Narasi Pemerintah Menjatuhkan Petani Garam Lokal - Telusur

Narasi Pemerintah Menjatuhkan Petani Garam Lokal


Oleh: Rusdianto Samawa*

 

IMPORTASI garam telah direstui Presiden Joko Widodo, karena dianggap masih realistis tahun 2020 ini. Apa yang realistis Pak Presiden?

Restu Presiden untuk impor garam itu karena ditekan oleh kartel impor. Sudah jelas, kartel mafia impor ini mencari keuntungan sesaat.

Sebenarnya ini pertarungan besar antara mafia impor dengan semangat program swasembada garam Indonesia. Yang jelas, kalau Indonesia surplus garam atas program swasembada itu, maka dipastikan kartel ini hidup miskin, tak punya pendapatan.

Oleh karena itu, mereka bekerja ekstraordinary jahatnya untuk menjatuhkan: harga, saham, hingga psikologis petani garam lokal. Apalagi pemerintah juga kelihatan dibodohi oleh para mafia impor garam ini. Karena mereka menekan pemerintah agar ikut menjatuhkan petani garam lokal.

Mestinya pemerintah menyisir seluruh perusahaan yang butuh bahan baku garam diberikan tenggang waktu dan ultimatum, bahwa kalau tidak pakai garam lokal dikenai sanksi dan bahkan penutupan perusahaan. Sikap ini yang harus ditunjukan oleh negara. Jangan menyembah kepada mafia impor. Negara tidak boleh tunduk pada mafia. Apalagi perusahaan - perusahaan importir yang tidak patuh pada negara. Kalau saja negara ini menyerah pada kemauan mafia, maka tak ada lagi kedaulatan.

Buktinya, pemerintah tak pernah membela petani garam lokal, narasi yang dibangun selalu menyalahkan dan menjatuhkan petani lokal. Pemerintah selalu beralasan bahwa 1). Industri dalam negeri membutuhkan bahan baku garam yang kualitasnya berbeda dengan yang dihasilkan petani garam lokal: 2). Narasi kualitas garam lokal Indonesia selalu dijatuhkan, ditambah pemerintah tak berusaha memperbaiki dari hulu ke hilir, baik sisi infrastruktur maupun marketnya: 3). Garam lokal Indonesia, hasil petani garam selalu dikaitkan dengan perbedaan pasar, segmentasi dan kualitasnya yang berbeda: 4). Padahal garam lokal Indonesia kalau dikerjakan secara baik dan benar, maka bisa menunjang kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri.

Alasan lain dari versi industri yang membutuhkan garam impor, yakni kenaikan volume impor garam, karena mengikuti pertumbuhan berbagai industri pengguna garam, antara lain industri makanan dan minuman (mamin).

Ini masalah perang psikologi antara kartel garam via pemerintah dengan petani garam yang terus menerus dijatuhkan pada narasi yang sama. Ditambah, pemerintah sama sekali tidak memiliki semangat untuk memperbaiki infrastruktur dan marketnya.

Maka, persetujuan impor garam bentuk penindasan multidimensi kepada petani garam. Mengapa penindasan? karena harga garam lokal jelas jatuh, marketnya rusak hingga distribusi pun tak jelas. Mestinya, negara tidak bisa lakukan sewenang-sewenang impor garam ini karena tahun - tahun sebelumnya, impor penuh tipu muslihat dan ajang kejahatan rente sehingga merugikan negara dan petani garam lokal.

Membaca data Badan Pusat Statistik (BPS) saja, membuat kita sedih sebagai negara maritim, bayangkan BPS mencatat sepanjang 2018 mencapai US$ 90,65 juta. Kendati demikian, secara volume terjadi penurunan 7,14% dari 2,8 juta ton sepanjang tahun 2018 menjadi 2,6 juta ton pada 2019 atau senilai dengan US$ 95,52 juta. Sementara tahun 2020, Januari ini: nilai impor garam naik 5,4% - 6%. Lima negara pengimpor garam yang memasok ke Indonesia berasal dari Australia, India, Selandia Baru, Denmark, dan Singapura.

Adapun, negara pengimpor garam terbesar ke Indonesia sepanjang 2019, berasal dari Australia, yang senilai US$ 72,87 juta. Realisasi impor garam pada 2019 tersebut, lebih rendah dibandingkan impor garam pada 2018 yang senilai US$ 82,39 juta. Dari sisi volume, impor garam tersebut menurun 26,92% dari 2,6 juta ton pada 2018 menjadi 1,9 juta ton pada 2019.

Sementara, garam impor asal India pada 2019 meningkat signifikan dibandingkan volume impor garam pada 2018. Dari India, Indonesia telah mengimpor garam 719 ribu ton atau senilai US$ 20,41 juta pada 2019, naik signifikan jika dibandingkan dengan impor pada 2018 yang hanya mencapai US$ 5,6 juta. Dari sisi volume, impor garam dari India pada 2018 sebesar 227,93 ribu ton, meningkat 215,7% dibandingkan volume impor garam pada 2019 yang sebanyak 719,55 ribu ton.

Negara pengimpor garam terbesar ketiga, yakni Selandia Baru. Di mana Indonesia mengimpor sebanyak 4.000 ton, senilai US$ 1,64 juta. Disusul Denmark dan Singapura, di mana masing-masing Indonesia telah mengimpor garam sebesar 496,23 ton atau senilai US$ 190,25 ribu dan 229,35 ton atau senilai US$ 121,34 ribu.

Sementara janji swasembada garam oleh pemerintah tidak kunjung ditepati. Gembar gembor penyiapan lahan garam untuk industri setelah tahun 2020 sekitar 30 ribu hektar lahan, untuk produksi garam nasional di sepanjang pesisir Nusa Tenggara Timur. Sudah sangat minus kepercayaan kepada pemerintah, karena tahun 2018 - 2019 lalu juga berjanji menyetop impor garam ditahun 2020. Namun, masih impor.

Fungsi negara itu menjalankan konstitusi pasal 33 ayat 1 2 dan 3 UUD 1945. Negara harus kuasai garam lokal. Jangan mau di dikte oleh mafia impor. Mestinya pemerintah lakukan sesuatu yang bersifat jangka panjang. Pemerintah menyiapkan teknologi untuk meningkat kadar garam lokal agar bisa dipakai oleh Industri.

Lagi pula, kalau industri-industri itu tidak mau pakai garam lokal, ya tutup saja. Percuma mereka hidup cari keuntungan di atas bumi pertiwi Indonesia kalau saja tidak patuh pada konstitusi negara dan pemerintah.

Presiden harusnya bubarkan seluruh perusahaan industri yang tidak taat pada kebijakan pemerintah dan negara. Gampang kok pak Presiden. Sekarang, tinggal mereview dan intalisasi mental nasionalisme kita bangsa Indonesia.[***]

*) Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

 

 


Tinggalkan Komentar