telusur.co.id - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo, terkat percepatan pengesahan RUU masyarakat Adat.
Layangan surat kepada presiden setelah APHA Indonesia menyelenggarakan, kegiatan International Conference Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) bertempat di Ruang Nusantara MPR RI pada tanggal 7 Agustus 2023. Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua MPR RI, Menko Polhukam, dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI.
Salah satu poin penting dari hasil kegiatan tersebut adalah, mendorong dan mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk secepatnya menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Adat, menjadi Undang Undang tentang Masyarakat Adat.
“Saatnya bapak presiden sebagai kepala negara menaruh perhatian serius dan sungguh-sungguh, terhadap percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat, ‘ ujar Ketua Umum APHA Indonesia, Laksanto Utomo, dalam keterangan tertulisnya Rabu (30/9/2023).
Sebab sambung Laksanto, secara legal konstitusional pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat (Masyarakat Hukum Adat), telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Fakta menunjukkan bahwa, hingga saat ini keberadaan masyarakat adat tetap ada dan eksis. Keberadaan masyarakat adat dapat diibaratkan dengan pepatah lama bahwa ia tak pernah tak lekang karena panas, dan tak pernah lapuk karena hujan. Masyarakat adat sebagai bagian yang terpisahkan dari masyarakat dan bangsa ini, akan selalu hidup dan eksis seiring dengan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Pengabaian Negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya nampak jelas dari berbagai konflik yang terjadi. Masyarakat adat yang berada di garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, justru terusir dan tergusur dari tanah dan hak ulayat yang mereka miliki secara turun temurun, “ paparnya.
Kata Laks, ini adalah sebuah ketidak-adilan nyata yang sejatinya tidak boleh terjadi dibumi Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945. Konflik antara Masyarakat Adat Pantai Raja Kabupaten Kampar Riau dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V, dan konflik antara masyarakat adat Sedulur Sikep dengan PT SMS di Kabupaten Pati, Jawa Tengah adalah contoh konkrit dari berbagai konflik serupa, yang menunjukkan lemahnya posisi masyarakat adat terutama jika berhadapan dengan Negara dan Korporasi.
Sejatinya political will dan kehendak yang kuat untuk melindungi masyarakat adat, tidak hanya terucap pada janji-janji saja, tetapi perlu dibuktikan dan direalisasikan dalam wujud perundang-undangan yaitu Undang Undang tentang Masyarakat Adat. Keberadaan UU ini sangat urgen dalam melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya.
“Kami berharap presiden dengan kewenangan konstitusionalnya berkenan memenuhi harapan kami. dan harapan masyarakat adat yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Demikianlah, atas perhatian dan perkenan Bapak Presiden kami ucapkan banyak terima kasih. Salam Nusantara, “ tutupnya.
Untuk diketahui, selain kepada presiden, surat APHA Indonesia juga ditembuskan kepada Menteri Sekretariat Negara Republik Indonesia, Menteri Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dan juga bagian arsip (Fie)