Koperasi Desa Merah Putih: Program Stategis yang Rentan Jika Tak Diawasi - Telusur

Koperasi Desa Merah Putih: Program Stategis yang Rentan Jika Tak Diawasi

M. S. Riadi (Ist)

telusur.co.idOleh : M. S. Riadi
 
Pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 resmi mencanangkan program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai instrumen pembangunan ekonomi berbasis komunitas. Dengan target ambisius membentuk 80.000 koperasi baru di seluruh Indonesia, inisiatif ini menjadi simbol niat politik dan ekonomi yang progresif. Namun di balik semangat besar ini, terdapat tantangan serius yang jika diabaikan, berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan sosial dalam skala masif.

Langkah pemerintah perlu diapresiasi. Pemberdayaan masyarakat desa melalui koperasi adalah strategi klasik yang terbukti ampuh di banyak negara maju. Namun perlu diingat, koperasi bukan sekadar "wadah usaha kolektif", melainkan entitas hukum yang wajib tunduk pada regulasi ketat. Tanpa pemahaman menyeluruh dari para pelaku di lapangan, koperasi mudah tergelincir menjadi lahan korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau sekadar formalitas tanpa manfaat nyata.

Fakta di lapangan menunjukkan, kesiapan pelaku di bawah masih minim, bahwa sebagian besar aparatur desa dan masyarakat belum memahami sepenuhnya prinsip-prinsip koperasi modern. Banyak yang menganggap koperasi sebagai program bantuan sosial yang dibiayai pemerintah tanpa kewajiban profesional. Paradigma keliru ini menjadi celah awal terjadinya salah kelola, mark-up kegiatan, hingga potensi pidana korupsi. Apalagi jika dana yang digelontorkan besar dan tidak dibarengi pengawasan melekat.

Dalam beberapa kasus sebelumnya, seperti koperasi simpan pinjam ilegal atau koperasi yang dibentuk hanya demi pencairan proyek, penyimpangan kerap terjadi karena rendahnya kapasitas manajemen serta ketiadaan sistem pengendalian internal. Situasi ini harus menjadi pelajaran penting sebelum kita tergesa menggenjot kuantitas koperasi tanpa memperhatikan kualitas dan kapasitas pelaksananya.

Risiko hukum sangat nyata, ketika koperasi dikelola tanpa pemahaman hukum dasar, risiko pidana muncul. Mulai dari pelanggaran UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, penggelapan dana anggota, hingga tindak pidana korupsi jika dana negara turut terlibat. Jika tidak disiapkan secara matang, bukan tidak mungkin Koperasi Merah Putih akan menjadi ladang kasus bagi aparat penegak hukum di masa mendatang.

Perlu diingat bahwa, koperasi berbadan hukum, tunduk pada kewajiban audit, laporan keuangan tahunan, RAT (Rapat Anggota Tahunan), dan akuntabilitas publik. Jika pengelola tak memahami hal ini, maka koperasi akan beroperasi di luar koridor hukum, yang pada akhirnya merugikan anggota dan mencederai niat baik pemerintah.

Sehingga, pengawasan dan pembinaan harus menjadi prioritas dalam konteks ini. Pengawasan dan pembinaan bukan sekadar pelengkap program. Kementerian Koperasi dan UKM bersama dinas terkait di daerah harus memiliki sistem pengawasan yang aktif dan responsif. Tidak cukup hanya membuat koperasi berdiri, pemerintah harus memastikan koperasi tersebut sehat, aktif, dan dijalankan secara profesional. 

Dibutuhkan pendampingan hukum, pelatihan manajemen, serta sistem evaluasi berkala berbasis kinerja dan laporan keuangan.
Koperasi Merah Putih adalah peluang emas. Namun jika tidak dikawal dengan ketat, ia bisa menjadi krisis nasional dalam bentuk baru: koperasi bermasalah yang justru memiskinkan rakyat. 

Pemerintah harus sadar bahwa, dalam konteks hukum, "niat baik" bukan alasan pembenar atas "pelanggaran prosedur". Oleh sebab itu, kesiapan sumber daya manusia, pengawasan, dan pembinaan harus dijadikan pilar utama dalam eksekusi program ini. Tanpa itu semua, program mulia ini akan berubah menjadi sekadar proyek tanpa masa depan.

Selain itu, dibutuhkan kerja sama lintas sektor, termasuk kejaksaan, inspektorat, BPKP, dan kepolisian untuk memastikan bahwa pelaksanaan program ini tidak diselewengkan. Jika pengawasan lemah, maka program sebesar ini justru akan menjadi bom waktu yang menggerus kepercayaan publik terhadap koperasi.

*Penulis adalah Advokat dan Pengamat Ekonomi asal Sumenep, Madura.


Tinggalkan Komentar