Oleh : M Rizal Fadillah

 

Gonjang ganjing khutbah jum'at seragam dan tertulis dengan naskah yang dibuat Kemenag menggelisahkan umat. Masalahnya gagasan yang disosialisasikan Kepala Kemenag Bandung konon itu adalah aturan kebijakan Menteri Agama. Menteri tergerak mengambil kebijakan ini dengan merujuk Abu Dhabi saat yang bersangkutan berkunjung ke negara Uni Emirat Arab tersebut.

Terlalu cepat mengambil kebijakan dengan studi minim. Lagi lagi Menag membuat langkah kontroversial. Kesannya menjadi Islamophobia. Mengubah ubah sesuai seleranya. Sinisme dengan keadaan masyarakat  muslim Indonesia. Seolah muslim berada di jalan yang salah. Khutbah jum'at yang tidak ada masalah selama ini justru dipermasalahkan. 

Awalnya dikira cukup dengan "sosialisasi" Kepala Kemenag Bandung, akan tetapi nyatanya direspons dan diperluas dengan semangat merealisasikan kebijakan untuk tingkat Jawa Barat. Gubernur Ridwan Kamil mengungkapkan hal itu meski katanya belum mendapatkan langsung aturan Menteri Agama tersebut.
Situasinya menjadi berbahaya jika kebijakan seperti ini ternyata menasional. 

Kebijakan menyeragamkan teks khutbah jelas melanggar HAM. Membatasi hak dan kemampuan khotib dalam menyampaikan da'wah atau tabligh. Tidak ada contoh pembatasan sejak zaman Rosulullah SAW dan Shahabat. Adalah hak asasi untuk menyampaikan khutbah jumat secara beragam baik materi maupun metodologi. Mengatur atur ketat tidak pantas dilakukan oleh Pemerintah di negara Pancasila. Justru inilah cermin sikap yang tidak Pancasilais. 

Mengambil contoh Abu Dhabi tidak tepat pula sebab Abu Dhabi sebagai salah satu keamiran dari monarkhi Uni Emirat Arab adalah negara Islam. Agama negara adalah Islam sehingga wajar jika Pemerintah ikut mengatur hingga khutbah jum'at. Khatib pun mendapat gaji dan kesejahteraan lainnya dari Pemerintah. Berbeda dengan Indonesia tentunya. 

Di Emirat Arab hukum syari'ah adalah utama. Pelaku zina dihukum cambuk, demikian juga dengan peminum khamr (miras) serta pelecehan seksual. Murtad atau pindah agama merupakan jarimah (pidana). Homoseksualitas dipenjara 10 tahun. Hukum potong tangan (amputasi) berlaku. Artinya segagai negara agama maka syari'at Islam diberlakukan. Tugas da'wah pun adalah tugas negara. Karenanya khatib menjadi bagian dari negara itu sendiri. Wajar jika negara ikut mengatur. 

Di Indonesia berbeda. Keragaman dijamin oleh perundang undangan. Oleh karena itu menjadi karakteristik dari kehidupan beragama dan khutbah jum'at pun beragam. Khatib memahami rukun dan syarat khutbah. Menyampaikan semaksimal mungkin materi untuk bisa dicerna oleh mustami ( jama'ah). Jika ada khatib yang tidak berkenan atau menyimpang maka jama'ah tidak akan mengundang atau mengagendakannya lagi. Ia dihukum oleh lingkungan sendiri. 

Toleransi dan isu radikalisme jangan menjadi legalitas atau dasar untuk mengobrak abrik rasa keagamaan umat. Persoalan khutbah tak perlu diotak atik. Bila hendak meningkatkan kualitas da'wah bukan dengan cara menyeragamkan tetapi dengan pembinaan. Pembinaan yang berkualias dan syar'i bukan indoktrinasi atau perusakan akidah. Melatih ketrampilan da'wah agar lebih bisa diterima dan mampu mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Amar ma'ruf nahi munkar. 

Negara jangan pula menjadi munafik. Urusan zakat, dana haji, atau ekonomi umat dieksploitasi habis habisan sedangkan urusan hukum atau politik umat Islam dimusuhi dan dihancurkan sehabis habisnya. 
Menteri agama tidak seharusnya menjadi pengacau agama.

*) Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 24 Januari 2020