Oleh: Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Universitas Pertahanan RI (UNHAN) dan Universitas Borobudur Jakarta)
PEMBOBOLAN penerimaan negara yang tak berkesudahan terus menumbuhkan pemikiran dan gagasan untuk mencari jalan atau strategi baru yang dapat mengamankan penerimaan negara. Kehendak seperti ini tidak baru, melainkan sudah berkembang sejak lama. Dari pemikiran panjang dan tawaran ragam gagasan itu, kini muncul wacana untuk segera membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) atau Badan Layanan Penerimaan Negara (BLPN) yang diharapkan bisa direalisasikan oleh pemerintah baru hasil Pemilu 2024.
Ragam kisah tentang bagaimana penerimaan negara diselewengkan oleh oknum aparatur negara sudah lama menjadi pengetahuan dan juga bahan obrolan masyarakat. Modus pembobolan penerimaan negara pun beragam. Ada pembobolan skala kecil, seperti oknum yang memilih meminta uang suap dan meniadakan denda resmi karena melanggar peraturan di jalan raya. Salah satu contoh pembobolan berskala lebih besar adalah membiarkan barang selundupan masuk pasar dalam negeri sehingga negara dirugikan karena tidak memperoleh bea masuk. Ada juga penyelewenagan berskala ratusan juta hingga miliaran rupiah yang lazim terjadi ketika seorang pejabat memanfaatkan wewenangnya untuk berkolusi dengan pemilik modal yang ingin membangun usaha dengan dengan cara kotor atau korup. Begitu banyak fakta yang bisa diceritakan tetapi tak mungkin untuk dirinci di ruang ini.
Namun, untuk ilustrasi dan sekadar menyegarkan ingatan, patut untuk menyebut tiga kasus atau mega skandal pembobolan penerimaan negara yang diungkap pada tahun 2023. Pertama adalah heboh kasus transaksi janggal senilai Rp 189 triliun. Dalam kasus ini, ditemukan pemalsuan data kepabeanan terkait emas batangan seberat 3,5 ton pada periode 2017-2019, yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara dari pungutan pajak penghasilan sesuai Pasal 22.
Kedua, heboh kasus mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun, dan ketiga heboh kasus mantan pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Andhi Pramono. Di pengadilan, Majelis Hakim menegaskan bahwa Rafael Alun terbukti menerima gratifikasi Rp 10 miliar serta terbukti melakukan TPPU dengan menyamarkan hasil korupsinya. Dia divonis 14 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Sedangkan Andhi Pramono yang mantan Kepala Bea Cukai Makassar dituntut pidana penjara 10 tahun dan 3 bulan karena diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 56,23 miliar.
Wacana membentuk BLPN tentu saja tidak semata-mata dipicu oleh tiga mega skandal tersebut. Wacana itu sudah pasti berpijak pada rentetan kasus sebelumnya, baik yang sudah terungkap maupun yang belum atau tidak terungkap. Publik tentu masih ingat dengan kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, pegawai pajak Golongan IIIA yang saat kasusnya terungkap pada 2010 masih berusia usia 31 Tahun. Dia, yang belum genap 10 tahun bekerja, terlibat dalam sejumlah kasus mafia pajak. Total uang yang disita negara dari Gayus mencapai Rp 74 miliar dari berbagai rekening dan deposito. Para pelaku dari semua kasus yang terungkap ke publik sudah dijatuhi sanksi hukum.
Di masa lalu, tepatnya di paruh kedua era 80-an, sebuah institusi negara yang mengelola penerimaan negara pernah dijatuhi sanksi yang amat berat. Ini adalah kisah tentang institusi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Seperti sekarang, pada era itu pun masyarakat setiap hari bergunjing tentang perilaku oknum yang menyalahgunakan wewenang di direktorat itu. Komunitas pebinis terus mengeluh karena harus menyerahkan uang suap di banyak meja pejabat. Presiden (saat itu) Soeharto menugaskan para menteri dan sejumlah orang kepercayaannya untuk membenahi Ditjen Bea Cukai, termasuk menempatkan perwira tinggi Departemen Hankam (sekarang Kementerian Pertahanan) Bambang Soejarto.
Berbagai upaya itu tak kunjung membuahkan hasil. Tak hanya eksportir-importir lokal yang gusar, para pengusaha asing yang berbisnis di Indonesia pun mengeluh. Tak ingin kecenderungan buruk itu berlarut-larut, Presiden dan Kabinet-nya saat itu akhirnya sampai pada sebuah opsi kebijakan yang boleh jadi dirasakan cukup ekstrim, yakni membebastugaskan Ditjen Bea dan Cukai dari sebagian besar tugas dan funginya. Sebagai gantinya, pemerintah menunjuk institusi swasta asing untuk melaksanakan tugas dan fungsi Ditjen Bea Cukai.
Didukung para para menteri dan juga berpijak pada penilaian Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Presiden Soeharto pun menerbitkan dan memberlakukan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi. Tidak lanjut dari instruksi itu adalah menyerahkan dan memercayakan sebagian besar wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada institusi swasta asal Swiss, Societe Generale de Surveilance (SGS), bekerjasama dengan PT Surveyor Indonesia.
Tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan baru dipulihkan belasan tahun kemudian, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mulai efektif berlaku pada 1 April 1997. UU ini kemudian direvisi dengan UU Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan.
Jadi, kalau di masa lalu sebuah institusi negara yang mengelola penerimaan negara bisa dibebastugaskan dengan instruksi presiden, langkah serupa tapi tak sama tentu saja bisa dilakukan pada era sekarang. Karena itu, menjadi sangat beralasan jika muncul opsi membentuk BPN. Opsi seperti ini patut dipahami sebagai upaya bersama untuk terus mencari jalan dan strategi baru yang efektif guna melindungi dan mengamankan semua potensi penerimaan negara.
Publik tahu dan memahami adanya dua sumber penerimaan negara, yakni pajak dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak). PNBP diatur dalam UU No.20/1997. Sumber PNBP antara lain hasil pengelolaan dana pemerintah dan kekayaan negara lainnya, hasil atau pembayaran atas jasa-jasa yang diberikan pemerintah, penerimaan dan denda berdasarkan keputusan pengadilan, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) serta hibah. Dalam lingup pajak, penerimaan negara antara lain dari Pajak penghasilan (PPh), Pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Penjualan atas barang mewah (PPnBM), bea meterai (cukai), pajak bumi dan bangunan(PBB), perkebunan, perhutanan dan pertambangan, serta ragam pajak yang dikelola pemerintah daerah.
Hari-hari ini, terungkapnya sebuah kasus baru mega korupsi pengelolaan SDA timah sedang menyita perhatian masyarakat. Kasusnya adalah penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Karena illegal, sudah pasti negara dirugikan. Menurut Kejaksaan Agung, kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 271 triliun. Nilai kerugian ini dihitung dari aspek kerugian ekologis, kerugian ekonomi lingkungan dan kerugian biaya pemulihan lingkungan.
Jadi, sudah menjadi bukti bahwa pembobolan penerimaan negara adalah fakta yang tak berkesudahan. Maka, menjadi sangat relevan jika muncul gagasan membentuk BPN yang bisa menjadi strategi baru melindungi dan mengamankan penerimaan negara.[]