telusur.co.id - Pergantian Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dari Nicke Widyawati ke Simon Aloysius Mantiri pada Senin lalu, dinilai sesuatu yang wajar, dalam rangka untuk penyegaran organisasi. Telebih, Nicke juga sudah cukup lama menjadi Dirut Pertamina. 

"Dirut baru ini sebelumnya adalah Komut Pertamina, walaupun belum terlalu lama menggantikan posisi Ahok," kata mantan anggota Komisi Energi DPR RI, Mulyanto, Rabu (6/11/24).

Namun, menurut Mulyanto, harus diakui bahwa Dirut baru Pertamina ini kental bau-bau politiknya. 

"Bahkan dapat dikatakan sebagai orang politik yang mempunyai kedudukan tinggi di partai. Karena itu harus menjadi penilaian tersendiri terhadap profesionalitas yang bersangkutan. Secara positif Ini harus dibuktikan melalui peningkatan kinerja perusahaan," terang Mulyanto. 

Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) ini mengingatkan ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Dirut Pertamina yang baru, seperti transisi energi.

Dimana, industri migas mulai memasuki tahap senja kala. Artinya, investasi dan demand di sektor ini cepat atau lambat akan berkurang. Hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR) untuk Pertamina.

"Padahal di sisi hulu migas, lifting minyak nasional didominasi sebesar 60 persen dan lifting gas sebesar 40 persen oleh Pertamina. Artinya ke depan peran dan posisi Pertamina tetap strategis," ujar Mulyanto. 

Hal lain yang perlu diperhatikan Dirut baru adalah harapan Presiden agar Indonesia bisa swasembada energi khususnya swasembada BBM dan gas LPG. Artinya, bukan hanya kinerja hulu migas yang perlu mendapat perhatian, tetapi juga kinerja di sisi hilir migas, yakni produksi BBM dan gas LPG yang selama ini tergantung pada impor, harus ditingkatkan.

"Di sisi lain kendala besar yang kita hadapi adalah kilang-kilang pengolahan migas domestik kita sudah menua dan dengan kapasitas sedang. Tidak ada kilang besar baru yang dibangun. Sementara hampir empat bulan sekali terjadi insiden kebakaran kilang Pertamina./Jadi bagaimana mau menggenjot produksi kalau mesinnya sudah loyo dan sebentar-sebentar meledak," ucap dia.

Sementara besaran subsidi BBM dan gas LPG tiga kilogram terus melejit, yang semakin menekan ruang fiskal Indonesia. PR dalam sisi hilir ini adalah bagaimana mendistribusikan BBM dan gas LPG subsidi secara tepat sasaran. Bukan hanya kriteria para penerima subsidi BBM dan gas LPG ini harus akurat, tetapi juga data dan mekanisme distribusinya harus tepat.

"Ini semua adalah PR berat yang harus diselesaikan Dirut baru Pertamina," tegasnya.[Fhr]