PADA waktu semester satu di kampus dulu, saya begitu terkesima dengan pidato senior saya tentang kejahatan kapitalisme. Dia katakan, jika sistem kapitalisme itu jahat, menindas dan memeras.
Para kapitalis, penganut sistem itu, bertambah menyeramkan kejahatannya karena dengan kekuatan kapitalnya digambarkan bahwa mereka itu dapat pengaruhi seluruh peraturan dan kebijakan negara.
Bahkan, dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dan institusi institusi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada di masyarakat. Sampai dengan paradigma yang dimiliki oleh orang perorang.
Dalam konteks pembahasan atas kuasa negara, akhirnya negara berubah menjadi pelayan bagi pelanggengan kekuasaan dan kekayaan para kapitalis yang ditopang oleh para elit sisa sisa feodalisme, juga intelektuil gadungan penyokong kapitalisme. Bukan bekerja untuk kepentingan rakyat banyak yang menjadi pemilik kedaulatan syah negara ini.
Itu kenapa bangsa dan negara ini akhirnya setelah dinyatakan merdeka juga tetap saja sama seperti ini. Pemimpin-pemimpinnya itu hanya sibuk untuk menjaga dan melindungi kepentingan para elit kaya, para feodalis, dan elit intelektuil penyokong ide kapitalisme. Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi justru semakin mengangga lebar.
Senior saya itu lalu mengajak saya untuk berdemonstrasi ke jalan. Melawan kekuasaan pemerintah yang lalim dengan menuntut pergantian kekuasaan. Pemerintah yang menindas rakyat. Perintahnya sampai disitu saja.
Hati saya pada waktu itu langsung begitu bergemuruh. Tapi saya tetap menalarnya dengan jernih. Saya pikir tidak adakah cara lain yang lebih efektif dan lebih canggih untuk mengguncang kapitalisme? Apakah benar bahwa dengan demonstrasi di jalan itu kapitalisme akan runtuh?
Lalu saya temukan juga kalimat-kalimat tajam Bung Hatta dalam beberapa bukunya. Dikatakan bahwa, sebagai bangsa yang baru merdeka itu harus memiliki ketenangan batin untuk dapat merefleksikan diri dalam memikirkan persoalan-persoalan bangsanya.
Bung Hatta juga meminta dalam tulisanya agar slogan-slogan diganti dengan tindakan, kemudian demonstrasi diganti dengan organisasi. Diuraikan panjang lebar bahwa, karena kapitalisme itu menggunakan cara-cara organisasi yang diatur secara rigid maka untuk melawannya juga harus disusun organisasi yang rigid pula.
Pada waktu saya membaca buku yang ditulis Bung Hatta, di dalam satu buku tersebut dengan terang Bung Hatta mengatakan bahwa koperasi itu adalah lawan tanding kapitalisme secara fundamental (Hatta, 1951). Nah, disinilah saya pikir saya akan ketemu jawabanya.
Walaupun, saya pikir awalnya apa yang dikatakan Bung Hatta itu hanya isapan jempol belaka. Bahkan, saya pikir Bung Hatta itu mengada-ada. Namun terus menerus saya terpengaruh oleh rasa penasaran saya terhadap penyataan Bung Hatta tersebut. Saya punya keyakinan bahwa Bung Hatta dengan kedalaman pemikiranya yang sedemikian rupa itu pasti tidak main-main ketika membuat pernyataan.
Dari motivasi itu lalu saya mencoba untuk menggali banyak pengetahuan tentang apa itu kapitalisme dan sekaligus apa itu koperasi. Bagaimana koperasi pertama itu lahir, apa alasan-alasan mendasarnya, dan apa motivasi dan tujuan dari koperasi tersebut.
Dari banyak literatur yang saya temukan, saya membaca bahwa koperasi itu pertama kali lahir karena satu hal: menentang sistem kapitalisme yang menindas dan memeras para buruh di tempat mereka bekerja di kota Rochdale, Inggris. Ingin gantikan rezim pengejar keuntungan bagi segelintir orang, inti dari praktek kapitalisme.
Dari 28 orang buruh di kota Rochdale, Inggris tahun 1844 waktu itu mereka lalu memulai dengan melakukan perlawanan serius dengan membuat sebuah deklarasi. Mereka mendeklarasikan gerakan koperasi itu dengan nama The Equitable Society of Pionner of Rochdale. Sebagai gerakan pioner masyarakat setara dari Rochdale.
Saya sedikit terkaget ketika membaca literatur tersebut. Sepertinya saya mendapat kunci jawaban yang ditulis Bung Hatta tersebut, kenapa dikatakan koperasi itu sebagai lawan tanding kapitalisme secara fundamental. Sebabnya, karena dalam idea maupun modus operandinya itu sistem kapitalisme itu mengandung sebuah problem sosial, soal pengakuan kesetaraan.
Lalu saya perdalam lagi pengetahuan saya tentang apa yang dimaksud dari pernyataan tersebut. Kenapa disebut sebagai gerakan pionner masyarakat setara? Kenapa kesetaraan itu dianggap sebagai nilai penting untuk melawan kapitalisme itu.
Rasa penasaran saya tersebut muncul juga karena satu kenyataan yang ada dari koperasi yang ada di negeri saya Indonesia ini. Apa yang saya lihat itu terasa jauh dari pengertian koperasi sebagai sebuah gerakan.
Jangankan sebagai gerakan melawan kapitalisme, saya melihatnya tak lebih hanya sebagai sebuah bentuk badan usaha belaka yang justru memperlancar sirkulasi dari sistem kapitalisme bekerja. Bahkan lebih rendah dari itu, terlihat hanya sebagai praktek simpan pinjam semata.
