telusur.co.id - Ketua DPP Partai NasDem Bidang Hubungan Legislatif Atang Irawan mengatakan, Pasal 10 ayat (2) Draf RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang menyatakan Gubernur dan Wakil gubernur ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD merupakan kematian demokrasi secara perlahan di republik ini.

Atang mewanti-wanti perlahan demokrasi tergerus oleh kesesatan pikir dalam mengelola negara. “Bukankah bangsa ini telah sepakat bahwa ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maka mengobrak-abrik konstitusi berarti mengukuhkan otoritarianisme dan menodai hak konstitusional rakyat, bahkan inilah bentuk sadis dari intolerable justice maha dahsyat karena memenggal hak konstitusional rakyat untuk memilih pimpinannya dengan melompati konstitusi,” ujar Atang kepada wartawan, Kamis (7/12/23)

Atang mengingatkan, nalar sesat yang akan dapat mematikan demokrasi sebaiknya segera diamputasi, agar infeksi ketidakwajaran berpikir di republik ini dapat disumbat. 

“Karena akan semakin berbahaya dapat mematikan demokrasi secara perlahan ‘Euthanasia Demokrasi ‘ dan ini lebih sadis dari sentralisasi yang pernah dialami di republik ini,” tutur Atang. 

Menurut atang, jika Gubernur DKI tidak dipilih secara demokratis, maka dipastikan menabrak Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan “Gubernur… dipilih secara demokratis”. yang bermakna dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau pemilihan oleh DPRD, sehingga penunjukan dan pengangkatan gubernur DKI harus dimaknai inkonstiusional permanen.

Atang memandang, bukankah seharusnya ketika DKI sudah tidak lagi sebagai ibukota negara berstatus kedudukan sama dengan provinsi lainnya, jika gubernur DKI ditunjuk, diangkat oleh Presiden, maka tidak menutup kemungkinan provinsi di wilayah lainnya akan terancam hal yang sama dikemudian hari. 

Lebih bahaya lagi, lanjut Atang, DPRD diletakan sebagai organ kamuflase yang tidak memiliki wewenang dalam penunjukan dan pengangkatan gubernur DKI, karena tidak diberi wewenang hanya tugas dalam mengusulkan atau memberikan pendapat, itupun hanya menjadi bahan perhatian presiden.

“Padahal makna mengusulkan dan memberikan pendapat tentunya tidak mengikat dan tidak berimplikasi secara yuridis jika presiden tidak memperhatikan usul dan pendapat DPRD dalam rangka menunjuk Gubernur DKI,” urai Atang. 

Lebih lanjut, Atang berharap, mudah-mudahan para perumus RUU DKJ tidak menganalogikan (menyamakan) dengan Yogyakarta (DIY), jika demikian, maka bangsa ini sedang kehilangan semangat membangun bangsa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa (founding fathers)

Bahkan,  jika terjadi maka sesungguhknya susasna kebatinan republik ini sedang dalam perjalanan menghapuskan demokrasi secara perlahan. 

“Penentuan jabatan Gubernur Jogja tentunya tidak dapat dipaksakan menjadi pertimbangan untuk DKI, karena DIY sejak jaman Belanda sudah diakui sebagai daerah kekhususan (Zelfbestuurende Lanschappen/swapraja), bahkan pengakuan tersebut berlanjut hingga jaman jepang yang disebut sebagai Koti, yang secara substantif merupakan pengakuan atas hak-hak asal-usul dalam daerah yang istimewa yaitu Zelfbestuurende Lanschappen dan volksgemenscappen (kesatuan masyarakat),” terang Atang yang juga Aktivis Hukum ini. 

Atang menekankan, meskipun Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, seharusnya dimaknai dalam rangka wewenang khusus terkait dengan otonomi, bukan pada penentuan jabatan kepala daerah yang sudah terkunci oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan “Gubernur… dipilih secara demokratis”

“Jika kata dipilih dimaknai menjadi ditunjuk dan/atau diangkat maka kita sedang menari-nari diatas kesesatan berpikir kolektif,” beber Atang. 

Bagi Atang, jika pada akhirnya RUU DKJ disahkan akan mematikan urat nadi demokrasi. DKI disamakan dengan DIY sangat berbeda baik, karena DIY merupakan wilayah kerajaan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang dalam penentuan pimpinannya (raja) menggunakan pengukuhan. 

Atang mengingatkan, agar semua pihak tidak amnesia terhadap sejarah, bahwa DIY secara historis memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan. 

“Ingatkah Amanat 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mendeklarasikan bergabung dalam satu kesatuan wilayah NKRI inilah salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan atas perjuangan DIY dimasa kemerdekaan,” pungkas Atang. [ham]