Oleh: Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur Jakarta, Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)
POTENSI terjadinya kondisi darurat yang diakibatkan oleh kebuntuan konstitusi menjadi pertanda sistem ketatanegaraan Indonesia yang demokratis belum cukup bijaksana, dan karenanya tidak protektif. Darurat konstitusi akan tereliminasi dengan sendirinya jika Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara pengemban kedaulatan rakyat berfungsi efektif. Sebab, melalui MPR, rakyat yang berdaulat menyatakan kehendak dan amanatnya saat harus menanggapi ragam persoalan akibat kebuntuan konstitusi.
Salah satu muatan inti dan tujuan utama dari konstitusi adalah melindungi atau memproteksi negara-bangsa dari berbagai persoalan dan ancaman. Konstitusi pun mewajibkan suprastruktur politik mengelola kehidupan berbangsa-bernegara sebagaimana mestinya agar negara-bangsa sekali-kali tidak boleh terjerumus atau terjebak kondisi darurat. Maka, sistem ketatanegaraan harus berpijak pada titah konstitusi itu. Dinamika kehidupan berbangsa-bernegara kemudian ditata oleh institusi suprastruktur politik seperti lembaga perwakilan MPR,DPR serta DPD, bekerjasama dengan presiden - wakil presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial hingga Badan Pemeriksa Keuangan
Tidak ada yang pernah mau -- atau bahkan berharap -- hidup dalam kondisi darurat. Pengalaman terbaru dari darurat kesehatan akibat wabah Covid-19 menjadi bukti betapa tidak nyamannya dinamika kehidupan sepanjang periode wabah itu. Semua berharap pengalaman seperti itu tak berulang. Maka, sejauh akal budi manusia mampu mengeliminasi potensi terjadinya kondisi darurat, sebisa mungkin potensi dimaksud dihilangkan sejak dini.
Dalam konteks itu, infrastruktur politik yang meliputi sejumlah kalangan dan organisasi kemasyarakatan terus mengkaji UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002. Berpijak pada visi-misi bernegara-berbangsa yang telah dimeteraikan dalam pembukaan UUD 1945, rangkaian kajian itu menelaah kemurnian dan konsistensi UUD 1945 hasil amandemen 2002 saat dihadapkan pada empat alinea pembukaan dimaksud.
Dari sejumlah kajian itu, muncul aspirasi atau dorongan bagi upaya pemurnian terhadap norma dan filosofi UUD 1945. Utamanya pemurnian terhadap hakikat kedaulatan rakyat serta hakikat visi-misi bernegara-berbangsa. Tentu saja semangatnya adalah merawat keutuhan negara-bangsa dan mewujudkan kemakmuran rakyat di tengah perubahan zaman. Oleh karena perubahan zaman menghadirkan ragam tantangan baru, konstitusi negara dan sistem ketatanegaraan harus dimampukan untuk responsif, solutif dan protektif.
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 tentang Kedaulatan rakyat paling sering dipersoalkan. Sebelum amandemen, pasal ini berbunyi “Kedaulatan adalah di Tangan Rakyat, dan Dilaksanakan Sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Sangat tegas dinyatakan bahwa MPR itulah pengemban kedaulatan rakyat. Setelah amandemen, bunyi pasal ini diganti menjadi “Kedaulatan Berada di Tangan Rakyat dan Dilaksanakan Menurut UUD”.
Dengan perubahan pernyataan pasal 1 ayat 2 ini, kedaulatan rakyat diambangkan karena dilepas dari genggaman MPR. Pengejawantahan kedaulatan rakyat tak lagi bersifat mutlak di tangan rakyat, melainkan bisa diperdebatkan (debatable), dan bisa dipindahkan oleh faktor konfigurasi kekuatan politik di lembaga perwakilan. Lebih dari itu, perubahan pernyataan pasal 1 Ayat 2 itu pun terkesan kontradiktif. Sebab, rakyat disebut berdaulat, tetapi MPR tidak boleh menetapkan amanat rakyat kepada penyelenggara negara.
