya sertifikat tanah yang ditarik kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan digantikan dengan sertifikat elektronik ramai menjadi bahan pembicaraan berbagai kalangan.
Dr. Laksanto Utomo selaku Peneliti Lembaga Studi hukum Indonesia dan Dosen Agraria di Usahid Jakarta,, memaparkan. mengenai sertifikat elektronik. Permasalahan kepemilikan perorangan dimana nanti secara teknis kepemilikan yang lama belum membalik nama ataupun sudah.
“Point ke dua Kelembagaan permasalahan patut diduga belum siap untuk mencari data harus mengeluarkan biaya, merupakan rahasia umum, " ujar Laksanto dalam keterangannya, Sabtu (6/2/2021).
Jika mau diterapkan sambung Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia atau APHA Indonesia itu, harus mencari kawasan kawasan yang akan tumbuh atau tanah tanah tertata. Harus sudah ada infrastruktur atau kepemilikan yang strata.
"Lock houl (peraturan bisa di yudisiaal rivew. Jika setingkat mentri kemahkamah agung. Jika uu di kluarkan harus di yudisial ke Mahkamah Konstitusi, " paparnya.
Ia.menerangkan permasalahan kepemilikan perorangan dimana nanti secara teknis kepemilikan yg lama belum membalik nama ataupun sudah.
” Kelembagaan BpN saya kira perlu mawas diri dan mengevaluasi lembaganya patut, karena untk hal hal sepele didaerah untuk mencari data harus mengeluarkan biaya, dan ini merupakan rahasia umum, " terangnya.
Jika mau diterapkan harus mencari kawasan kawasan yang akan tumbuh atau tanah tanah tertata. Harus sudah ada infrastruktur atau kepemilikan yang strata. (fir)