Komunitas Maklumat Juanda Tolak PPN 12 Persen Dan Pembenahan Hukum di Indonesia - Telusur

Komunitas Maklumat Juanda Tolak PPN 12 Persen Dan Pembenahan Hukum di Indonesia

Pernyataan Sikap Komunitas Maklumat Juanda (foto : fie)

telusur.co.id - Menutup akhir tahun 2024, masyarakat sipil Indonesia, mengkritisi polemik yang tengah terjadi dari kebijakan pemerintah, setidaknya ada tiga tuntutan kepada Negara Republik Indonesia dan seruan kepada seluruh rakyat Indonesia.

“Ketiga pokok masalah ini menyangkut hajat hidup jasmani dan rohani bangsa Indonesia. Pertama, perihal keadilan ekonomi; kedua, penegakkan hukum terkait pemberantasan korupsi; dan ketiga, penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, “ kata salah satu Masyarakat Sipil Indonesia, yang juga pengamat politik, Ray Rangkuti, di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (31/12/2024).

Dalam pernyataan yang dibaca secara bergantian ini, meminta rencana menaikkan PPN menjadi 12 persen, dibatalkan.

Menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) ke 12 persen menambah beban masyarakat. Masyarakat harus membayar lebih mahal, membuat hidup menjadi lebih susah lagi. PPN adalah instrumen yang tidak adil. PPN dikenakan kepada semua warga, kaya dan miskin.

Membebani rakyat tampaknya jalan pintas yang gampang. Padahal ada masyarakat kaya yang menguasai 60% kekayaan nasional. Harta 50 orang kaya Indonesia, setara dengan aset 50 juta warga. Ada perusahaan raksasa yang umumnya tumbuh akibat kebijakan ekstraktif (mengeruk sumber daya alam dengan dampak kerusakan ekologi dan kepunahan keragaman hayati, serta terusirnya masyarakat adat dari ruang hidupnya beserta kepunahan banyak kebudayaan mereka).

“Kaum kaya penikmat kekayaan sumber daya alam yang seharusnya ditarik pajak besar, sesuai kenikmatan yang mereka dapat, “ dalam pernyataan yang dibacakan.

Menaikkan PPN untuk menjaga pertumbuhan ekonomi juga bukan kebijakan yang tepat mengingat perekonomian stagnan dan cenderung menurun saat ini (defisit anggaran, utang yang semakin bertambah, pemutusan hubungan kerja akibat tutupnya semakin banyak pabrik dan bangkrutnya perusahaan barang dan jasa). Masyarakat akan kehilangan daya beli.

Seharusnya pemerintah berhenti boros, terutama pada a) proyek-proyek gigantik yang tidak atau sekurangnya belum diperlukan rakyat, seperti ibukota negara, dan infrastruktur yang di masa sebelum ini dipaksakan berjalan; b) belanja akibat gemuknya postur pemerintahan; c) belanja demi memuaskan ide-ide memiliki negara dengan peralatan militer yang canggih; d) belanja yang hanya menambah kemakmuran elite, seperti perjalanan dinas yang mewah, rencana memberi pensiun seumur hidup untuk elite politik, kendaraan mewah untuk pejabat di tingkat nasional maupun daerah.

“Kami mendesak reformasi hukum: perbaiki tatanan dan perilaku hukum yang rusak, “ lanjut dalam pembacaan sikap

Hukum telah digunakan untuk melegitimasi dan memperkukuh kepentingan kekuasaan. UU Cipta Kerja mengakibatkan nasib buruh di tempat kerja tidak pasti, kebijakan turunannya merusak lingkungan hidup, menggusur masyarakat adat dan warga miskin. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi berakibat hilangnya kepercayaan publik, apalagi digunakan untuk mengkriminalkan lawan politik, dan yang berbeda pendapat.

Aparatur negara dan lembaga kepolisian diketahui publik telah dijadikan instrumen kekuasaan. Aparat keamanan terlibat dalam proses pemenangan kekuatan-kekuatan politik yang didukung kekuasaan.

Tindakan brutal aparat kepolisian terjadi di banyak kasus di berbagai daerah, sehingga masyarakat kehilangan rasa tenteram, kebebasan dari rasa takut. Aparat pemerintah dan keamanan juga dimanfaatkan korporasi bisnis termasuk yang berada di sektor pertambangan dan kehutanan, berhadapan dengan rakyat yang kehilangan ruang hidup dan keadilan ekologis.

Selain itu mendesak untuk segera dilakukan reformasi lembaga penegak hukum, yakni Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Prosesnya harus dimulai, di antaranya: 1) Audit kinerja dan distribusi jabatan; 2) Merombak sistem dan kurikulum pendidikan masing-masing lembaga; 3) Membebas-tugaskan pelaku pelanggaran etika jabatan hingga 2 (dua) tingkat jabatan di atasnya dan tidak mendapatkan promosi; 4) Mengembalikan UU Komisi Pemberantasan Korupsi No. 30 tahun 2002.