Jika mengacu pada terminologi berdaulat atau kekuasaan tertinggi, rakyat yang berdaulat sejatinya berhak dan berwenang merumuskan serta membuat ketetapan (TAP) strategis berskala nasional pada semua aspek kehidupan berbangsa-bernegara. TAP dari rakyat yang berdaulat itu tak lain adalah amanat rakyat yang menjadi pijakan bagi suprastruktur politik – khususnya penyelenggara pemerintahan -- untuk menyusun kebijakan pembangunan nasional, baik pembangunan dari aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya hingga pertahanan dan keamanan. Dengan begitu, adalah keniscayaan jika wewenang MPR sebagai pengemban kedaulatan rakyat dipulihkan untuk membuat TAP MPR. .
Dengan memurnikan kembali hakikat kedaulatan rakyat yang diemban oleh MPR, pondasi dan sistem ketatanegaraan Indonesia kembali kokoh, responsif, solutif dan protektif. Karena menjunjung setinggi-tingginya hakikat kedaulatan rakyat, sistem ketatanegaraan Indonesia yang demokratis akan menjadi sangat bijaksana, karena mampu membebaskan negara-bangsa dari potensi terjadinya kondisi darurat yang diakibatkan oleh kebuntuan konstitusi. Serumit apa pun persoalan yang mengemuka di tengah kehidupan berbangsa-bernegara, persoalan itu akan terselesaikan ketika rakyat yang berdaulat menetapkan amanatnya.
Bersyukur bahwa negara-bangsa telah selamat melewati kondisi darurat akibat wabah Covid-19. Pengalaman dari pandemi itu secara tidak langsung mengingatkan semua elemen bangsa untuk selalu mewaspadai bentuk lain dari keadaan luar biasa yang kehadirannya tak pernah bisa diprediksi. Salah satu kemungkinannya adalah ketika pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat waktu sesuai perintah konstitusi, misalnya karena alasan bencana alam akibat gempa bumi megathrust, perang atau kerusuhan massal.
Konsekuensi dari Pemilu yang tertunda adalah kekosongan, karena pemerintah telah demisioner dan masa bhakti anggota legislatif pun telah berakhir. Kekosongan terjadi karena produk Pemilu yang meliputi Presiden-wakil Presiden, serta anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah, belum terpilih. Manakala kemungkinan ini terjadi, negara-bangsa terperangkap dalam kondisi darurat akibat kebuntuan konstitusi. Kedaruratan seperti itu tak bisa dihindari karena tidak ada lembaga yang memiliki kuasa dan kewajiban hukum untuk mengatasi situasi seperti itu. Belum ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik saat terjadinya kekosongan akibat pemilu yang tertunda.
Darurat konstitusi seperti itu akan tereliminasi dengan sendirinya jika MPR sebagai lembaga tertinggi negara pengemban kedaulatan rakyat berfungsi efektif. Sebab, melalui MPR, rakyat yang berdaulat pasti akan menyatakan kehendak dan amanatnya menanggapi persoalan kebuntuan itu. Inilah urgensi mengembalikan kewenangan Subjektif Superlatif MPR RI melalui TAP MPR RI.
TAP MPR RI menjadi solusi bagi ragam persoalan negara manakala dihadapkan pada kebuntuan konstitusi, termasuk kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan fiskal dalam skala besar. Ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR RI, TAP MPR dengan sendirinya akan mengatasi kebuntuan itu.
Untuk mengawal perjalanan negara-bangsa ke arah yang lebih baik di masa depan, fungsi dan peran MPR harus diperkuat sejak dini. Fungsi dan peran MPR sebagai pengemban kedaulatan rakyat hendaknya dipulihkan. Tak kalah pentingnya adalah mengembalikan hak dan kewenangan Subjektif Superlatif MPR RI mengeluarkan ketetapan MPR RI. Kewenanangan ini patut dimaknai sebagai pintu darurat manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan situasi kedaruratan luar biasa yang tidak bisa diatasi dengan tindakan yang biasa.
Dan, agar arah pembangunan nasional selalu berpijak pada visi-misi negara-bangsa sebagaimana tercantum pada Pembukaan UUD 1945, pulihkan pula wewenang MPR untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai road map pembangunan nasional.[]