telusur.co.id - Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) menilai, Duplik yang diajukan oleh Polda Metro Jaya dalam persidangan Praperadilan yang diajukan oleh Ketua KPK Nonaktif Firli Bahuri tidak dapat mematahkan argumentasi dan fakta hukum yang tercantum dalam Replik.
Peneliti LSAK, Ahmad A. Hariri menyebut, berdasarkan keseluruhan isi dari Duplik yang diajukan dan dibacakan oleh pihak Polda Metro Jaya, tidak memuat hal yang baru. Apa yang disampaikan cenderung mengulangi materi jawaban Polda Metro Jaya yang telah diajukan sebelumnya.
“Selain hanya bersifat pengulangan, Duplik yang diajukan oleh Polda Metro Jaya tidak dapat mematahkan argumentasi dan fakta hukum sebagaimana yang termaktub dalam Replik yang diajukan oleh Firli Bahuri,” ujar Hariri dalam keterangannya, Kamis (14/12/23).
Hariri menilai, justru ada beberapa kesalahan dan inkosistensi yang ditunjukkan oleh Polda Metro Jaya. Hal itu tertuang dalam Dupliknya.
“Pertama Polda Metro Jaya tidak mengakui telah menerbitkan SPDP sebanyak dua kali, padahal fakta hukum yang terjadi, dalam perkara a quo, Polda Metro Jaya telah menerbitkan dua SPDP, yaitu SPDP Nomor: B/15765/X/RES.3.3./2023/Ditreskrimsus tertanggal 9 Oktober 2023 dan SPDP Nomor: B/19207/XI/RES.3.3./2023/Ditreskrimsus tertanggal 23 November 2023,” paparnya.
Hariri mengatakan, dugaan pengingkaran yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya terhadap SPDP yang kedua sebagaimana yang tertuang dalam Dupliknya menimbulkan tanda tanya besar.
“Kenapa Polda Metro Jaya harus mengingkari adanya SPDP yang kedua?, sekaligus menunjukkan ketidakkonsistenannya dalam menangani perkara a quo, karena satu sisi tidak mengakui keberadaan SPDP kedua, sementara di sisi lain, SPDP kedua tersebut ternyata dijadikan salah satu bukti oleh Polda Metro,” katanya.
Kedua, sambung Hariri mengungkapkan, terkait mengenai alat bukti Saksi. Menurut Hariri, Polda Metro Jaya telah mengakui, tidak ada satupun dari ke-91 saksi yang telah diperiksa, melihat dan mengalami sendiri terkait dugaan pemerasan terhadap mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) seperti yang dituduhkan kepada Firli Bahuri.
“Namun, mereka mengaitkan keberadaan ke-91 saksi ini dengan Putusan MK Nomor 65/2010, dimana dalam pertimbangan hukumnya menyatakan saksi telah mengalami perluasan, sehingga saksi tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami sendiri,” ungkapnya.
Hal tersebut, kata Hariri, justru pemahaman yang keliru terhadap makna ‘perluasan pengertian saksi’ dalam Putusan MK tersebut.
Lebih jauh Hariri mengakui, memang benar Putusan MK telah memperluas pengertian saksi. Namun, menurut Hariri, tidak lantas dalam penyidikan suatu perkara, saksi-saksi yang diperiksa adalah saksi yang tidak mendengar, melihat dan mengalami sendiri dugaan tindak pidana yang diusut.
“Karena apabila hal tersebut yang dilakukan, maka akan sangat diragukan efektifitas dalam proses penyidikan tersebut, tidak perlu sampai memeriksa puluhan bahkan ratusan saksi yang tidak memiliki kualitas sebagai saksi, karena meskipun telah mendapat perluasan makna, sejatinya dalam suatu proses penyidikan, sangat dibutuhkan saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terhadap suatu peristiwa pidana,” ujarnya.
Ketiga, Hariri mengatakan, dalam Duplik Polda Metro Jaya juga tidak dijelaskan secara detail terkait kesaksian dari Irwan Anwar yang berkesesuaian dengan saksi siapa.
“Dengan tidak dijelaskan berkesesuaian dengan saksi siapa, semakin menegaskan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi Irwan Anwar merupakan keterangan yang berdiri sendiri tanpa didukung keterangan saksi lainnya,” katanya.
Dengan demikian, Hariri menambahkan, tidak adanya saksi sebagaimana yang dimaksud di dalam KUHAP, maka proses penyidikan terhadap kasus dugaan pemerasan tersebut tidak sah dan penetapan tersangka juga menjadi tidak sah. (Ts)