Rupanya begitu saya dalami maknanya, apa yang dilakukan koperasi itu benar adanya sebagai gerakan melawan kapitalisme secara fundamental. Sebab, koperasi itu memiliki cara yang berbeda secara mendasar dengan sistem kapitalisme.
Kapitalisme itu masalah utamanya adalah terletak pada soal bagaimana tempatkan orang dalam relasi sosialnya. Dimana ternyata kapitalisme itu tempatkan posisi modal, material, kapital itu lebih tinggi dari orang. Intinya, siapa yang memiliki modal lebih banyak atau dominan, maka dialah yang sesungguhnya pemilik kekuasaan dan tentukan keputusan seluruh modus operandi dasi kehidupan sosial ekonomi ini.
Dalam bentuk kongkritnya, misalnya, yang diadakan di dalam sistem perseroan, siapa yang memiliki modal terbesarlah yang akan menentukan keputusan perusahaan tempat orang-orang bekerja.
Berbeda dengan koperasi, berapapun modal yang anda setorkan itu tidak akan mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan perusahaan. Setiap orang yang menyetorkan modal, yang bekerja atau bahkan konsumen dari sebuah perusahaan koperasi itu setiap orangnya dihargai suaranya, satu orang satu suara.
Dari pemahaman tersebut jelas dan teranglah bahwa koperasi itu hargai kesetaraan manusia itu dalam praktek. Mereka tidak bekerja seperti budak dari pemilik modal dominan atau terbesar, tapi semua orang punya hak untuk turut bertanggung jawab yang sama dalam memajukan organisasi dan perusahaan.
Seiring berjalannya waktu, dengan observasi langsung maupun perdalam pengetahuan dari belajar mengenai praktek-praktek koperasi di berbagai penjuru dunia, saya melihat ada motivasi yang menonjol dari semuanya. Koperasi-koperasi genuine, koperasi sejati itu tujuanya adalah satu: ingin ciptakan keadilan bagi setiap orang.
Contoh kongkritnya misalnya, adalah praktek koperasi pekerja (Worker Cooperative) yang dikembangkan oleh 5 orang anak lulusan STM (Sekolah Tehnik Menengah) di Basque, Spanyol yang dikembangkan sebagai organisasi dan perusahaan koperasi atas bimbingan seorang Pastur Jesuit Jose Maria Arimendes.
Di koperasi tersebut, setiap buruh pekerjanya dapat mengaku sebagai Boss karena mereka semua itu jadi pemilik dari koperasinya. Dari 80-an ribu pekerjanya, suaranya di rapat umum, setiap orang adalah sama.
Dengan demikian, kenapa akhirnya mereka dapat terapkan sistem penggajian yang relatif menjadi adil bagi semua dengan keputusan gaji tertinggi dibandingkan yang terendah itu adalah hanya 1 banding 6 kali lipat. Coba bandingkan dengan sistem penggajian dan juga penerimaan bonus dari salah satu bank BUMN kita yang ternyata setelah saya hitung itu angkanya bisa sampai hingga 2.200 kali lipat.
Itu baru dalam soal struktur gaji. Belum lagi dalam rangka penentuan kebijakan pembagian devidend/ keuntungan yang dihasilkan koperasi, pengangkatan komisaris (pengurus) dan direksi, penetapan penganggaran dan pengembangan organisasi perusahaannya, semua orang memiliki hak yang sama.
Saya melihat tak hanya dalam bentuk koperasi pekerja, tapi di dalam sistem koperasi konsumen, koperasi kredit (Credit Union) yang anggotanya atau pemiliknya adalah hingga ada yang jutaan orang itu, juga demikian adanya. suara setiap orang itu begitu berarti dan mereka terapkan sistem demokrasi itu di dalam perusahaan tersebut dengan sungguh-sungguh, satu orang satu suara.
Saya melihat dengan terang, bagaimana koperasi berpraktek di banyak negara dengan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan kultural serta latar belakang ideologi negara-negara itu diterapkan, koperasi ternyata dapat bekerja dengan tingkat kekenyalannya masing-masing.
Namun, yang paling mendasar adalah bahwa koperasi itu saya lihat dapat berkembang pesat karena mereka memang posisikan diri sebagai counterviling, lawan tanding dari sistem kapitalisme itu secara fundamental, mendasar. Mereka dengan sangat terbuka sampaikan kepada masyarakat apa perbedaan-perbedaan mendasar koperasi itu dibandingkan dengan korporasi.
Dari ide dasar koperasi tersebut, saya yakin, jika kita juga punya imajinasi tentang Indonesia Baru, dan jika rakyat kita memiliki kesadaran baru, maka para buruh-buruh yang hidupnya tertindas oleh para pemilik modal, para petani, pekebun,nelayan, petambak, peternak, perajin dan pedangang rakyat kecil-kecil yang jadi korban dari mafia kartel pangan dan juga industri itu pasti akan mampu melenyapkan sistem kapitalisme dan imperialisme yang menindas dan memeras mereka.
Saya yakin, jika anak-anak muda idealis dan intelektuil sejati itu tak ingin melihat masa depan bangsanya ini terus menerus dicengkeram oleh kekuatan oligarki dan plutokrat atau elit politik dan elit kaya yang terus menerus menindas dan memeras bangsa ini, maka harapan perubahan itu pasti masih ada.
Mungkin saja, tak hanya melalui jalur organisasi koperasi, tapi setidaknya koperasi bisa memberikan bukti dan juga jadi pilihan, bahwa siapapun itu dapat melakukan perubahan tanpa harus menunggu untuk dapat berperan menjadi pejabat politik yang berwenang untuk mengambil keputusan politik, membuat peraturan dan kebijakan publik.
Semoga Indonesia Baru dapat kita wujudkan bersama!.[***]
*) Suroto (Teman Ekspedisi Indonesia Baru)