Khusus di Kepolisian, mereka memandang perlu seleksi terbuka dalam mengisi jabatan di Markas Besar Kepolisian, dari jabatan tertinggi hingga eselon dua dengan standar seleksi yang ketat. Ini tidak terbatas pada tetapi termasuk: 1) Panitia seleksi (Pansel) pejabat kepolisian berasal dari luar lembaga itu. 2) Penelusuran rekam jejak sebelum mengikuti seleksi dan hasilnya diumumkan kepada publik. 3) Melibatkan masyarakat untuk memberi informasi dan masukan kepada Pansel tentang pejabat yang diseleksi. 4) Tidak melibatkan unsur partai politik dalam Pansel. 5)) Memisahkan Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal dari pengaruh Polri, termasuk tidak mengambil anggota Kompolnas dari mantan polisi, dan memberikan kewenangan kepada Kompolnas untuk menyidik personel yang melakukan kesalahan.

“Kami menuntut agar Negara tidak merampas hak demokrasi rakyat, tetapi merawat pemilihan langsung, mereformasi hubungan kekuasaan negara dan lembaga-lembaga politik, dan menjamin ruang kebebasan sipil,” papar pernyataan tersebut.

Negara diperlukan untuk menjamin kebebasan dan menjaga ruang mencapai keadilan. Negara bukan justru menjadi ancaman bagi kebebasan dan rasa keadilan. Itu sebab, pada 26 tahun lalu, Indonesia direformasi dengan banyak pengorbanan, termasuk nyawa. Kaum muda, mahasiswa, intelektual organik, dan masyarakat luas menginginkan suatu Indonesia “baru” yang pelaku-pelaku politiknya adalah loyalis demokrasi dan para reformis.

Mereka juga mengecam keras aktor-aktor politik yang ternyata hanya seolah-olah loyal (quasi-loyalists atau pseudo-loyalists) kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Muka buruk mereka terlihat ketika kekuasaan telah dipegangnya.

Selain itu menegaskan agar jangan sekali-sekali berupaya mengurangi, satu tetes pun, volume dan kualitas demokrasi kita. Apa yang harus dilakukan adalah memperbaiki perilaku politik kepartaian, menghapus kongkalikong, dan berhenti menularkan perilaku buruk kepada masyarakat seperti politisasi bantuan sosial dan politik uang. Demokrasi adalah cara yang pas untuk orang-orang hebat dan besar menunjukkan diri mau berjuang demi kemajuan bersama. Ketika demokrasi dicederai kita tidak heran bahwa yang hadir di panggung kekuasaan bukanlah yang terbaik.

Lanjut pernyataan tersebut, mengingatkan bahwa pemerintahan saat ini terbentuk dari suatu peristiwa yang mencederai etika politik dan tatanan hidup bernegara. Ingatan itu akan terus hidup selama pemerintahan berdiri. Ia akan terus mendampingi di sisi kekuasaan yang sedang berjalan. Penguasa boleh berdalih bahwa kehadirannya berasal dari pemilihan umum yang disahkan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun, ingatan publik tidak mudah lupa: pelanggaran etika dan hukum, penodaan terhadap konstitusi yang terjadi adalah cacat bawaan pemerintahan sekarang.

 Koreksi hanya bisa dilakukan apabila tata hukum dan penyelenggaraan tatanegara dan kepresidenan dapat dipulihkan melalui pelbagai peraturan perundangan, kebijakan, dan perilaku politik.

Menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menolak rencana-rencana pemerintah yang akan menambah beban hidup kita, baik jasmani maupun rohani. Secara jasmani adalah perekonomian dan kesejahteraan, sedangkan secara rohani adalah keadilan, kesetaraan, dan demokrasi. Kita tidak akan berhenti berjuang untuk itu.

“Kita akan masuk ke tahun 2025, dan tampaknya tahun yang tidak terlalu menyenangkan, karena Negara sedang tidak bersama kita,” tutup pernyataan tersebut.

Adapun, masyarakat sipil Indonesia adalah, Arif Zulkifli. Ayu Utami, Bima Yudhistira, Danang Widoyoko. Dewa Palguna, Erry Riyana Hardjapamekas, Goenawan Mohamad, Henny Supolo Sitepu, Ikrar Nusa Bhakti, Ismid Hadad, Lukman Hakim Saifuddin, Musdah Mulia, Natalia Soebagjo, Omi Komaria Madjid, Saiful Mujani. Sandra Hamid, Simon Petrus Lili Tjahjadi, Sukidi. Sulistyowati Irianto, Tini Hadad,Usman Hamid, Yanuar Nugroho, Zumrotin K. Susilo AH. Wakil Kamal, Alif Iman Nurlambang Andreas Harsono , Arif Susanto, Damaria Pakpahan, Heru Hendratmoko. Heru Muzaki. Jilal Mardhani. John Muhammad. Julius Ibrani, Kurie Suditomo, Lia Sundah Suntoso, Misiyah Misi. Nong Darol Mahmada,Nugroho Dewanto. Ray Rangkuti, Ririn Sefsani Robert Prasetya, Saidiman Ahmad, Siti Rubaidah, Tosca Santoso, Tunggal Pawestri dan Ubedillah Badrun. (fie) 

 

 

 

 

 


Tinggalkan Komentar