Lestari Moerdijat: Segera Lahirkan Kebijakan yang Mampu Mengimbangi laju pertumbuhan Media Digital. - Telusur

Lestari Moerdijat: Segera Lahirkan Kebijakan yang Mampu Mengimbangi laju pertumbuhan Media Digital.

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat

telusur.co.id - Dalam mengupayakan keberlanjutan media penyiaran, diperlukan pembenahan dari sisi kebijakan, hukum dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia, agar mampu mengimbangi laju pertumbuhan media digital.

"Dibutuhkan mekanisme adaptasi yang tepat terhadap laju perkembangan teknologi sehingga keberlanjutan media penyiaran tetap terjaga," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema 
Menjaga Keberlanjutan Media Penyiaran Melalui Revisi Undang-Undang Penyiaran yang digelar 
Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/5). 

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Gunawan Hutagalung (Direktur Pos dan Penyiaran di Kementerian Komunikasi dan Digital Komdigi), Amelia Anggraini (Anggota Komisi I DPR RI), dan Gilang Iskandar (Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia /ATVSI) sebagai narasumber. 

Selain itu hadir pula Herik Kurniawan (Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia /IJTI) sebagai penanggap. 

Menurut Lestari, upaya revisi Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran, didorong oleh kenyataan bahwa dinamika industri media saat ini terus berubah.

Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, upaya untuk menyesuaikan kebijakan harus dilakukan untuk mewujudkan penguatan lembaga penyiaran, kebebasan pers dan ekspresi, perlindungan terhadap pekerja media dan masyarakat, hingga menyeimbangkan ekosistem penyiaran. 

Sehingga, tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, para pemangku kepentingan dapat mengatasi berbagai tantangan akibat hadirnya media sosial. 

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap, tantangan seperti persaingan antar-platform, monetisasi konten, tantangan finansial, perubahan paradigma terkait sumber informasi dan audiens, serta dampak pada industri iklan dapat segera dijawab dengan solusi yang tepat. 

Sekretaris Jenderal ATVSI, Gilang Iskandar mengungkapkan kondisi bisnis penyiaran saat ini secara umum tidak baik-baik saja. Alokasi belanja iklan menurun, ujar dia, sedangkan capital expenditure (Capex) dan operating expenditure
(Opex) tetap harus dikeluarkan. 

Akibatnya, ujar Gilang, stasiun televisi semakin agresif melakukan efisiensi. Mulai dari menayangkan siaran ulang, sampai akhirnya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja karyawan, agar tetap bisa beroperasi. 

Menurut Gilang, kondisi itu diperburuk dengan hadirnya pesaing baru, yaitu platform digital, sementara kue iklannya tetap. 

Di sisi lain, tegas dia, media televisi wajib mematuhi berbagai peraturan dari sejumlah lembaga terkait bisnis, standar teknis penyiaran, hingga pengaturan frekuensi. 

Sementara, tambah Gilang, media digital tidak diikat dengan aturan yang sebanyak media televisi. "Sehingga terjadi penerapan regulasi yang tidak seimbang," ujarnya. 

Gilang berharap, ada regulasi media penyiaran yang lebih fleksibel dan dinamis agar mampu bersaing dengan platform digital.

Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini mengungkapkan, dalam pembahasan revisi UU Penyiaran tidak hanya terkait aturan teknis, tetapi juga mencakup hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terverifikasi dengan baik. 

Amelia berpendapat, kondisi persaingan yang tidak sehat antara media konvensional dan media digital juga menjadi perhatian dalam pembahasan revisi UU Penyiaran. Fenomena masyarakat lebih percaya pada berita viral, ujar Amelia, juga menjadi perhatian serius para legislator dalam proses revisi tersebut. 

Saat ini, ungkap Amelia, Komisi I DPR RI sedang membahas sejumlah DIM sebagai bagian dari pembahasan revisi UU Penyiaran. Amelia berpendapat hasil revisi UU Penyiaran harus bersifat antisipatif terhadap perkembangan teknologi ke depan. 

Selain itu, dia juga berharap,  kelak akan berlaku penerapan aturan yang adil bagi setiap media yang ada di tanah air, perlakuan yang setara terhadap para pelaku penyiaran, dan pengawasan yang optimal oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Komdigi, dan Dewan Pers. 

Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan berpendapat pada tahun 2002 saat lahirnya UU No. 32/2002 tentang Penyiaran terlihat isi undang-undang tersebut lebih maju dari kondisi saat itu. 

Namun, tambah Herik, saat ini UU Penyiaran terkesan usang dengan bermunculannya media-media baru dengan platform digital. 

Menurut Herik, kondisi saat ini sudah tidak mendukung lagi bagi keberlanjutan lembaga penyiaran yang ada. 

"Para jurnalis beserta programnya bertumbangan seiring upaya efisiensi di lembaga penyiaran dan masyarakat pun kehilangan konten yang  berkualitas," ujar Hendrik. 

Di sisi lain, tambah dia, media dengan platform digital saat ini sedang menikmati pertumbuhan yang signifikan. 

Diakui Hendrik, tugas jurnalis televisi pada kondisi saat ini semakin berat sebagai 'pemadam kebakaran' untuk mengklarifikasi berita-berita yang tersebar di media digital. 

Hendrik berharap, hasil revisi peraturan perundang-undangan terkait penyiaran kelak dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. 

Pada kesempatan itu, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Usman Kansong mengungkapkan hampir semua media penyiaran konvensional saat ini sudah melakukan pemutusan hubungan kerja. 

Bahkan, ujar Usman, di sejumlah daerah banyak media penyiaran konvensional yang sudah menutup usahanya. 

Dalam kondisi yang seperti itu, tegas Usman, komunitas penyiaran dan masyarakat menaruh harapan besar kepada revisi UU Penyiaran yang berpihak pada keberlangsungan hidup media penyiaran konvensional dan jurnalisme. 

Menurut Usman, berpihak kepada media penyiaran konvensional dan jurnalisme berarti berpihak kepada demokrasi. Sedangkan media sosial, tegas Usman, tidak pernah diciptakan untuk demokrasi.[]


Tinggalkan Komentar