telusur.co.id - Pelaksanaan pemilu 2024 sudah dipastikan akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Kepastian ini diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/23) kemarin.
Menanggapi hasil putusan MK tersebut, M. Syukur sebagai Ketua Kelompok DPD menilai putusan MK yang menolak gugatan terhadap sistem proporsional terbuka merupakan angin segar bagi masa depan kehidupan demokrasi di Indonesia.
"Pemilu dengan sistem proporsional terbuka sudah berjalan tiga kali dari pemilu 2009, 2014, dan 2019. Jika kemudian kembali ke sistem proporsional tertutup itu merupakan langkah mundur," kata Syukur, Jumat (16/6/23).
Menurut Anggota DPD dari Provinsi Jambi ini, dalam setiap sistem pemilu pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Begitu pula membandingkan sistem proporsional terbuka dan tertutup juga begitu.
Maka, kata dia, dengan melihat iklim demokrasi di Indonesia, menggunakan sistem proporsional terbuka tentunya masih relevan untuk kehidupan politik masyarakat Indonesia.
Apalagi sejak masa reformasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945, diberikan ruang sebesar-besarnya untuk menentukan figur yang dianggap pantas mewakilinya ketimbang hanya mencoblos partai politik tetapi tidak tahu siapa yang mewakilinya karena semua ditentukan oleh partai politik.
"Ini yang membuat suara rakyat seperti teramputasi karena dikalahkan oleh kepentingan partai politik," ungkap Syukur
Syukur juga menambahkan, seharusnya partai politik itu cukup melakukan rekrutmen pencalonan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan, setelah itu biarkan rakyat yang memutuskan di bilik suara siapa-siapa yang mereka pilih. Karena prinsip dari demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
"Oleh karena itu adanya putusan MK yang tidak mengabulkan penggugat untuk kembali ke proporsional tertutup merupakan bagian dari kemenangan demokrasi di Indonesia," kata Syukur
Syukur juga menambahkan, dengan adanya putusan sistem proporsional terbuka, seharusnya partai politik juga tidak perlu khawatir kalau calon-calon yang terpilih nantinya bukan dari kader-kader potensial yang punya loyalitas tinggi di partai politik.
Maka untuk menghindari hal tersebut partai politik perlu meningkatkan kualitas calon wakilnya di parlemen dengan melakukan pembinaan dan kaderisasi jauh-jauh hari sebelum pemilu, agar kader partai yang potensial dan punya kemampuan bisa mendapat dukungan dari masyarakat dan bisa berbuat di parlemen.
"Sehingga yang terpilih bukan kader yang hanya menumpang nyalon, tetapi tidak tahu akan perjuangan partai," tutup Syukur.
Sebelumnya diketahui bahwa permohonan uji materi diajukan pada 14 November 2022. MK menerima permohonan dari lima orang yang keberatan dengan sistem proporsional terbuka. Mereka ingin sistem proporsional tertutup yang diterapkan.
Dengan sistem proporsional tertutup, pemilih tidak bisa memilih calon anggota legislatif langsung. Adapun pemilih hanya bisa memilih partai politik, sehingga partai punya kendali penuh menentukan siapa yang duduk di parlemen. [Tp]